Sejarah perjalanan hidup manusia dari awal Nabi Adam diturunkan hingga detik ini memang semakin sulit membedakan antara benar-salah dan baik-buruk. Setiap hari, bulan, tahun dan bahkan setiap generasi seperti memang sudah digariskan Tuhan untuk berdampingan dengan tanda tanya tersebut.
Padahal disetiap wilayah tertentu akan berbeda output yang dihasilkan dalam menentukan benar-salah atau baik-buruknya. Semisal berada di wilayah hukum yang harus jelas benar dan salahnya. Tetapi di wilayah budaya memerlukan adanya kebijaksanaan. Berbeda lagi saat berada di wilayah poilitik, ada kewajiban untuk mempersatukan. Dan agama menuntun manusia dengan menghamparkan betapa kayanya dialektika antara Sabil (arah perjalanan), Syari’ (pilihan jalan), Thariq (cara menempuh jalan) dan Shirath (presisi keselamatan bersama di ujung jalan). Sebuah relatifitas yang tak bisa direduksi dengan satu kata saja. Dan akan selalu menimbulkan tanda tanya dalam setiap sisinya.
Disisi lain, mengharapkan utopia yang begitu indah tanpa adanya kesalahan dan keburukan dirasa tidak akan mungkin terjadi. Justru semakin hari semakin sulit membedakan antara yang haq dan bathil. Yang hitam dan yang putih, yang haq disalahkan dan yang bathil dibenarkan. Mana yang bertopeng dan mana yang berwajah asli. Manusiapun berulang kali dibuat bingung oleh keduanya.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan kita? Apakah kita kehilangan sosok panutan, hingga kita semua dibuat bingung seperti ini. Layaknya orang buta yang kehilangan tongkat dan tersesat ditengah luasnya belantara.
Tapi tunggu dulu, bukankah kita punya suri tauladan yang sangat dijunjung tinggi. Ya, Kanjeng Nabi sang insan kamil yang mampu menjadi acuan dalam menentukan arah jalan yang tepat.
Lantas mengapa kita semua masih bingung menjari jalan keluar untuk terbebas dari hutan kebimbangan? Apa yang salah dengan kita. Apakah jalan yang kita pilih sudah benar atau malah sebaliknya. Jangan-jangan kita salah dalam memahami beliau. Jangan-jangan kita hanya memahami beliau dari kulitnya saja. Sedangkan yang kulit bukanlah inti dan akan tergerus oleh dimensi ruang dan waktu.
Kita semua perlu adanya “tongkat” yang mampu menghantarkan atau setidaknya mampu menunjukan jalan yang benar hingga sampai pada tujuan hidup (benar/baik). Atau jangan-jangan kita sudah merasa berada dijalur yang tepat.
Senyatanya masih banyak figur dalam hidup yang rela meninggalkan kita semua. Dari mulai teman, sahabat, partner kerja, guru, pemimpin, keluarga, bahkan orang tua sekalipun tak segan meninggalkan kita. Bukankah hal itu yang mendasari kita tersesat dalam ketidaksengajaan.
Atau jangan-jangan semua itu disebabkan oleh ketidakyakinan atas kebenaran yang kita pilih. Atau ketidakjelasan pengetahuan dan ilmu tentang kebenaran. Ataukah semacam bentuk kelemahan sebagai makhluk sosial yang selalu memerlukan orang lain untuk “menuntun” langkah kita.
Mari melingkar dan berkumpul untuk mencari jawaban dari semua ini. Bismillah.
Ahmad Abdul Khaq