Istri saya kembali menanyakan jadwal kegiatan untuk Jumat malam. Urusan jadwal, dulu saya sering mendengar, bahwa urusan hidup di planet Bumi sebagai manusia, terkadang harus mau menjalani aktivitas yang bukan berasal dari perencanaannya sendiri. Atau dengan pemahaman lain, hidup karena dijadwal orang lain. Mungkin itu salah satu bekal untuk menuju ‘Manusia Ruang’.
Jadwal Jumat malam itu saya harus mengantar istri periksa ke dokter spesialis kandungan. Karena sudah banyak yang menyarankan agar segera dilakukan USG, Ultrasonography yaitu teknologi yang memanfaatkan gelombang suara dengan frekuensi tinggi yang tidak dapat didengar orang manusia untuk menampilkan citra gambar yang ada di dalam perut. Tujuannya ada dua. Satu, mengetahui jenis kelamin bayi. Dua, mengetahui posisi janin. Apakah sudah mapan sesuai yang seharusnya ada masih dalam kondisi sungsang.
Ternyata, dengan menggunakan suara kita bisa melihat kehidupan yang terhijab bermilyar lapisan. Apa ini yang terjadi ketika seorang Muhammad menerima wahyu “Iqra”? Karena saking tingginya frekuensi gelombang suara yang dipancarkan oleh Jibril, ketika,
“Iqra!” lalu tampak citra alam semesta beserta isinya dalam penglihatan Muhammad. Baik teks atau konteks. Tersirat atau tersurat. Atau apapun saja yang memang sudah disiapkan sebagai bekal bagi seorang Muhammad untuk menjadi ‘Manusia Ruang’ membawa rahmat semesta bagi alam seisinya.
Pukul tujuh kami menuju klinik. Namanya Barokah. Iya namanya persis geperti nama gang alamat Rumah Maiyah, di Kadipiro, Jogjakarta. Tidak lama setelah melakukan daftar ulang, kami diminta untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Di sana sudah ada satu dokter dan dua asistennya yang kayaknya masih jomblo. Istri saya berbaring. Saya mengawal berdiri di dekatnya. Mbak asisten mengoleskan semacam krim pelembab. Mungkin untuk mengurangi iritasi kulit. Yang jelas bukan es krim.
Citra yang terlihat di layar monitor menunjukkan beberapa organ vital sudah terlihat. Saya semakin heran saja. Mbok kuwi sing jomblo-jomblo nek arep nembung cewek, ceweke di USG sek hatinya. Ngko gek-gek awakmu memang tidak pernah bersemayam di hatinya? Dadi nek ditolak ki ora kecewa. Siapa tahu ada klinik yang menyediakan jasa USG hati. Ah, drama sinetron!
Karena baru pertama kali ini, melihat pergerakan janin lucu juga rasanya. Aneh ya. Ada makhluk di dalam makhluk. Ada yang kehidupan di dalam kehidupan. Ada keindahan di dalam keindahan. Dokter menerangkan macam-macam.
“Yang itu jantungnya. Aktif.” Kata dokter. Saya manggut-manggut saja. Orang saya juga tidak punya ilmu untuk membaca citra USG.
“Mau tahu jenis kelaminnya?” tanya dokter. Sebenarnya tidak usah saya jawab juga, dokternya sudah tahu. Tujuan saya USG kan supaya tahu. Ah dokter ini lho!
“Ini, kemungkinan perempuan.” Kata dokter membuka satu pintu kemungkinan. Saya lagi-lagi plonga-plongo. Dokternya tahu ya?
Begitu selesai pemeriksaan dan membayar biayanya istri saya mengejek saya habis-habisan di tempat parkir.
“Ahahaha, bapak nebaknya apa? Cowok?”
“Ya nek menurut kepengenku ya cowok. Mbah ya ngomongnya cowok. Informasinya lewat dimensi mimpi.”
“Ahahaha, cowok apa cewek yang penting dedek-nya sehat. Tetangga sebelah rumah dulu ya ngomongnya anak kita bakalan cowok. Berdasarkan ilmu pembacaan raut muka ibunya. Nek ketok weliiiikkk, biasane lanang. Ahahah….”
Tapi itulah misteri. Kenyataan kebenarannya seperti apa nanti masih menjadi misteri. Bagi saya, kalau memang itu misteri, biarlah tetap menjadi misteri. Sama misterinya dengan kehamilan istri saya. Saya masih sering bertanya-tanya. Kok hamil? Hampir empat tahun saya menunggu. Saran dan masukan dari teman, saudara, dan handai taulan saya turuti. Namun tak jarang pula saya mengalami kekecewaan demi kekecewaan karena tak segera membuahkan hasil.
Jadi kalau saya ditanya, “Lho program hamilnya dimana?”, atau “Bagaimana sih caranya biar segera punya keturunan? Minum jamu apa? Dokternya dimana?”. Jawaban saya sama, “Saya tidak tahu sama sekali. Karena memang benar-benar tidak tahu. Benar-benar di luar kekuasaan saya sebagai penghuni planet Bumi. Kami baru memiliki niat untuk melakoni serangkaian program hamil. Cek laboratorium, cek sperma. Yang penting tetap jaga hasrat untuk berhubungan.”
Sebelum menyalakan motor, istri kembali bertanya,
“Jadi ke Suluk Surakartan?”
Dan malam itu juga, hari Jumat, 29 Juni 2018, ketika waktu sudah menunjuk hampir jam sembilan malam, saya meluncurkan diri menuju Rumah Maiyah Solo yang terletak di kawasan Tanjung Anom, kabupaten Sukoharjo, Solo Raya, Jawa Tengah, Indonesia, Asia Tenggara, Asia, Planet Bumi, galaksi Bima Sakti.
Ketika saya datang ke lantai dua di pabrik meubel itu, lebih kurang dua puluh orang jamaah sudah hadir. Segera mas Rafi dan mas Toni mengajak jamaah untuk mengaji surah Al Baqarah ayat 62 sampai selesai. Disusul dengan pembacaan sholawat Nariyah. Istri saya sering kalau jalan-jalan pagi sholawatan memakai Sholawat Nariyah. Istri saya hafal. Saya tidak hafal sama sekali. Namun, rasanya malam itu istri saya ikut maiyahan. Terima kasih sholawat Nariyah.
Menurut para penggiat, salah satu keunikan maiyah Suluk Surakartan adalah jamaah yang hadir setiap bulannya selalu silih berganti. Yang bulan ini datang, besok belum tentu datang lagi. Banyak ditemukan wajah-wajah baru. Sebagian besar mengaku mendapat informasi dari media sosialnya Suluk Surakartan. Mereka mengikuti maiyah melalui Youtube. Dan sesi awal ini dimanfaatkan untuk proses ta’aruf. Saling mengenal satu dengan yang lain.
Malam menjelang, jamaah diminta merapat. Jamaah yang hadir bertambah. Mungkin dua kali lipat dari sebelumnya. Proses penggalian tema dilakukan di sesi kedua.
“Maa adroka ma Suluk Surakartan.” Begitu tema maiyahan malam itu.
Mas Aziz ‘Kenyot’ yang sehari-sehari menjadi guru bahasa Arab memberi dasar tentang arti susunan kalimat Maa adroka ma. Yang intinya menanyakan tentang sesuatu. Beliau sekaligus menjelaskan dimensi kata Suluk. Yang bisa berarti cara berjalan. Hampir semakna dengan kata Thariqah.
Duduk pula di depan, mas Wasis, selaku moderator, Pak Munir, dan mas Rendra. Mas Rendra, seorang filolog muda yang menggeluti dan bergelimang pengetahuan tentang Jawa, membeberkan beberapa temuannya terkait tentang Surakarta di masa lalu. Dari sejarah penamaan, kondisi geografis, psikologis manusianya, hingga falsafah ideologisnya, yang salah satunya dengan melakukan pembacaan fenomenologi keris. Keris dulunya menjadi penanda identitas seseorang. Semacam berlaku sebagai passport. Karena keadaan Surakarta dulu tata kelola pemerintahannya masih benar-benar keraton. Ketika pergi ke Madiun, umpamanya, itu sudah termasuk pergi ke mancanagara. Pemeriksaan identitas dilakukan di perbatasan-perbatasan. Begitu menunjukkan keris yang dibawa, citra diri sudah terbaca. Ini siapa, dari mana, jabatannya apa, keturunan siapa, kepentingannya apa. Bagi saya pribadi, ini bahasan yang cukup menarik daripada membahas kegagalan Jerman di Piala Dunia Russia 2018.
Entah kebetulan atau tidak salah satu wilayah yang dulunya merupakan tapal batas tempat pemeriksaan hilir mudik orang-orang di wilayah Surakarta adalah gapura yang berada tepat di depan Rumah Maiyah. Tempat dipasangnya spanduk mmt Suluk Surakartan. Konon wilayah Surakarta dulu membentang dari wilayah Aji Barang di barat sampai Blitar di timur.
Ada identifikasi bahwa Surakarta terdiri dari dua kata Sura yang artinya baik, bagus, dan Karta yang artinya makmur. Sama dengan Karta yang ada di Ngayogjakarta, Jakarta, atau Meikarta? Mas Rendra juga menceritakan karakteristik keunikan orang-orang Surakarta yang sekarang lebih dikenal dengan Solo ini, yang masih bisa dijumpai sampai sekarang. Bahwa orang-orang Solo sangat potensial dalam bidang perniagaan. Namun karena itu pula, sangat sulit menjual sesuatu ke sesama orang Solo. Tetapi akan sangat berhasil ketika menjual barang dari luar Solo.
Solo juga mudah ditemukan jejak sejarah pergerakan di bidang apapun. Ekonomi, politik, jurnalistik, sampai militer. Boleh dicatat, salah satu yang membesarkan nama Via Vallen adalah Solo dengan Taman Hiburan Rakyat Sriwedari-nya.
Sebenarnya cukup banyak khazanah tentang Surakarta yang diceritakan oleh mas Rendra. Dan itu cukup untuk membesarkan hati siapa saja yang masih memiliki garis keturunan manusia Jawa.
Malam itu maiyahan berjalan dengan beberapa selipan lagu milik Letto, Ruang Rindu dan Sandaran Hati, yang dilantukan oleh mas Aziz diiringi genjrengan mesra gitar oleh mas Gema Isyak. Vokalis grup band Soloensis. Mungkin grup band itu masih memiliki garis nasab dengan Homo Soloensis.
Hadir pula Pakdhe Herman. Menurut beliau memahami Surakarta bisa juga dilakukan dengan cara selalu berbuat kebaikan. Justru laku sebagai orang Jawa itu yang harus senantiasa dijaga. Mungkin kita sudah kehilangan pemaknaan tentang keris, tentang bahasa, tentang kondisi wilayah teritorial, tetapi kita tidak boleh kehilangan laku kita sebagai orang Jawa. Ini adalah bekal yang luar biasa penting. Bagaimana agar generasi-generasi muda di masa depan tidak rendah diri mengaku sebagai orang Jawa. Sajian Macapat Pangkur Kahanan dari Pakdhe Herman menegaskan hal itu. Menggugah diri generasi muda supaya tumbuh kembali kesadarannya sebagai orang Jawa ajeg lan jejeg laiknya keris.
Pak Munir menyoroti, tema yang diusung juga bisa berfungsi sebagai kritik ke dalam. Kritik untuk Suluk Surakartan sendiri dengan landasan salah satu tulisan Mbah Nun berjudul Maiyah Mengkritik Dirinya Sendiri. Sudah belajar apa saja. Sudah mengamalkan apa saja. Bagi sebagai simpul maiyah maupun sebagai entitas dari masyarakat di wilayah Surakarta. Setelah ini mau apa?
Kalau saya pribadi, ketika ada pertanyaan,
“Bar seko maiyah ngene iki, terus arep ngopo?”
“Bar seko maiyah, aku umbah-umbah. Ket wingi aku urung salin mas. Aku kudu salin.” jawab saya.
Simpul maiyah Suluk Surakartan masih harus di USG lagi? (Didik W. Kurniawan)