Hawa dingin terasa di badan meskipun badan telah berjaket. Pertengahan musim kemarau di akhir bulan Juli masih diselimuti hawa mbediding. Dalam keadaan demikian, tak menyurutkan para jamaah Suluk Surakartan untuk selalu hadir di acara sinau bareng setiap bulannya.
Seperti biasanya, Wasis menjadi pemandu diskusi acara sinau bareng. Mengawali majelis, salah satu peserta yang kebetulan menjadi manajer Bandoso, salah satu band metal yang cukup terkenal di kota Solo diajak untuk menemani Wasis. Sesuai dengan tema yang diangkat, yaitu “Piyantun Luhur”, perwakilan tim media pun mulai nggelar klasa untuk memantik para jamaah untuk mulai mengupas tema tersebut.
Beberapa jamaah memberikan respons tentang tema tersebut. Tanggapan mereka cukup beragam. Masing-masing mengajukan berbagai pandangan mereka tentang piyantun luhur, terutama menyangkut apa makna luhur dan realisasinya dalam kehidupan mereka. Untuk menambah serunya diskusi, mas Indra Agusta tampil menemani Wasis dan menceritakan tentang laku para “begawan” Malioboro yang dulu menimba ilmu dari Umbu Landu Paranggi. Di antaranya adalah Mbah Nun, Pak Iman Budi Santoso, dan Pak Mustofa W. Hasyim.
Semakin memasuki kedalaman diskusi, para sesepuh, Pak Munir dan Pakde Herman pun turut menemani sinau bareng tersebut. Pakde Herman menguraikan adanya penyempitan makna priyayi atau piyantun sekedar menjadi sebutan untuk “orang besar”. Padahal ia sebenarnya bermakna umum untuk manusia. Sedangkan luhur adalah sesuatu ukuran yang digunakan untuk menandai budi pekerti yang unggul.
Mas Indra menambahkan tentang pentingnya manusia menjalankan budi dharma. Budi adalah memasuki ruang kedalaman diri, senantiasa memperbaiki dan menumbuhkan kebaikan yang ada di dalamnya. Sedangkan dharma adalah wujud perilaku yang bermanfaat bagi manusia dan alam sekitar sebagai cerminan dari budi yang luhur dari dalam dirinya. Untuk merealisasikannya, Pakde Herman menekankan pentingnya sungguh-sungguh atau tenanan sehingga dharmanya benar-benar bisa dirasakan oleh sesama makhluk-Nya.
Pak Munir pun menggarisbawahi bahwa ada jebakan yang sering kali menjangkiti manusia, yakni “merasa sudah sampai atau sudah mencapai sesuatu”. Padahal jika kembali pada perintah untuk bertakwa, sesungguhnya itu adalah pesan penting dari Tuhan untuk selalu waspada. Maka, apa pun yang saat ini dicapai, itu semua tetaplah alat untuk mencapai hal berikutnya. Jadi jangan pernah berhenti untuk terus berproses. Sehingga pencapaian keluhuran itu tidak berdasarkan perasaan kita, tetapi memang menjadi bukti yang dipersaksikan semua makhluk dan Tuhan. (Yuli Ardika Prihatama)