Manusia telah memasuki abad ke-21. Entah sejak kapan pertama kali manusia hidup di muka bumi, tidaklah terlalu penting diperdebatkan. Yang pasti, manusia telah hidup cukup lama dan mengalami berbagai perubahan dari masa ke masa.
Kini sampailah pada sebuah fase yang sering disebut dengan istilah “modern”. Istilah modern sering diterjemahkan dengan kecepatan, kepraktisan, dan kecanggihan teknologi. Memang banyak hal yang terselesaikan lebih cepat dan lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Jika dulu membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengirimkan kabar, kini dalam hitungan mikro detik sebuah kabar dapat disebarkan.
Akan tetapi, apakah itu selalu baik untuk kehidupan manusia? Ternyata tidak. Segala hal yang cepat dan praktis membuat manusia hari ini lupa dengan asal-usul. Ada sebuah kesadaran proses yang hilang akibat dipotong oleh perilaku modern itu. Ibarat meminum air, orang sekarang hanya berpikir bagaimana punya uang lalu membeli air kemasan dan tinggal minum saja. Ia tidak pernah lagi berpikir tentang air yang diminum, dari mana diambilnya, bagaimana proses panjangnya hingga akhirnya melewati tenggorokannya.
Akibatnya sekarang manusia mengalami kondisi wegah kangelan atau dalam istilah sekarang bermental instan. Karena wegah kangelan, manusia hari ini mudah diakali dengan label atau kemasan. Manusia bisa saling bertengkar hanya karena beda minat atas berbagai kemasan. Padahal setiap hal yang diketahui manusia, pasti memiliki asal-usulnya dan ada proses yang berlangsung di sana. Karena wegah kangelan manusia tidak melakukan tadabbur, yaitu mencermati berbagai proses yang terjadi baik dalam dirinya maupun yang berlangsung di sekitarnya.
Mental instan membuat manusia hanya mencari mudahnya saja. Caranya lihat kemasan dan mengkonsumsinya tanpa berpikir panjang. Karena hanya selalu berorientasi pada kemasan, manusia tidak menyadari asal usulnya. Manusia tidak mengenal leluhurnya sehingga tidak lagi menjalankan warisan mereka yang luhur karena ketidaktahuannya. Dalam beragama pun, manusia tidak lagi mentadabburi sumbernya dengan baik, tetapi lebih sibuk memperdebatkan tafsir. Tak jarang di antara manusia malah mengemas tafsirnya untuk “dijual” demi mendapatkan keuntungan materi.
Puncak dari kejatuhan manusia yang cukup parah adalah ketika mudah terseret pada berbagai arus. Mereka tidak bisa menentukan arusnya sendiri dan mudah tergiring ke sana kemari. Mudah diombang-ambingkan dengan opini dan digiring untuk saling bertengkar satu sama lain. Mudah ditipu dengan pencitraan dan aneka promosi yang membuat mereka kehilangan banyak hal dalam hidupnya.
Maka dari itu, puisi “Syahrul Huzni” yang ditulis Mbah Nun sangat penting kita tadabburi dalam skala yang luas, tidak hanya untuk menunjuk sebuah kasus tertentu dalam dinamika masyarakat maiyah. Puisi tersebut menampar siapa pun yang sungguh-sungguh menapaki jalan sunyi maiyah. Jika boleh berpendapat, kesedihan Simbah yang tertuang dalam puisi tersebut sebagai koreksi internal agar masyarakat maiyah membangun dirinya dan menjalankan perannya semaksimal mungkin sehingga menimbulkan dampak yang signifikan.
Sudah saatnya setiap diri kita mulai berani untuk kangelan. Kita harus mulai sungguh-sungguh untuk nandur. Nandur di sini adalah membangun kesadaran diri atas peran apa yang harus kita lakukan dalam hidup kemudian kita jalani sungguh-sungguh peran itu. Apa pun yang kita pilih asal memiliki manfaat bagi diri kita dan orang lain, maka tekunilah. Jangan sampai kita memanen tanaman orang lain, yaitu sekedar mengambil untung seenaknya dan mengklaim kerja keras orang lain sebagai kerja kita.
Ojo wedi kangelan, demikianlah yang seharusnya kita gelorakan. Sadar proses artinya kita siap untuk menjalani setiap episode dalam hidup ini dengan gravitasi kepada Tuhan. Apakah zaman yang kita sebut “modern” ini pasti akan terus bertahan? Belum tentu. Kehidupan “modern” saat ini sarat dengan berbagai manipulasi dan berbagai ketidakjujuran, jadi akan tiba saat keruntuhannya nanti. Ketika itu benar-benar terjadi, kita yang sudah tidak takut kangelan insya Allah akan tetap kokoh menghadapi masa-masa itu. (YA)