Pernahkah kita melihat sebuah keramik yang pecah? Biasanya, benda itu akan dianggap rusak dan dibuang. Namun, di Jepang, ada sebuah seni yang disebut kintsugi, yang justru memiliki sudut pandang unik melihat retakan itu. Kata kintsugi sendiri berasal dari dua kata, kin (emas) dan tsugi (menyambung). Seni ini mengajarkan kita untuk menyatukan bagian-bagian keramik yang pecah dengan pernis berisi bubuk emas. Bukannya menyembunyikan retakan, justru garis-garis retak itu diperkuat, dijadikan penanda sejarah, dan bahkan diperindah. Kintsugi seolah berbisik, “Pecah itu hal wajar. Tapi, apakah kamu mau memperbaikinya dan menjadikannya indah?”
Lalu, bagaimana jika konsep ini kita terapkan ke dalam kehidupan? Tidak ada manusia yang luput dari kegagalan, kehilangan, trauma, atau rasa sakit. Dalam fase-fase itu, kita sering merasa hancur seperti pecahan keramik. Tapi, kintsugi mengingatkan bahwa kita bisa memilih untuk tidak membuang bagian-bagian diri kita yang retak. Kita bisa mengumpulkannya kembali, mengolahnya, dan memberikan warna baru pada cerita hidup kita. Luka-luka itu tidak perlu disembunyikan, karena justru di sanalah keindahan manusiawi kita terpancar.
Filosofi ini juga sangat relevan dalam interaksi sosial, di dunia kerja, bahkan dalam hubungan keluarga. Sebuah tim kerja yang solid biasanya terdiri dari orang-orang yang telah melewati banyak tantangan dan belajar dari kegagalan mereka. Begitu juga dalam keluarga. Hubungan yang harmonis tidak lahir dari ketidaksempurnaan yang ditutupi, tetapi dari keberanian untuk memperbaiki retakan dengan cinta dan pengertian. Dalam konteks bermasyarakat, kintsugi mengajarkan bahwa keragaman latar belakang dan pengalaman justru bisa menjadi “emas” yang menyatukan, bukan halangan.
Di setiap retakan, ada cerita. Di setiap cerita, ada kesempatan untuk bertumbuh. Filosofi kintsugi tidak meminta kita menjadi sempurna. Sebaliknya, ia mengajarkan kita bahwa hidup adalah tentang bagaimana kita menerima luka, menyembuhkannya, dan menjadikannya bagian yang indah dari siapa kita hari ini. Jadi, jika kita merasa “pecah,” ingatlah: mungkin itulah awal keindahan dari sebuah karya baru dalam kehidupan.
Mari menjadi bagian, bagaimanakah Suluk Surakartan mulai menyambung retakan-retakan dan pecahan-pecahan itu, menjadi sesuatu yang lebih indah.
;