Menu Close

Menepi Untuk Melaju Lagi

Hawa dingin menyapa sejak matahari terbenam. Semakin malam semakin dingin rasanya. Apalagi dikabarkan akan datang pula gerhana bulan dengan durasi cukup lama dalam beberapa dekade terakhir. Semakin spesial saja rasanya.

Majelis masyarakat maiyah Suluk Surakartan kembali digelar. Sembari menyambut kehadiran para jamaah, grup Wakijo n Friends dari Gambang Syafaat menyapa dengan lagu-lagu mereka sambil berkolaborasi dengan mas Prisa Sebastian, sang violinis yang selama ini aktif menemani maiyahan Suluk.

Sajian yang sebenarnya ngiras check sound itu akhirnya berakhir ketika mas Fatoni mengambil alih kendali dan mengajak jamaah untuk bertadarus al Quran. Dengan tetap didampingi mas Wakijo, para jamaah juga diajak shalawatan untuk setor ungkapan cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alayhi wa sallam.

Setelah sesi pembukaan selesai, Wasis yang sudah mbaureksa sebagai moderator sekaligus kumendan tertinggi Suluk Surakartan bergabung di depan melanjutkan estafet kepembawaacaraan. Seperti biasanya, ia menggali identitas para jamaah yang datang, barangkali ada yang baru dan bisa diminta memperkenalkan diri ke depan. Tampak beberapa jamaah memberanikan diri maju ke depan untuk berkenalan dan menyapa sedulur semua.

Agar suasana semakin hangat, Wakijo n Friends pun dipersilahkan kembali. Mereka menyanyikan lagu Letto Ruang Rindu dengan aransemen khas mereka berkolaborasi dengan mas Prisa yang permainan biolanya sangat menyentuh. Dilanjutkan dengan Wasis yang (mungkin) bernostalgia dengan masa pacarannya ketika SMA, melalui lagu Kisah Kasih Di Sekolah dengan aransemen keroncong.

Berbeda dari yang sudah-sudah, kali ini penggiat Suluk menampilkan salah satu wakilnya untuk menemani Wasis di depan. Adalah Pak Yus, salah satu penggiat yang dikenal suka memancing jamaah dengan berbagai pertanyaan dan komentar menggelitiknya yang kadang-kadang tidak terpikirkan oleh sesama jamaah, tampil menjadi narasumber.

Layaknya seorang pemateri, beliau menyiapkan kertas-kertas berisi tulisan yang katanya itu sebagai bahan pertanyaan. Sehingga beliau menyebut dirinya bukan narasumber, tapi naratanya. Gelak tawa tak terhindarkan mendengarkan Pak Yus mengungkapkan sebuah kata yang jarang atau bahkan mungkin baru sekali ini diucapkan di majelis.

Sebagai pemantik beliau menceritakan pengalamannya ketika memprotes kambing tetangga yang dibiarkan liar sehingga masuk ke perkarangannya dan memakan tanamannya. Hal itu ia ungkapkan di rapat RT hingga menimbulkan geger. Bukan karena protes Pak Yus soal kejadian itu yang membuat geger, tetapi usulan solusi yang beliau ajukan tentang aturan dolan kambing dan konsekuensinya, yaitu jika kambing dolan ke pekarangan tetangga maka ia boleh dimiliki si pemilik pekarangan. Logis memang, tapi tidak lazim, dan inilah yang membuat geger. Jamaah yang menyimak tak mampu menahan tawa melihat wajah datar Pak Yus yang menceritakan kejadian itu.

Di saat sedang asyik-asyiknya menyimak diskusi Pak Yus, sesepuh Suluk Surakartan sekaligus sahabat Mbah Nun, Pakde Herman pun hadir ke majelis dan langsung ikut duduk di depan. Wasis pun mempersilahkan Pakde untuk menyanyikan sebuah lagu sebagai jeda sebelum melanjutkan diskusi. Sebuah lagu Melayu yang cukup popular, Fatwa Pujangga pun dilantukan dengan aransemen keroncong.

Pak Yus kembali melanjutkan dengan beberapa lemparan pertanyaan yang kritis tapi kadang juga nyeleneh. Tak lupa beliau mempertanyakan tema yang diangkat. Barangkali benar beliau mendeklarasikan diri sebagai “naratanya”. Hadirin dibuat tertawa dengan otentisitas penampilan Pak Yu situ. Pak Didik pun merespon apa yang dilakukan Pak Yus sembari menarik pembicaraan ke tema. Menurut Pak Didik, “Berdiri di Pojokan” adalah menepi dari arus besar yang sedang terjadi saat ini agar kita bisa mengevaluasi diri kita sehingga lebih menep dan dapat menjalani kehidupan dengan kuda-kuda yang kuat.

Pakde Herman kemudian menyambung dengan mengungkapkan kegembiraannya melihat anak-anak muda antusias berkumpul maiyahan. Beliau kemudian flash back tentang keadaan masa-masa 1998 ketika masih aktif berkomunikasi dengan Mbah Nun. Beliau mengungkapkan bahwa pada saat itu Mbah Nun kecele melihat realita pusat kekuasaan yang ternyata kumpulan dari orang-orang yang haus kekuasaan. Sehingga Mbah Nun mengajak Pakde Herman untuk turun kepada rakyat. Menabur benih baru dari generasi Indonesia agar kelak tumbuh peradaban baru yang tidak rusak seperti bapak-bapaknya.

Pakde kemudian membuat analogi tentang buah mangga yang sudah membusuk. Menurut beliau keadaan saat ini seperti itu. Keadaan yang membusuk itu tanda-tanda bahwa daging mangga akan segera terkelupas dan muncul bijinya yang dikenal dengan pelok. Biarkan saja generasi tua yang rusak ini hancur dengan sendirinya, yang penting generasi muda terus berupaya tumbuh menjadi pelok baru yang akan menghasilkan tanaman mangga baru dan berkualitas. Jika anak-anak muda ini berkualitas, insya Allah permainan sepak bola di lapangan bernama Indonesia ini akan berkualitas pula. Tidak kacau balau seperti saat ini.

 

Sesi ini kemudian dijeda dengan kolaborasi Wakijo dan tim keroncong legendaris Solo dengan membawakan lagu Tombo Ati. Para jamaah diajak bernyanyi bersama dan bershalawat. Terasa auranya begitu menyentuh ketika shalawat dilantunkan dalam irama Tombo Ati itu.

Hadir pula malam itu Mas Rizky penggiat Juguran Syafaat sekaligus koordinator simpul maiyah Jateng – DIY yang jauh-jauh datang dari Purwokerto untuk diminta ke depan. Juga Gus Burhan yang sudah sangat lama ingin hadir di Suluk Surakartan tapi baru sempat hadir malam itu. Sesi gayeng bersama Pak Yus pun dicukupkan. (Yuli Ardika Prihatama)

 

Tulisan terkait