Saya belum kenal. Tapi sepertinya pernah jumpa. Pemuda bersarung dengan kaos lengan panjang. Ia pakai topi dengan pet lurus layaknya panggung pertunjukan.
Saya turut duduk, bersalaman dan menanyakan nama. “Njenengan Mas sinten?”
“Nanang,” jawabnya.
Orang Kartasura ini mengaku belakangan jarang datang di Suluk karena sering mondar-mandir Solo-Jakarta. Rupanya ia bergelut di dunia event organizer.
Digit jam analog menampilkan angka 20.30 malam itu, Jumat (26/04/24). Alan membuka majelis Suluk Surakartan edisi ke-80 setelah di dapur menyiapkan kopi bareng Andi.
Karena Wasis, penulis mukadimah edisi ini sudah balik ke Banten, saya yang diminta mereview Mukadimah berjudul Slow Living.
Isi Mukadimah dominan berisi definisi dan sejarah slow living yang bisa dibaca di website oleh semua orang. Saya lebih mengetengahkan proses pengolahannya di Pawon empat hari sebelumnya.
Waktu itu di rumah Kang Ranto. Setelah berlebaran di kampung halaman masing-masing, beberapa pegiat berkumpul di sana. Makan malam bareng dengan lauk fried chicken buatan tuan rumah. Dengan sambel bawang fresh ulekan detik itu juga.
Alan yang waktu lebaran berkunjung ke desa di kabupaten Wonosobo, membawa pulang cerita. Bahwa orang sana saat berkunjung ke Solo, melihat orang di Kota Bengawan sebagai entitas dengan pergerakan cepat dan rapat, seperti tanpa jeda, tanpa hening sejenak. Dan sebaliknya, Alan melihat orang desa itu hidupnya pelan, tenang, slow.
Lantas ada yang menyahut. Orang Solo melihat orang Jakarta sebagaimana orang Wonosobo melihat orang Solo. Dan sebaliknya, orang Jakarta melihat orang Solo seperti orang Solo melihat orang Wonosobo.
Dari situlah kemudian terdengar istilah slow living.
Singkat cerita, setelah perut kami kenyang, slow living-lah yang disepakati untuk dijadikan tema diskusi Suluk Surakartan edisi ke-80. Mulanya istilah tersebut tidak akan dijadikan judul begitu saja. Mau diplesetkan jadi Solow Living. Tapi berhubung waktu mepet dan butuh energi lebih untuk mengkreasi sambungannya, akhirnya judul terlahir Slow Living saja.
“Kalau Solow Living sebetulnya pembahasan kita akan dapat diperluas. Karena slow living itu value-nya adalah lebih memahami dan menyadari, sebetulnya dapat diarahkan ke apakah kita orang Solo itu sudah memahami Solo dan sadar sebagai orang Solo,” kata saya.
Namun begitu, bukannya tidak meluas, judul Slow Living ternyata mengantarkan jamaah Suluk berbagi pemikiran dan pengalaman yang beragam.
Seperti yang saya sebut di depan. Mas Nanang mengisahkan pengalamannya menggeluti dunia event di Jakarta. Waktu itu dirinya tinggal di Jakarta dengan rutinitas dan suguhan pemandangan yang seperti roda gigi berputar. Tanpa henti. Hingga suatu hari pas di kendaraan umum ia diam. Merenungi kehidupan. Ia mengulik kembali kesadarannya akan arah hidup. Hingga sepulangnya dari tempat kerja, dirinya memutuskan untuk berhenti dan pulang ke Jawa.
Nano, jama’ah dari Jumapolo menceritakan kehidupan masyarakat desa mayoritas petani yang mungkin bisa dipotret sebagai wujud slow living.
“Kalau petani ya kerjanya lebih banyak jeda. Ada waktu menunggu pertumbuhan tanaman…” kata dia.
Namun semakin ke sini pola itu tampak bergeser dalam pandangan Nano. Sekarang orang desa pun sudah banyak konsumsinya. Maka kaum mudanya lebih memilih profesi lain untuk bisa memenuhi tuntutan belanja.
Perbincangan terus bersambung dan Alan meminta Indra memberikan pandangan. Penulis novelet Padma Jalma mengawali dengan koreksi, bahwa slow living itu bukan di ranah filsafat. Ia sudah berada di area aktualisasi, tindakan. Ia pun mengungkap sejarahnya yang merupakan kelanjutan dari gerakan slow food.
“Waktu itu di tahun lapan puluhan, KFC dan Mc D berkompetisi melakukan ekspansi pasar ayam goreng di Eropa. Lalu terjadilah perubahan pola makan masyarakat. Jam makan jadi tak keruan. Lalu muncullah gerakan slow food sebagai responnya. Dari sinilah kemudian muncul istilah slow living,” beber dia.
Diskusi terus berkembang dan sempat muncul opini bahwa slow living identik dengan kemalasan. Itu terjadi lantaran pola hidup yang lebih menghargai jeda itu oleh sebagian anak muda dijadikan alibi untuk bermalas-malasan, rebahan. Padahal tidak.
Seorang jamaah menganalogikan slow living dengan menempuh perjalanan menggunakan sepeda atau jalan kaki. Ia akan lebih mengenali kiri kanan dan jalan itu sendiri daripada menggunakan kendaraan berkecepatan tinggi.
“Sebenarnya nilai dari slow living itu adalah kesadaran akan peristiwa demi peristiwa yang dialami. Bukan pada gerak lambatnya,” ucap dia.
Pembicaraan juga sempat berkonsentrasi pada istilah. Tapi kemudian Indra mengajak pada pembahasan yang lebih berdampak. Yang lebih bisa diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas diri masing-masing.
Untuk hal ini dia mengingatkan bahwa modal atau kapital itu tidak cuma berupa uang atau harta benda. Kapital itu ada empat macam: finansial, sosial, kultural, dan simbolik.
Kapital finansial, yang paling mudah kita fahami adalah uang. Uang bisa untuk modal usaha, juga untuk keperluan konsumsi. Kapital sosial adalah peran sosial kita di masyarakat. Yakni berkontribusi untuk lingkungan sekitar sesuai kapasitas dan sesuai model sosio kultural setempat. Mungkin orang tak punya uang tapi karena sosialnya bagus, ia banyak teman. Dan teman bisa didownload juga waktu kita membutuhkan. Misalnya, “Aku nyilih mobilmu ya,” ucap dia memberi contoh.
Kapital kultural misalnya keturunan atau keluarga. Dengan dikenal sebagai keluarga Si A misalnya, seseorang punya posisi tawar yang baik untuk mendapatkan kesempatan (misalnya) kerja, karena lebih dipercaya. Selain itu juga almamater dan gelar akademik.
Yang paling ampuh adalah kapital simbolik. Kapital ini butuh waktu untuk membangunnya. Simbolik itu melekat pada seseorang yang memiliki value tinggi di bidang tertentu. Misalnya, untuk melakukan lobi, bisa dengan mudah diterima hanya dengan menyertakan nama seseorang yang punya simbolik itu.
Yus bertanya, “Apa mungkin seseorang bisa memiliki keempat kapital itu, Mas?”
Jawab Indra, “Nek nduwe kabeh ya wis dewa hehehe…”
Sebagai closing statement, Indra menginginkan bahwa yang penting bukanlah kita sudah slow living atau belum. Bisa jadi kita sudah perlu melakukan itu. Tapi mungkin saja juga belum saatnya. [Ibudh]