Orang-orang tua zaman dulu, mungkin juga sebagian kecil di masa kini memiliki kebiasaan menghabiskan waktu malam pada waktu-waktu tertentu untuk melihat ke dalam dirinya masing-masing. Bahasa Jawanya menepke pikiran. Bahasa masa kininya barangkali introspeksi diri.
Proses itu berjalan secara periodik dan dilakukan secara disiplin. Mereka memproses pengalaman yang sudah dijalani untuk dikristalkan sebagai pelajaran hidup yang akan menjadi pedoman dalam laku hidup selanjutnya. Proses semacam itu menjadikan orang-orang zaman dulu menjadi master dalam kehidupannya sendiri, karena mereka belajar dari realitas hidup, bukan dari sesuatu yang diserap secara teoritis saja.
Itu pula yang barangkali bisa kita gali lagi mengapa kita bermaiyah. Bermula dari sekedar datang berkumpul, mendengarkan aneka pembicaraan dan petuah dari para pembicara, ada proses yang berangsur-angsur kita alami dalam diri kita jika kita mau melakukan pendalaman lagi. Apa yang kita terima selama bermaiyah, sebenarnya adalah benih yang dikembalikan pada kita apakah akan ditanam dan dirawat dengan baik, atau dibiarkan saja sehingga tidak menjadi apa-apa.
Atau bisa juga seperti orang yang setelah mengumpulkan bahan-bahan dan peralatan, ia menuju pawon untuk mulai “memasak”. Proses memasak yang cermat, diikuti dengan kesabaran dalam menjalani proses, akan menghasilkan hidangan yang lezat untuk disuguhkan kepada para tamu. Hal itu berbeda dengan yang terbiasa instan atau justru terlalu banyak bicara tentang status kebenaran “pawon” yang sebenarnya menjadi rahasia si tuan rumahnya.
Dihadapkan pada pilihan yang demikian, apa yang sudah kita lakukan? Internalisasi yang terus menerus dan semakin mendalam sehingga kita bisa menjalani hidup dengan lebih bijaksana atau sekedar mengapung terus menerus pada wacana permukaan saja? Jawabannya kembali pada diri kita masing-masing.(YAP)