1 Suro 1952 malam yang ditunggu-tunggu bangsa Jawa sebagai pergantian tahun, sebagai pergantian edar bulan juga sebagai tradisi sakral bagi mereka yang meresapi nilai-nilainya. Jawa dengan segala rutinitas batin memasuki gerbang baru dari putaran-putaran lampaunya.
Suro kali ini Puluhan kawan-kawan saya masih berkutat dengan kobaran api yang membakar gunung Lawu dan Puncak Mongkrang di Tlogodlingo. Sebagian lain duduk menyepi di plataran Candi Cetho sembari mesu diri menikmati dingin dan udara yang begitu tajam menusuk-nusuk badan. Di Sukowati tanah kelahiran saya puncak perhelatan terjadi dimana-mana di sendang, di makam-makam, di punden, petilasan di sudut barat laut kelambu-nya Pangeran Samudro juga mau dibersihkan pada malam ini.
Tahun ini suronan berselisih satu hari antara hitungan Jawa dan Islam, menuju suronya saya mendekam seharian dikamar dan hampir 24 jam mencoba ngebleng sampai senja tiba (hari Jawa dimulai ketika matahari tenggelam bukan jam 00.00). Senja berlalu, mandi keramas dan bersiaplah saya merasakan atmorfer dan merekam suro tahun ini.
Memang di kota tidak begitu terasa, di desa-desa mulai ada keluarga-keluarga mulai berjalan kaki mengitari kampungnya sembari menyapa tetangga satu dengan yang lain. Memang tinggal beberapa orang tua saja yang melakukan kegiatan ini, perhelatan ini juga akan dilakukan keraton Jogja yang kemudian dinamai Tradisi Mubeng Beteng. Gerakan memutar seperti tawaf ini pernah saya diskusikan langsung dengan anak seorang pendeta Hindhu dikaki Gunung Lawu daerah Musuk, Jenawi.
Menurut dia laku tersebut tiap langkahnya dihayati sebagai instropeksi diri atas segala yang sudah diperbuat. Jadi memang demikian 1 suro memang harus selalu sunyi karena demikianlah bangsa Jawa memahami pergantian tahun, dibalik sepi disitulah akan menyemai banyak makna. Selain mengitari kampung, mubeng beteng, adalah laku tepuk gelang merayakan tahun baru Jawa dengan berjalan kaki mengitari Gunung Lawu biasanya ditempuh selama 2-3 hari, laku ini pada dasarnya juga sama sembari menyampaikan terima kasih kepada Khalik masih bisa diperkenankan memasuki Suro, banyak yang melakukan ritual ini dari tahun ke tahun masih tak berkurang pelakunya. Banyak juga yang mendapatkan ketentraman karena laku tersebut adalah perjalanan spiritualnya setiap tahun, tanpa sadar sekaligus menguji kekuatan wadag seseorang, bagi yang tak terbiasa jalan kaki jangankan mengitari Lawu, berjalan 500meter juga sudah mengeluh. Bukankah demikian manusia modern?
Suro memang selalu mendapatkan tempat di hati para pelaku lelakunya. Pendekar-pendekar pergi ke tanah leluhurnya, menapak tilas jejak-jejak sang pioner. Di sudut lain di 2 Suro umat Islam seluruh dunia merayakan 1 Muharram pergantian tahun Hijriyah, dimana-mana pengajian tergelar, kenduren, juga ucapan selamat untuk segala manusia yang merayakannya menghiasi sudut-sudut medsos.
Malam kedua Bulan Suro ini saya datang ke desa Baturan, salah satu desa tua yang sudah banyak berubah dahulu menjadi wilayah keraton Mangkunegaran, kemudian menjadi wilayah kabupaten Karanganyar. Grebeg 1 Muharram tergelar disitu dilapangan desa. Mungkin desa ini dulu wilayahnya batur-batur (pembantu kerajaan). Ramai sekali memang, Mbah Nun sudah duduk membersamai masyarakat sementara itu saya asik menikmati keramaian itu dari sudut minor melanjutkan lelaku nyepi hari kemarin.
Seperti aliran air kata-kata mbah Nun mengayomi kita semua, yang terus menjadi perhatian saya adalah Pasar Malam, bagaimana Pasar Malam menjadi semakin meriah dibalik maiyahan. Bakul-bakul menjajakan gendhar pecel, wedang rondhe dan kopi tentunya. Di belakang panggung saya menyaksikan betul ini jamaah maiyah dengan hati-hati menentukan tempat duduknya supaya tidak membelakangi atau menganggu transaksi penjual-penjual di pasar malam tersebut. Indah sekali, anak-anak berlarian melumat arum manis, termasuk saya juga akhirnya mencicipi kembang gula tersebut sembari mengenang masa kecil sering datang di pasar tradisi cembengan di pabrik gula Mojo Sragen.
Kembali ke panggung dibalik berbagai eskalasi ini tentu ada pertanyaan soal Pil-Pil itu, sebenarnya Tajuk di Caknun.com, Tetes dan Jurnal-jurnal sudah menegaskan jawaban Maiyah terhadap hal tersebut. Mungkin karena ini masyarakat umum yang justru saking cintanya negeri ini akhirnya menanyakan ini kepada Cak Nun sebagai sesepuh mereka. Dan jawabannya begitu mesra, karena Indonesia negeri ini memang lebih besar dari pil-pil itu, maka beliau mengajak seluruh JM dan masyarakat untuk semakin banyak berdoa dan memohon yang terbaik untuk negeri kita ini, sembari melu ndandani sedikit-sedikit tanpa menambah masalah.
Diskusi lebih lanjut soal jomblo, pendidikan peternakan dst adalah tema-tema yang terus menerus diulangi simbah supaya nancep dihati kita semua, sebagai pegangan hidup juga sebagai pagar-pagar agar menjadi peringatan.
Lalu malam dipuncaki doa oleh Mbah Nun, saya sempet mbrebes ketika mbah Nun mengajak menatap langit dan menyapa leluhur semua pendiri-pendiri Nusantara dari sebelum Majapahit, Pajang, Mataram dst, ah sangat jarang saya menikmati keindahan langit untuk mengenang Mangkubumi, Sambernyawa, Ronggowarsito, Suryometaram dan banyak lagi leluhur Jawa yang saya sangat mengagumi jalan lelaku mereka.
Akhirnya malam Suronan bersama mbah Nun memuncak, lalu kembali ke Instropeksi diri. Itu tergelar banyak sampah di lapangan, menjadi rejeki memang bagi pemulung, namun alangkah piciknya kita yang bertahun-tahun maiyahan untuk sekedar mengumpulkannya di tempat sampah, atau dibungkus menjadi satu plastik besar supaya lebih enak dipilah sedulur kita yang menjadi pemulung.
Mari bergegas…..
Colomadu, 2 Suro 1952
Indra Agusta