Langit Sukowati masih mendung, membawa kepulan debu hasil dari deru mesin dan lalu-lalang jalma. Dari pinggir Bengawan Solo sisa-sisa peradaban itu masih ada namun semakin tergerus terbawa modernisasi. Adu kekuatan, uji ideologi, tes konsentrasi massa selalu mewarnai kancah pertarungan nagari. Ada yang terus bergeliat dari Jawa.
Selain degradasi kawulanya yang terindikasi dari menurunnya kecintaan pada budaya, dalam kacamata lain adik-adiku kini mulai menancapkan taringnya untuk mewartakan Jawa di beberapa media nasional dengan berbagai ragam dari geguritan, cerkak (cerita pendek), sampai beberapa simposium sastra berskala nasional. Jika mengambil ilmu paradoks, Jawa terus menjaga keseimbangannya dengan ‘caranya’ sendiri software maupun hardware. Suksesi Jawa secara substansial masih terus berjalan.
Geger Pecinan
Tahun 1740 meletuslah pemberontakan besar melawan VOC oleh Mas Garendi (Sunan Kuning, cucu Amangkurat III) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang kemudian dikenal dengan Geger Pecinan. Pemberontakan ini terjadi karena semakin sewenang-wenangnya koalisi Keraton Kartasura + VOC menaikkan pajak kepada orang jawa dan pedagang-pedagang Tionghoa di Kartasura. Kekalutan memuncak menjadi ledakan-ledakan pemberontakan.
Dalam waktu semalam Keraton Kartasura –yang bersekongkol dengan VOC- dibakar habis oleh pasukan Jawa-Tionghoa ini. Kemenangan membawa Sunan Kuning atau Mas Garendi dinobatkan sebagai Raja Mataram yang sah kemudian bergelar Sinuhun Amangkurat V kemudian bertahta di Kartasura, sementara Mas Said terus berjuang melawan banyaknya ketidakadilan.
Bak serial Game of Throne kisah ini berlangsung rumit dengan membelotnya Mas Sudjana dari barisan Amangkurat –V yang sah, secara sepihak kemudian mendeklarasikan diri sebagai Raja Mataram bergelar Pakubuwana II, PB II kemudian bersekongkol dengan VOC. Keadaaan ini berpengaruh pula pada wilayah mancanagari di timur Tumengung Cakraningrat IV Raja Madura yang juga bersekongkol dengan VOC.
Dari Kartasura rencana penyerangan ke Semarang dihadang oleh prajurit VOC di Welahan, pertempuran demi pertempuran berikutnya semakin menyudutkan Sunan Kuning apalagi ketika PB II menyerang dari Ngawi, Cakraningrat menyerang dari sepanjang lekukan Bengawan Sala, juga dari Utara prajurit VOC semakin kuat.
Akhirnya Prajurit Jawa-Tionghoa ini menyingkir ke pesisir Surabaya, pada September 1743 Sunan Kuning terjepit dan menyerah akhirnya ditangkap di Surabaya, dibawa ke Semarang, sampai diasingkan ke Ceylon. Keraton Kartasura lalu dikuasai oleh Pakubuwana II.
Apakah pertempuran selesai? Tentu tidak.
Di jawa pasukan Jawa-Tionghoa masih punya satu pemimpin, Pangeran Sambernyawa. Perlawanan terhadap Keraton Kartasura yang bersekongkol dengan VOC tak pernah berhenti bahkan semakin ngedap-edapi. Pemberontakan Mas Said ini menguras kas Keraton juga VOC yang berbanding lurus dengan semakin naiknya pungutan terhadap kawula. Tak ayal wajah pemberontakan semakin garang, karena semakin banyak rakyat yang berpihak pada Mas Said.
Sebuah Sayembara Petani Sukowati
Syahdan, saking tak kuasanya PB II mengatasi keadaan, diberitakanlah sayembara bahwa: Siapa saja yang mampu menumpas Pemberontakan akan diberi hadiah tanah sebesar 3000cacah, berstatus tanah perdikan di daerah Sukawati (Sragen).
Keadaan ini dibaca cermat oleh adik kandung PB II, Mas Sundara. Beliau juga melakukan perlawanan-perlawanan underground di bumi Kasunanan. Maka dalam sebuah kesempatan bertemulah Mas Sundara (Pangeran Mangkubumi) dengan Raden Mas Said membahas strategi perang, juga tawaran atas nama sayembara. Kesepakatan didapatkan atas nama mendapatkan wilayah Perdikan pemberontakan Mas Said-pun dikabarkan berhenti.
Pangeran Mangkubumi memenangkan Sayembara, dia kemudian menduduki tanah Sukawati kemudian bergelar pula Pangeran Sukowati ada pula yang menyebutnya sebagai ‘petani dari tlatah Sukowati’ karena di tanah yang beliau diami, Pangeran ini jarang menggunakan pakaian besar kerajaan. Mendobrak unggah-ungguh, sering mengunjungi desa-desa hanya menggunakan kain lurik panjang (konon katanya berwarna hitam-ungu) seperti layaknya masyarakat biasa.
Status Tanah Perdikan ini menguntungkan Pangeran Mangkubumi, karena dari sinilah tanah menjadi bebas pajak, sekaligus Pangeran setempat punya otoritas untuk membuat laskar-laskar sebagai pertahanan lokal terhadap berbagai hal yang mengancam keamanan Perdikan. Sebuah siasat berbahaya bagi Surakarta karena prajurit-prajurit pilihan dilatih diam-diam di daerah yang jauh dari jangkauan nagari. Prajurit pilihan yang dididik langsung oleh Senopati berbahaya sekelas Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi.
Perang Mangkubumen
Pemberian hadiah tanah kepada Mangkubumi ini sangat tidak mengenakkan hati VOC. Atas kong-kalikong VOC dengan Patih Kerajaan, Pringgalaya. Dibujukilah Pakubuwono II yang sudah tua, untuk menarik kembali keputusan ‘hadiah sayembara’ tersebut. Karena sudah dipangku dengan dalih VOC sudah habis-habisan membela Kasunanan meski tidak setuju dengan sikap tersebut, keputusan akhirnya tetap menjadi keputusan. Hadiah dicabut!
Keputusan ini membuat oncat Pangeran-Pangeran Kasunanan yang bersebrangan dengan VOC. Di hari ketika Hadiah itu ditarik, maka hari itu pula Pangeran Mangkubumi, Pangeran Timur, dan Pangeran Wijil meninggalkan Surakarta menuju Sukowati.
Apakah benar-benar Pangeran Mangkubumi mengangkat senjata berperang melawan kakak kandungnya sendiri?
Dalam beberapa catatan permasalah andhap-asor itu terjawab. Malam sebelum Pangeran Mangkubumi memulai pergolakan perangnya, beliau sowan kepada Susuhunan Pakubuwono II menjelaskan duduk permasalahan, posisinya terhadap Kasunanan, juga muaknya terhadap campur tangan Belanda dalam berbagai urusan internal Keraton. Dengan legowo PB II memberi restu, restu tersebut sebagai bentuk ungkapan bahwa PB II memang terjepit keadaan, sekaligus menunjukka kalau memang perang berlangsung untuk mengusir kolonial maka berangkatlah. Dibawalah Pangeran Mangkubumi ke bangsal senjata, dan diberikanlah Tombak Kyai Plered sebagai bentuk simbolis dukungan PB II kepada adiknya kinasih. Lalu pulanglah Mangkubumi ke Sukowati dan dimulailah perang yang hebat, sejarah mencatatnya sebagai Perang Mangkubumen.
Tahun 1748, berbekal 13.000 prajurit dan 2500 pasukan berkuda berangkatlah Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi menyerang VOC dan keraton Kasunanan Surakarta. 1749 selain menguasai Mataram, pertempuran meluas sampai ke daerah Bagelen (karisedenan Kedu) dimana wilayah-wilayah yang dicampuri VOC dibabat habis oleh Pasukan Mangkubumi. Mataram dan VOC kalah telak.
Jalur perang akhirnya menghasilkan kerugian total bagi VOC, akhirnya menyerah. Pangeran Mangkubumi ditemani Pangeran Natakusuma ke Semarang menuntut kedaulatan atas tanah yang lebih luas lagi, selain Sukowati supaya rakyat Jawa bisa hidup merdeka tanpa campur tangan Belanda. 22 September 1754 pertemuan terasa alot karena Belanda dengan dalih “tidak mungkin ada matahari kembar di Mataram” tak mau melepaskan tanah Mataram. Esok harinya akhirnya Pangeran Mangkubumi mendapat separuh kekuasaan Mataram namun tidak diperkenankan menggunakan gelar Sunan.
Kesepakatan-kesepatakan tersebut akhirnya tanggal 13 Februari 1755, di Beringin Giyanti, Karanganyar (waktu itu masih di wilayah Sukowati) kesepakatan itu resmi ditandatangani oleh berbagai pihak. Kesepakatan tersebut kemudian dinamai dengan Perjanjian Giyanti. Dan Pangeran Mangkubumi dari Sragen (Sukowati) bergerak ke barat ke tanah tua Mentaok, di sisa-sisa Mataram Islam disanalah didirikan Kasultanan baru Ngayogyakarta Hadiningrat, lalu Mangkubumi menjadi Raja bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Sementara itu kelak Pangeran Sambernyawa akan terus menuntaskan perlawanan hingga berakhir di Perjanjian Salatiga. Merobek lagi wilayah kekuasaan Surakarta yang lapuk dan penuh konsesi dengan VOC, lalu membuat wilayah pengawasan yang menjadi kraton Mangkunegara, diambil dari nama ayah beliau GPH. Mangkunegoro. Raden Mas Said kemudian menjadi Raja bergelar Mangkunegoro I.
Demikian tahun-tahun selanjutnya peperangan terus berlangsung, Geger Pecinan, Perang Mangkubumen adalah momentum awal dari perlawanan terhadap ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan. Di usia lanjut menjelang ‘sampurna’ –nya , Pangeran Mangkubumi menerima mimpi bahwa buyut-nya yang baru lahir akan membuat peperangan lebih hebat dibanding yang pernah dia buat. Buyut tersebut bernama Bendoro Raden Mas Antawirya, si Diponegoro.
Perang-perang dan perlawanan akan meledak dikemudian hari.
Merayakan Adeging Nagari kawula, Ngayogyakarta Hadiningrat.
Perdikan Sukowati, 13 Februari 1755 – 2019
Indra Agusta