Puji syukur diskusi Majelis Masyarakat Maiyah Surakarta kali ini langit tampak cerah, mengingat bulan April ini curah hujan di kota Solo lumayan sering. Diskusi Maiyah kali ini mengambil judul “Champion”. Mukadimah kemarin Alan Fatoni sebagai penulis menuturkan mengenai kejadian-kejadian yang kita alami sewaktu wabah dua tahun kemarin, seperti halnya larangan dari pemerintah untuk berkerumun, pembatasan aktivitas beribadah, pembatasan aktivitas jual beli, sampai pelarangan mudik atau pulang kampung pada momen Idul Fitri. Penulis mengajak kita untuk mentadaburi apapun kejadian kemarin disekeliling kita, apakah mungkin Tuhan mengajarkan kita untuk berpuasa, menahan diri dari segala hal apapun itu? Atau malah kita sedang diajarkan langsung oleh Tuhan untuk memaknai puasa dengan sebenar-benarnya? Semoga kita semua diberi kelulusan oleh Tuhan yang berupa rida atas kejadian-kejadian kemarin yang merupakan substansi dari kemenangan itu sendiri.
Pembahasan ini menarik didiskusikan, mengingat tidak semua kejadian yang jamaah alami semuanya sama, dari latar belakang dan sosiokultural jamaah rata-rata mempunyai cerita yang berbeda, belum lagi mengenai pemaknaan puasa yang di Masyarakat Maiyah bisa diartikan secara jembar cum universal.
Mengawali pembukaan Majelis Suluk Surakartan ke-58, sebagai moderator, Abdul Khaq meminta Wasis untuk memimpin selawat alfussalam yang diikuti semua jamaah yang datang di Majelis secara khidmat. Selepas selawat Abdul Khaq menyapa seluruh jamaah yang hadir. Khaq juga mengucapkan sugeng rawuh kepada mereka yang baru pertama kali datang di Suluk Surakartan, seperti Mas Eko, Mas Nanang dan Mas Puthut yang jauh-jauh datang dari Wonogiri.
Selepas Alan mengulas mukadimah secara singkat, Wasis segera menimpali dengan pertanyaan “sakjane seng poso sopo, seng bodho sopo?” seakan peristiwa lebaran itu esensinya bergeser menjadi konsumtif di masyarakat. Kemudian Abdul Khaq sebagai moderator melempar kepada jamaah mengenai pemaknaan terhadap puasa, juga lebaran. Mas Nanang selaku jamaah menceritakan pengalamannya ketika berada di negeri piramida. Bagi Mas Nanang lebaran di negara Mesir itu tampak biasa saja, tidak seperti di Indonesia, seperti halnya toko-toko dan pasar di sana pada waktu lebaran tetap buka seperti biasa, jadi seakan-akan aktivitas sewaktu lebaran itu berlangsung seperti hari biasa. Hanya saja menurut Mas Nanang, lebaran disana rumah-rumah dan tempat ibadah terlihat meriah karena dihias lampion.
Kemudian diskusi berlanjut, kali ini moderator meminta pendapat Indra Agusta mengenai pemaknaan puasa dan lebaran. Sebelum Indra menjawab pertanyaan moderator, dia membuka terlebih dahulu dengan bercerita mengenai kejadian-kejadian apa saja yang terjadi di kota Surakarta. Mengenai pemaknaan puasa sendiri menurut Indra Agusta sangat global, artinya tidak hanya orang Islam saja yang berpuasa, Indra mencontohkan seperti di agama Hindu ada namanya upawasa, kalau di agama Kristen sendiri, kata Indra tidak ada tuntunan untuk berpuasa, akan tetapi Yesus itu pernah 40 hari, 40 malam tidak makan dan minum dan Yesus juga melakukan itu dari tradisi Nabi-nabi sebelumnya. Selain itu, Indra Agusta juga bercerita mengenai puasanya penyair Umbu Landu untuk murid-muridnya, yang mana -sepengetahuan saya- itu juga bukan merupakan perintah dari syariat agama.
Diskusi berlanjut. Kali ini Pak Munir menerangkan puasa dalam kehidupan sehari-hari “Puasa itu setor sajen buat Gusti Allah, nirakati dinggo anak putu, tidak hanya israf (berlebihan dari kadar yang dibutuhkan) untuk ngujo awak”, bahwa disini penulis mentadaburi agar kita semua tidak terpaku pada pemaknaan puasa secara leterlek, lebih-lebih jika puasa digunakan hanya untuk menahan barang sebentar kemudian membalaskannya dengan cara berlebihan, apapun konteksnya. Pak Munir juga menjelaskan bahwa puasa juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menahan diri ketika kita digleyer, atau disalip orang di jalan.
Dan terakhir, setelah selingan dari beberapa nomor lagu yang dinyanyikan dan diikuti oleh semua jamaah, giliran Ibud bersedekah ilmu mengenai pemaknaan puasa. Menurut Ibud, pemaknaan puasa masyarakat hari ini seakan-akan kita pamrih kepada Gusti Allah, seolah kita terjebak dalam pahala. Ibud juga mencontohkan berdasar pengalamannya, seperti banyak orang yang bersedekah di bulan Ramadan, tapi tidak tepat sasaran, juga banyak orang membangun masjid, tapi di masyarakat sendiri masih banyak orang yang membutuhkan bantuan.
Pada pukul dua belas lebih seperempat Abdul Khaq selaku moderator mengakhiri diskusi, sekaligus menutup pertemuan Suluk Surakartan bulan ini. Shohibu Baiti.
Penulis:
Boim Ibrahim