Menu Close

Ngapresiasi

Suatu ketika, seorang bocah belajar untuk berdiri. Dengan susah payah ia melakukan upaya untuk rambatan. Ia berusaha melepaskan diri dan mencoba berdiri, belum kuat dan duduk lagi. Ia coba berulang-ulang hingga akhirnya bisa berjalan.

Sepanjang ia menjalani proses itu, tak henti-hentinya orang di sekitarnya menyemangatinya. Berulang kali gagal, tapi ia tetap dipuji dan ditepuk tangani. Ia pun gembira, sehingga tidak peduli betapa lelahnya ia duduk, rambatan, berdiri hingga berulang kali sampai bisa berjalan.

Anak kecil itu adalah gambaran dari kemurnian hidup dan orang-orang yang mengapresiasinya adalah orang-orang yang melihat peristiwa kemurnian kehidupan itu sendiri. Orang-orang yang menyemangatinya, jelas tidak melihat hal lain dari yang dilakukan si bocah, kecuali memang sedang berusaha untuk meningkatnya kemampuannya dari yang semula mbrangkang menjadi berjalan.

Akan tetapi, mengapa hal semacam itu terkadang tidak terjadi pada orang yang dewasa? Ketika ada seseorang yang melakukan kerja yang bermanfaat, melakukan perubahan positif dalam perilaku hidupnya, menyambung silaturahmi, dan banyak hal yang murni, terkadang justru sepi dari apresiasi. Alih-alih mendapat apresiasi, terkadang justru dicurigai dan disudutkan oleh orang-orang yang ternyata “iri” dengan apa yang dilakukannya.

Kondisi itu semakin absurd ketika dewasa ini, industri pencitraan meningkat sehingga manusia sendiri pintar melakukan manipulasi dan menyajikan ketidakmurnian sikap hidup. Hal itu dijalankan, karena manusia mengejar eksistensinya sendiri-sendiri. Mereka fokus melihat dirinya, memoles dirinya dengan segala topeng artifisial, hingga masing-masing tidak saling memperhatikan, mempedulikan, apalagi memberikan apresiasi. Apalagi terhadap ciptaan Allah yang lain, yang murni, yang tampak apa adanya di kehidupan ini, semua tidak berarti karena manusia sibuk dengan pencitraannya masing-masing.

Maka dari itu, ada baiknya kita mencoba untuk menelisik dan menemukan setiap kemurnian dari manusia-manusia maupun ciptaan Allah lainnya. Kita posisikan diri kita seperti orang yang melihat bocah yang sedang belajar berjalan. Kita menemukan kemurniannya, kita berikan apresiasi terbaik untuknya.

 

Tulisan terkait