Suatu ketika Nabi Muhammad SAW masuk dalam pemukiman yahudi dan melihat seorang perempuan buta yang sedang berpidato berapi-api sambil menjelek-jelekan Nabi Muhammad SAW. Perempuan yang setengah tua itu terlihat lelah dan mengeluarkan banyak keringat, seketika Nabi Muhammad SAW bergegas pulang dan membelikan sup untuk disajikan kepada perempuan tersebut. “Bu, istirahatlah dulu, saya membawakan sup untuk ibu, ibu terlihat sangat lelah sekali”, sambil menyuapi, ibu tersebut tak henti-hentinya bergumam menjelekan Nabi Muhammad SAW yang padahal dihadapanya sendirilah sosok yang sedang dijelek-jelekan.
Tiba pada saat Nabi Muhammad SAW wafat, Sayyidina Abu Bakar menggantikan beliau untuk menyuapi ibu tersebut. Akan tetapi ibu tersebut melihat perbedaan pada tangan dan suapanya. Dengan terpaksa Sayyidina Abu Bakar berterus terang bahwa sebenarnya yang menyuapinya seminggu tiga kali dan berjalan berminggu-minggu itu adalah Nabi Muhammad SAW sendiri. Mengetahui hal itu seketika beliau langsung berteriak, menangis dan menyesal kemudian bersyahadat masuk Islam.
Dari peristiwa tersebut tersirat pesan bahwa rasa empati Nabi Muhammad SAW sangat begitu besar dan tidak melihat status maupun latar belakang seseorang. Rasa ikut merasakan lelah dan iba melihat seseorang sedang merasa kesusahan atau kesulitan adalah gambaran dari manusia yang berjiwa luhur.
Perlu kita ketahui bahwa empati merupakan suatu keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan dan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
~
“Salah satu unsur cinta dewasa adalah empati: kalau kekasih kita haus, maka kita yang gugup mencarikan air minum. Kalau kekasih kita terluka, perasaan kita yang mengucurkan darah.” [Emha Ainun Nadjib]