Para Ksatria penunggang kuda putih satu persatu mulai berdatangan. Kurang lebih bejumlah sembilan orang. Pakaian kesembilan orang itu berbeda-beda. Ada yang hitam pekat. Ada yang putih bersih. Ada yang merah mencolok tapi ada juga yang memakai baju dengan warna kombinasi garis-garis vertikal hitam dan cokelat. Belum juga mereka sampai ke medan perang, pasukan lawan yang berjumlah lebih dari tiga ribu enam ratus lima puluh lima orang mengalami kekhawatiran yang luar biasa. Panik melanda. Seakan lebih baik pergi menyelamatkan diri daripada harus berhadapan dengan sembilan orang Ksatria Kuda Putih itu.
Awalnya mereka menganggap cerita tentang keberadaan kesembilan ksatria itu hanya gertak sambal belaka. Banyak yang tidak percaya, bahwa ada satu wilayah yang memiliki ksatria yang kalau berperang, sebelum ada darah yang tumpah, pasukan musuh lebih baik takluk dan menyerah. Karena keselamatan mereka lebih terjamin ketimbang harus berperang dengan sembilan ksatria itu. Bagi yang menyatakan diri menyerah, di antara mereka ada yang diajari berdagang. Ada yang diajari untuk menjadi peternak dan petani. Ada juga yang diberi kesempatan untuk ikut dalam workshop “bagaimana cara berperang, menang tanpa harus mengalahkan”. Maka ketika sembilan ksatria itu sudah terlihat dari kejauhan, perang segera berhenti. Tak ada lagi yang harus mati.
Simpang siur dari mana sembilan ksatria berkuda putih itu berasal. Sangat samar siapa mereka sebenarnya. Ada desas-desus bahwa mereka tidak memiliki wilayah tinggal yang tetap. Hidup dengan penuh pengembaraan. Dari negeri mana tidak pernah ada yang tahu pasti. Namun sempat tersiar kabar. Salah seorang ahli sejarah mengatakan mereka sebenarnya adalah orang-orang buangan. Orang-orang yang bahkan tidak diakui oleh negerinya sendiri. Orang-orang yang keberadaannya disangkal oleh sejarah di negerinya sendiri. Padahal sudah banyak yan tahu, bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membuat damai jika ada dua pihak yang bertikai. Mereka selalu menawarkan jalan tengah musyawarah daripada harus perang bersimbah darah.
Konon, negeri sembilan ksatria itu berasal selalu menjunjung tinggi perdamaian, menggaungkan bahwa mereka turunan bangsa yang besar selalu berada di bawah lindungan Tuhan, kaya raya subur makmur, menomorsatukan kepentingan rakyat, dan hal-hal yang baik-baik lainnya. Mungkin karena sudah merasa besar mereka sudah tidak butuh lagi sosok-sosok seperti ksatria berkuda putih itu. Dan memilih menghapus mereka dari sejarah negerinya sendiri. Tidak mau mengakui dan tidak peduli.
Sampai suatu saat ada negeri lain yang mengklaim dan mengakui bahwa para ksatria kuda putih itu adalah warga mereka……
Itulah sedikit ilustrasi sebagai sangu dalam pertemuan majelis maiyah Suluk Surakartan edisi ke-19 nanti. Pelan-pelan kita akan menyodorkan pertanyaan kepada diri kita sendiri dan lebih jauh kepada negeri yang besar ini, sebenarnya seberharga apa rakyat di negeri ini?
Ketika ada yang berusaha berjuang, memberikan sumbangsih kepada untuk negara, mengharumkan nama negara, tapi negara malah abai. Ada yang seperti itu? Semoga saja tidak.
Bahkan ada yang menjadi pejuang di negara nun jauh disana, yang lazim secara administrasi birokrasi disebut dengan TKI, yang hidup dan berjuang dengan bermodal visa “Visabilillah” seperti yang diungkapkan oleh Mbah Nun. Pejuang yang tidak hanya berani tapi juga cukup disegani dan paham dari strategi kebudayaan sampai strategi ekonomi. Karena mungkin ada rakyat di negeri ini yang diangkat menjadi ksatria di negara lain. Satriya Nagara Liya. Selamat menggali. Semoga bermanfaat.