Menu Close

27 Mei di 272 tahun Sokawati

Reportase Maiyahan di Alun-Alun Sragen, 24 Mei 2018

Gerimis bertabur di seluruh penjuru kota kecil ini, sampai sesudah magrib berkumandang aku masih terduduk di bawah rindang pohon beringin tua di depan paseban kabupaten. Lalu mata menikmati lalu-lalang semakin padat, jejak langkah kaki semakin pepat, semua jalma nampak bergerak menuju sesuatu.

Disana di depan tulisan “Sragen” yang cukup besar berwarna Hijau muda, sebuah panggung tertata rapi, gamelan kuning mengkilat, dan tikar-tikar mulai tergelar dibalik semakin riuhnya manusia. Ada apakah ini? Siapa dan apa yang mereka tunggu?.

Isya’ menjelang, satu-dua pejabat tinggi kadipaten kukenali duduk di shaf depan, diikuti dengan jamaah lain yang memadati pusat kota ini, semuanya bersujud menuju titik sembah tertinggi kepada Sang Khalik, lalu bersambut dengan tarawih. Disisi lain dekat panggung bapak-bapak dari Forum Kerukunan Umat beragama dari agama dan keyakinan lain juga khidmat menunggu ibadah selesai, santai, begitu guyup rukun rasanya.  Disekeliling alun-alun sebagaimana di setiap maiyahan selalu memberikan efek rejeki buat sekitarnya ,dari penjaja kopi, kacang rebus sampai peci maiyah lengkap berjejer menambah semaraknya perhelatan malam ini.

Titik-titik gerimis mulai reda, barikade Kepolisian semakin rapat dan Mbah Nun, guru kita semua berjalan pelan dari paseban kadipaten menuju ke panggung Maiyah. Segala sesuatunya dimulai.

Indonesia Raya dan Syukur diawali sebagai ikrar bebekti kanggo bumi sukowati, dan hadirin semua berdiri bernyanyi lantang melagukan karya WR. Suprarman dan H. Muntahar tersebut. Lantang, gagah dan khidmat rasanya, dalam bayangan saya seperti inikah 272 tahun yang lalu di Bumi Sukowati Raden Mas Sujana memulai perlawanannya melawan Belanda. Perlawanan yang berujung pada kekalahan Belanda di Perjanjian Giyanti, lalu Mas Sujana mendapat separuh dari wilayah mataram dan mendirikan Kasultanan Yogyakarta. Kotapraja yang jadi roh-nya Jawa, sekaligus tempat Mbah Nun menggelandang bertahun-tahun bersama Gurunya Umbu Landu Paranggi, si maestro sastra itu.

Berbicara Sastra, setelah membuka acara Mbah Nun menyempatkan diri mengajak jamaah berdoa khusus untuk Sahabatnya, Sastrawan besar asli Sragen yang meninggal 40 hari yang lalu, Mas Danarto, simbah menjelaskan beberapa kenangan soal jalan sunyi Mas Dan yang memang harus ditelusuri kembali, meski Mas Dan sudah pergi.

Sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane…

Lila lan legawa kanggo mulyaning Negara….

Demikian rancak Gugur Gunung dilanggamkan mbah-mbah Kiai Kanjeng di Maiyahan ulang tahun Sragen ini. Dengan tema “Guyup Rukun kerjo tekun, nyawiji bekti kanggo bumi Sukowati”  nampak terasa perpaduan lagu dengan nuansa yang ingin disajikan. Lalu doa-doa lintas agama disuarakan semua untuk kebaikan Sragen hari ini dan masa mendatang.

Jagading Gumelar, semua manusia melingkar dipotonglah tumpeng  sebagai pertanda ambal warsa Sragen yang ke 272. Tanggal resminya 27 Mei ketika ditancapkan panji-panji perlawanan di daerah Karangnongko, Masaran. Namun tanggal itu juga sangat spesial bagi jamaah Maiyah, karena Mbah Nun juga lahir tanggal 27 Mei. Begitu menarik garis korelasinya karena Mbah Nun juga terus menerus melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan sampai sekarang Sragen juga tak luput diayomi oleh Simbah sejak Kedungombo ditenggelamkan oleh Penguasa, Mbah Nun juga setia menemani rakyat kecil yang menjadi korban penenggelaman.

Pak Kapolres turut menghimbau agar terus menjaga kerukunan mendekati pilkada yang rawan perseteruan, lalu Mbah Nun melengkapi agar terus menerus mencari keseimbangan dan persamaan  jangan mencari perbedaan, karena disitulah guyub rukun yang dicita-citakan itu bermuara.

Kemesraan terus berlanjut ketika Ibu Novia berduet dengan Ibu Bupati, turut mewarnai semarak ambal warsa malam ini. Lalu Kiai Kanjeng juga menyajikan medley musik Indonesia  dimana sejak kemerdekaan segala sesuatu terus berubah, juga dengan warna dan selera musik sebuah pengajaran untuk terus menerus mengamati, niteni jaman.

Kopi digelas saya sudah habis, begitu pula maiyahan memuncaki waktunya Mbah Nun mengajak seluruh masyarakat untuk terus menerus menjaga kebersamaan ini, karena ketika kebersamaan dijaga tidak ada tempat bagi mereka yang mau memprovokasi, memecah belah kesolidan rakyat.

Sebagai ujub kebahagiaan pak Ma’ruf Islamuddin pengasuh Pondok Pesantren Walisongo Sragen menutup lingkar malam ini dengan kumbuling pandonga bagi kesejahteraan Sragen dihari-hari selanjutnya.

Seluruh jamaah bersalaman dengan Mbah Nun, Ibu Bupati beserta jajarannya, hampir satu jam lamanya. Di luar sana kawan-kawan saya dari BPBD dan TAGANA  ngringkesi  terpal-terpal yang tergelar, lalu tanpa dikomando santri-santri juga ikut membersihkan sampah-sampah yang bercecer. Pesen kopi lagi saya sambil menunggu semuanya selesai.

Kembali ke paseban, sambil menunggu jamuan yang dihidangkan untuk Mbah Nun dan Kiai Kanjeng, di luar sudah menunggu beberapa orang, yang momen singkat Mbah Nun naik ke mobil digunakan untuk memberi berkah pada anak-anak kecil, memintakan berkat di air mineral yang entah kan digunakan untuk apa dan siapa, tanda tangan buku, atau sekedar foto. Segalanya berjalan sangat santun.

Tangan mengucapkan salam, di dalam mobil Elgrand Mbah Nun mewakili semua mohon pamit untuk kembali ke Jogja, “27 Mei” sudah pungkas membersamai 27 Mei di 272 tahun,  demikian lalu mobil keluar gerbang paseban.

Sunyi sejenak, lalu saya juga bergegas pulang.

 

Sragen, 25 Mei 2018

Indra Agusta

Tulisan terkait