Menu Close

Mati Sajroning Urip

Hujan angin terus mengguyur bumi Sukowati, Angin yang belakangan datang juga mengusik tiap rumah untuk waspada, bencana datang begitu saja menerpa manusia bagai semut kecil terkena riak banjir. Tak jarang nyawa melayang begitu saja, seperti begitu fananya dunia.

Terkadang jika mau merenung lebih mendalam angin, dan air tidak berposisi sebagai ciptaan yang berkehendak. Apapun yang dihempaskan karena ketaatan mutlak pada Sang Empunya dzat. Lalu manusia yang punya kehendak menyalahkan ciptaan yang taat. Paradoks.

Malam ini Padhangmbulan, namun langit juga masih malu seperti hari sebelumnya. Dari radio setengah ngantuk mendengarkan dan menyerap Ilmu dari Menturo,  Di penghujung pagi simbah menuturkan sebuah ilmu Jawa kuno, tentang Mati Sajroning urip, Mati didalam hidup.

Sindhunata adalah Romo katolik yang pernah mengelaborasi ilmu ini dan dilahirkan kembali dalam Puisi ” Ngelmu Pring”  termuat dalam Air kata-kata, lalu dijadikan lagu rap oleh kelompok Jogja Hip-hop Foundation. Baitnya begini :

“Golekana isine wuluh sungsang, dadio isi sajroning suwung”

Demikian pula mati sajroning urip, dulu waktu simbah kakung masih sugeng, saya sering ikut nimbrung waktu beliau bercengkerama dengan sedulur tentang ini :

“wong urip iku tujuane ming mati, sukur isa mati sajroning urip, iku luih mulya”

(orang hidup itu tujuan pastinya cuman satu meninggal, terlebih bersyukur lagi jika bisa meninggal sebelum hidup, itu lebih mulia hidupnya)

Tentu mulia yang dimaksud bukanlah soal material, lebih menekankan pada hakikat hidup yang lebih berdimensi spiritual dan rohaniah.

Soal Mati Sajroning Urip, persis seperti yang diutarakan pada Padhangmbulan bulan ini. Hakikat pencapaian hidup orang Jawa adalah soal Kewajaran hidup, tidak terlalu ambisius, nggragas dalam mengejar-ngejar dunia, biasa-biasa saja tidak perlu berlebihan.

Proses untuk terus menerus mematikan nafsu inilah yang disebut “mati” dalam falsafah diatas. Kematian keinginan, yang ketika nyawa hendak meninggalkan tubuh sudah ikhlas tidak terhalangi apalagi kencintaan berlebihan pada dunia.

Seingat saya ada 5 syarat untuk nggayuh , kelimanya tentu hanyalah simbol ada subtansi yang lebih mendalam dari sebuah syarat yang dijalankan. Manusia Jawa sekarang kebanyakan dianggap klenik, karena mereka hanya menjalankan ritual bukan memahami lalu menjelaskan esensi dari sebuah ritual.  Dan makna dari simbologi Jawa kembali tergerus, manusia semakin mentah dalam memahami Jawa.

Syarat nggayuh mati sajroning urip :

1 Poso, upawasa, Puasa

Ini adalah yang paling lazim karena tidak ada yang menolak aktivitas ini. Kalau puasa dianggap hanya menunda lapar pagi sampai sore bahkan kedokteran modern mengulas berbagai kebaikannya. Esensinya adalah menahan keinginan, ngerem, disini dilatih fisik kita minimal untuk tetap sehat dikala menahan lapar seharian. Substansinya banyak hal, bisa menahan nafsu seksual, nafsu berkuasa, nafsu membunuh dst.

2. Melek Wengi

Mata terus terjaga minimal sampai tengah malam, lalu bangun sebelum matahari terbit.  Ini laku supaya waspada, apalagi jika pikiran dipantik untuk berpikir mendalam, yang tidak kuat akan mis-fokus, bahkan sama sekali tidak mampu mengikuti obrolan. Jika didalam wayang jam1-2 waktu inilah intisari ilmu dalam sebuah lakon wayang diberikan, limbukan dan goro-goro  hanyalah jamu supaya tidak ngantuk.

Kalo lelaku ini semua yang pernah maiyahan jangan ditanya, mereka sudah pasti kuat, bahkan bermalam-malam mbah Nun melakoni seperti ini.

3. Kungkum

Saya kadang agak risih juga ketika ada orang kungkum disebuah sendang/sumber air dikira mistik, klenik dan macem-macem, sementara mereka yang berendam spa atau Yoga bermedia air dikota-kota besar diiyakan, bahkan dikomersilkan.  Padahal esensinya sama relaksasi pikiran, setelah itu penyegaran tubuh. Dan memusatkan fokus pada Gusti.

Kungkum esensinya seperti itu. Ada aliran air baru yang membawa kesegaran, dan membiarkan aura negatif hilang bersama air. Supaya manusia terus menerus berinstropeksi, dan tidak menyimpan luka, dendam atau apapun, keikhlasan dalam menjalani hidup.

4. Pati Geni

Ini agak ekstrim memang, mbah-mbah dahulu sampai membuat lobang dibawah tempat tidur supaya terhindar dari sinar matahari., tapi Pati Geni esensinya adalah meredam api amarah, supaya lebih sareh, lebih sabar tidak gampang emosional.

5. Lelaku Ngrame

Ini yang berlaku seumur hidup supaya sepanjang hidup selalu bermanfaat untuk orang lain

Latihan laku ini kadang sebulan penuh berjalan kesuatu tempat, tidak boleh tidak menolong jika ditengah perjalanan menemukan mereka yang harus ditolong. Tidak mudah menjalani laku ini, apalagi menerapkannya seumur hidup.

Dan dari kelima laku tadilah menurut simbah saya, baru menuju Mati Sajroning Urip, menjadi manusia yang wajar, yang penuh welas asih, yang tidak tegaan, yang tidak pendendam namun biasanya malah malati kalo dijahati orang lain, yang pencapaian hidupnya bukan keduniawian namun Gusti, yang harta bendanya tidak untuk diri sendiri namun kelebihannya untuk memberi mereka yang kekurangan, membantu mereka yang membutuhkan. Lalu matinya hasrat duniawi benar-benar berarti bagi esensi hidup itu sendiri.

Hingga kelak jika memang menuju kematian yang diniscayakan, kita tinggal mendengar disela isak tangis, apakah ada rerasan yang baik yang kita tinggalkan diatas kubur makam kita?.

Gajah mati ninggal gading, menungsa mati ninggal jeneng.

Baikkah? Burukkah?

Semoga sugeng jeneng.

 

 

Kleco Wetan, 2 Februari 2018

Indra Agusta

 

Tulisan terkait