Ada rasa ndak enak, berat dan perkewuh dalam hati saya untuk memulai tulisan ini. Maka dengan segala kerendahan hati, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh saudara-saudaraku Jamaah Maiyah, wabil khusus kagem JM Mocopat Syafaat Yogya.
Sebenarnya peristiwa ini sudah cukup lama terjadi, namun baru kali ini saya mencoba memberanikan diri untuk menulis dan menceritakannya. Bukan karena motif apa-apa, namun ada yang sedikit ngganjel dalam hati saya, jika hal ini terus saya pendam.
Begini ceritanya ; setahun yang lalu saya menghadiri Maiyahan Mocopat Syafaat edisi #MSApril 2016 dengan mengajak salah seorang teman saya. Kami berangkat dari Gemolong pukul lima sore, dengan mengendarai sepeda motor berboncengan. Jarak tempuh dari Gemolong sampai Kasihan Bantul kurang lebih 3 jam. Cuaca cerah dan hati bungah menyertai perjalanan kami.
Kami mampir sejenak di daerah Kartosuro untuk menunaikan sholat maghrib berjamaah. Oh ya, teman saya itu bernama Sentot atau akrab di panggil Kartolo. Sebutan itu muncul karena dia memang orangnya lucu, suka ndhagel dan sedikit ‘pekok’ juga. Mirip sekali dengan teman-nya Mbah Nun, pelawak asal Jawa Timur ; Cak Kartolo.
Perjalanan kami lanjutkan. Klaten kami lewati dan sampai juga kami di fly over Janti. Kami memilih belok kekiri, melewati rute ringroad untuk menuju Kasihan. Hari sudah malam, udara dingin semridig khas Yogya telah menembus pakaian kami hingga menyentuh pori-pori. Yogya is ngangeni.
Pukul 8 malam, motor butut kami telah memasuki kawasan Tamantirto. Motor dan mobil antre bergiliran masuk ke gang menuju pelataran TKIT Alhamdulillah. Saya dan Sentot turut serta memarkir kendaraan roda dua kami. Lantunan ayat suci yang berasal dari pengeras suara menyambut kedatangan kami dan seluruh JM dari penjuru negeri. Hampir selalu merinding hati saya ketika mendatangi langsung acara Maiyahan dimana pun saja. Maiyah senantiasa memancarkan kebahagiaan bagi semua. Jamaah senang karena bisa ngangsu ilmu. Pedagang senang karena barang dagangan-nya laku. Warga juga senang karena kecipratan rizki dari uang parkir para tamu. Di maiyah semua senang, semua gembira.
Pada tulisan kali ini, saya tidak ingin mengupas atau membahas tentang tema/ konten Mocopat Syafaat edisi #MSApril kala itu. Namun yang hendak saya ceritakan adalah peristiwa yang terjadi setelah bubar Maiyahan. Rupanya jarak tempuh 3 jam dari Gemolong-Yogya cukup menguras tenaga saya. Menginjak pukul 2 dinihari, mata saya sudah ngantuk hebat. Saya coba ganjel dengan meneguk kopi hitam disusul rokok gudang garam batang demi batang. Rasanya eman jika ndak bisa menyimak paparan dan pendaran ilmu dari Mbah Nun sampai purna acara. Sebulan sekali je, sayang.
Alhamdulillah setelah ngebul dan ngopi, mata saya segar kembali. Pukul 03.30 Mocopat Syafaat dipuncaki dengan doa bersama yang dipimpin Kyai Muzammil dan dilanjutkan prosesi salaman.
Saya dan Sentot mencari warung dan memesan 2 porsi mi rebus. Sebenarnya Sentot ndak mau saya tawarin makan mi, dia bilang ;
“Nak awake dewe mangan, engko malah ngantuk Don, ayo langsung mulih wae..”
Karena saya kadung lapar, nasihat dari Sentot saya abaikan. Mi rebus kami santap dengan lahapnya.
Ternyata benar, usai makan mata saya mak klentrug. Ngantuk bukan kepalang. Dan sebentar lagi adzan subuh berkumandang.
“Dab, balik jam 6 wae, subuhan sik terus nglekar diluk, mripatku abot banget.” Kata saya kepada si Kartolo. Dan dia pun diam saja tanda setuju.
Kami sholat subuh berjamaah dengan jamaah lain. Selesai sholat banyak jamaah yang langsung meninggalkan musholla untuk pulang. Saya dan Kartolo merebahkan badan, berbantal sebelah lengan. Dan seingat saya ada 2 atau 3 orang yang juga tidur atau sekedar tiduran di dalam musholla. Sebelum terlelap, saya ambil HP dari dalam tas dan ternyata baterai saya low. Melihat ada colokan nganggur di atas jendela, saya putuskan untuk men-charge HP saya. Dan tak lupa saya setting alarm pukul 6 tepat. Kartolo pun ikut-ikutan men-charge HPnya. Tak berselang lama, kami pun terhempas dan tertidur pulas.
Rasanya belum lama mata ini terpejam. Tiba-tiba Kartolo menggerak-gerakkan kaki saya dan berkata ;
“Don, Don.., tangi Don…”
“HP-mu wis mbok cabut?”
Setengah sadar dan masih dalam posisi terkapar, saya coba membuka sedikit demi sedikit katupan mata saya yang masih lengket dan dengan terbata coba bertanya kepada Kartolo.
“Ngopo Kar..,,”
” HPmu wis mbok cabut Don?”
“O o..opo..?” (sambil molet)
“HPmu endi, wis mbok cabut yo..”
Saya langsung terperanjat, bangun dan melihat ke arah jendela. Dan disana terlihat kabel charger warna hitam, dimana ujung colokannya sudah menggantung tak tertancap lagi. Saya mendekat ke jendela dan benar saja, HP seharga 2 juta raib alias sirna.
“Dancukkk…, asu tenan!! Pisuh saya dalam hati juga lisan. Dan tambah misuh lagi saya, ternyata HP milik Kartolo juga ikut lenyap. Samber ndelap, saya luar biasa muntap.
Saya dan Kartolo duduk lemas, dan saling pandang tapi tak bersuara. Dalam hati masih bertanya-tanya, ini mimpi atau nyata??
Saya keluar dari Musholla dan coba bertanya pada salah seorang Ibu yang sedang menyapu di ruang kelas. Dengan polosnya beliau menjawab tidak tahu. Saya muter-muter mencari orang lagi di seputaran TK, ada dua orang ibu yang sedang menyiapkan makanan cathering, lagi-lagi jawabannya sama. Tidak tahu. Saya pusing tujuh keliling, kembali ke musholla.
“Piye iki Kar?”
“Lha piye meneh, wis ilang je Don.”
Saya hanya bisa menggaruk-garuk rambut dan belum percaya hal ini bisa terjadi. Kalau soal uang saya ndak eman, tetapi yang paling disayangkan adalah semua file data saya tersimpan di HP itu lenyap hilang. Ya foto, tulisan, catatan-catatan harian, dan itu yang lebih mahal harganya. Dan yang tak habis pikir adalah HP itu hilang di dalam Musholla, di lingkungan tempat berkumpulnya orang-orang baik, sholih-sholehah. Ada benarnya juga yang dikatakan Bang Napi di televisi:
“Ingat kejahatan terjadi bukan karena adanya niat, tapi juga karena ada kesempatan.
WASPADALAH… WASPADALAH!!
Saya dan Kartolo pulang dengan muka lecek, kumal dan perasaan kesal. Diatas laju sepeda motor, kami tak banyak bicara, mungkin sedang bicara pada hatinya masing-masing. Karena mata ngantuk, hati suntuk, badan rasanya mau remuk, kami putuskan untuk rehat sejenak. Kami memilih singgah di rumah maiyah yang beralamat di gang. Barokah.
Suasana lengang menyambut kami. Karena lelah yang sudah parah, saya dan Kartolo terpaksa dan langsung nggeletak di serambi depan Perpustakaan EAN. Kami pun terpejam dan tenggelam entah berapa jam.
Tiba-tiba ada suara perempuan yang berkali-kali coba membangunkan tidur kami. Dengan ogah-ogahan saya coba membuka mata yang masih lengket dan berusaha molet. Sadar tidak sadar lamur-lamur saya perhatikan siapa gerangan orang yang berdiri dihadapan saya. Oh ternyata beliau adalah mbak Ririn, staf pegawai Perpus EAN. Kami disuruh masuk dan jika mau istirahat lagi dipersilakan untuk rebahan dilantai atas. Merasa ndak enak dan grogi, saya dan Kartolo kemudian mengajak ngobrol beliau. Dengan malu dan sedikit ragu, saya beranikan diri untuk menceritakan kronologi pahit yang menimpa kami tadi pagi (kehilangan dua HP).
Dari penuturan yang disampaikan mbak Ririn, paling tidak ada dua hal yang mencerahkan sekaligus melegakan hati kami berdua. Pertama, bahwa di Maiyah itu semua jenis manusia ada, tumplek blek jadi satu. Dan kita tidak bisa mengidentifikasi satu persatu para jamaah. Kita benar-benar tidak tahu dan memang tidak harus perlu tahu tentang namanya siapa, orang mana, pekerjaannya apa, niat dan tujuan mereka datang ke Maiyahan untuk apa dst. Di Maiyah semua orang merdeka atas dirinya masing-masing.
“Jika sampeyan kehilangan barang ketika bermaiyahan, ya itu “rezeki” anda dan bukan salah siapa-siapa.” Terang mbak Ririn.
Yang kedua, mungkin Allah punya rencana yang lebih baik untuk kalian berdua. Mungkin saja mulai hari ini, HP itu bukan lagi menjadi hak kalian. Allah ingin membersihkan dan juga menyadarkan bahwa di dalam HP tersebut mungkin banyak mudharatnya bagi anda ketimbang manfaatnya. Kartolo spontan langsung mengiyakan pernyataan dari mbak Ririn.
“Betul itu mbak, HP saya itu memang lebih banyak keburukan-nya, sebab sering saya gunakan untuk menggodai istri orang.”
Mendengar kepolosan dan kejujuran si Kartolo, saya cuma bengong diam lalu misuh dalam hati: Asu!
Ternyata benar, Allah telah memberi pelajaran yang sangat berharga untuk kami berdua. Kami pun pamit pulang dan seketika saya ingat pesan-nya Simbah (CN);
“Kalau barangmu dicuri atau diambil orang tanpa izin, maka bersyukurlah, karena mungkin engkau sedang diselamatkan Tuhan dari sesuatu yang tidak baik bagimu. Dan menderitalah dia yang mencuri barangmu itu sebab berkas kasus-nya sudah di laporkan ke meja kerja Tuhan. Jangan kau tambahi duka deritanya. Ikhlaskan saja dan kasihanilah ia.
Sragen, 09 Juni 2017
Oleh: Muhammadona Setiawan