Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Sala
Leh-olehe payung montho
Mak jenthit lololobah
Wong mati ora obah
Yen obah medeni bocah
Yen urip goleka dhuwit
….
Tembang ini tidak asing di telinga kita. Meski sekarang jarang dinyanyikan, tetap saja ingatan liriknya nempel di kepala.
Sampai di sini, tembang tersebut menyinggung soal uang (dhuwit). Orang hidup dianjurkan mencari uang. Pertanyaannya, untuk apa? Sekarang coba kita simak lirik berikutnya.
Dhuwite mung sekethip
Nggo tuku lombok usit
Dipangan dulat-dulit
Kepedhesen jerat-jerit
Uang yang diperoleh, yang hakikatnya berjumlah terbatas (sekethip boleh dimaknai receh) dibelanjakan cabai rawit. Lalu dibikin sambal dan dimakan dengan lahapnya, sampai akhirnya menjerit-jerit kepedasan karena terlena kenikmatannya.
Tembang ini mengajarkan agar dalam membelanjakan uang yang kita miliki, yang sejatinya adalah rezeki dari Tuhan, jangan tanpa menejemen, apalagi tak terkendali demi menuruti syahwat. Karena dampaknya adalah ketidaknyamanan hidup yang sangat di kemudian hari, bahkan sesaat setelah menikmati.
Ibarat seorang pria, menggunakan uang seperti bersenggama. Dengan selingkuhan atau istri? Dengan selingkuhan, motifnya hanyalah kepuasan ragawi. Akhirnya, setelah klimaks terasa penyesalan yang sangat. Atau di kemudian hari terjangkit penyakit menular seksual, atau rumah tangganya ambyar.
Berbeda dengan pria yang menyenggamai istri. Motifnya bukan kepuasan ragawi semata. Ia melakukannya dengan proyeksi masa depan. Mungkin untuk memperoleh keturunan, atau menjaga keharmonisan rumah tangga. Istri adalah pasangan halal yang semestinya diajeni (dihormati). Begitu juga dengan uang. Seharusnya kita ajeni dengan cara memegang, menyimpan, serta membelanjakan secara bijaksana, dengan menejemen yang mengamankan masa depan. Begitu.
Bagaimana dengan uangmu, ia “istri” atau “selingkuhan”?
Mari bertemu untuk ngudarasa, mengulik lebih dalam, dan membeber keluasannya, di tempat biasa!
(Ibudh)