Malam sabtu legi, 23 Agustus 2019, ketika manusia mulai pulang dari ragam hiruk pikuk kota. Penjelajah mulai mengendarai cahaya menuju tanah cintanya menenteng rejeki dan sedikit harapan juga setelah ditunaikannya segala kewajiban. Kaki-kaki roda pejalan sunyi mulai menyusuri selatan keraton yang berpagar megah dengan nama yang tak kalah megahnya, nama yang menghiasai kota ini dimasa lampau. Pakubuwono X.
Jalan-jalan di kota ketika akhir pekan menjadi tak kalah bisingnya memadati Surakarta. Sebagian ceceran sawi membekas di tempat sampah warung nasi goreng yang aku hampiri. Malam menjelang, malam ini perhelatan Suluk Surakartan akan digelar. Jalma datang jauh lebih awal dari biasanya, karena memang ingin menikmati mengendara kuda dikecepatan lambat, menangkap apa yang terlewat dibalik kecepatan. Meski begitu ketika jalma memasuki pintu hitam itu, kondisi masih ruangan sangat sepi, sudah ada mas Wasis di atas sedang membasahi rambutnya yang seperti iklan sampo, juga Umar yang asik bermain tablet.
Sembari menunggu pejalan yang lain, mampirlah jalma ke warung hik terdekat sebelumnya berpapasan dengan pak Satpam seraya berkelakar menyoal akan digelarnya sebuah konser di hari minggu. Bercerita soal kemarin ada pertemuan-pertemuan dengan pak RT untuk meminta ijin keramaian. Di tempat yang sudah sangat ramai ini ternyata kepemimpinan tradisional masih ada, setidaknya memberitahu warga sekitar jika ada sesuatu. Tegur sapa kemudian menambah kehangatan untuk menerke kiblat, bahwa sejatinya sebagai mahkluk sosial manusia harus menjangkepi dirinya sebagai mahklu srawung.
Segelas es teh dipesan, langsung beserta 3 gorengan dan lombok peretas pedasnya, mas Wasis yang belum sempat menyeruput estehnya, terpaksa kembali lagi ke Suluk karena air mineral untuk geliat ekonomi maiyah baru datang stoknya dan harus segera dipindahkan ke atas. Satu yang harus disyukuri jemaah adalah para penggiat yang datang dari berbagai tempat, datang lebih awal guna mempersiapkan segala sesuatu, jauh-jauh hari sudah menentukan tema lewat diskusi pawon, di hari-H masih mengurusi ini itu, ya sound, ya tempat, ya ketersediaan air mineral dan kopi dst.
Orientasi
Dalam ilmu navigasi yang pernah jalma cicipi, satu kata yang harus dipenuhi sebelum menentukan arah adalah orientasi. Iqro. Membaca kondisi sekeliling, menelusuri tanda-tanda hingga kemudian siap menentukan arah perjalanan. Sebagaimana di suluk, orientasi kemudian dimulai.
Mas Wasis kali ini dibantu oleh duo Agusta untuk mbeber klasa tema kali ini. Mas Indra Agusta membuka poin-poin awal sebagaimana selebaran mbah Nun pada 14 Agustus kemarin mengenaik Tajuk Manusia Nilai, Manusia Istana, Manusia Pasar.
Idiom ini memang bukan pertama kali mbah Nun memberikan di forum-forum maiyah, setidaknya di 2014 mbah Nun sudah memulai ini. Sebelum ini kita mengenal terminologi Manusia Ruang-Bidang-Garis, lalu dulu ada terminologi Manusia Emas-Batu, juga ada Manusia Keris-Pedang-Cangkul.
Bahwa jemaah maiyah harus mulai mengenali diri sendiri lewat 3 terminologi diatas. Masuk kategori manusia yang mana? Kategori manusia apa? Jemaah harus mulai tahu siapa dirinya sendiri apa yang menjadi sejati dalam dirinya. Idenfikasi diri ini memang tidak akan lepas dari proses pendidikan yang pernah dialami manusia, maka tak salah jika kita mempertanyakan kualitas pendidikan hari ini yang mungkin bisa sangat menjauhkan diri dari otentisitas. Banyak orang yang mengenyam pendidikan sekarang demi mengejar kemapanan dan kestabilan material belaka, tanpa tahu seberapa optimal mereka mengenali potensi dan bakat didalam dirinya. Padahal jika pendidikan bisa selaras dengan potensi mahkluk hasilnya akan lebih signifikan bagi jagad cilik maupun jagad gede pelakunya.
Dari sini Mas Rendra kemudian membeber perbedaan sistem pendidikan di era lampau sebagai pembanding dan mengenali outputnya. Bahasan ini kemudian berkorelasi pada hasil didikan medsos kita yang salah kaprah (mungkin malah tidak pernah mendapat kursus menggunakan medsos) yang akhir-akhir ini hanya bermuara pada mempertanyakan masalah-masalah yang sebetulnya tidak menjadi inti dari permasalahan. Mas Rendra memberikan pijakan untuk tidak mudah hanyut pada arus media mainstream, terus tekun saja pada pengenalan diri pada implementasi dari bakat-bakat yang dimiliki.
Mas Aziz dari Boyolali juga menambahkan kisah hidupnya di dunia ekonomi. Bercerita soal latar belakangnya yang dari kalangan santri, akademisi, sempat jadi guru kemudian sisi lainnya adalah menjual pernak-pernik hiasan. Dengan laba 100% kala itu, mas Aziz mencoba mengeksplorasi lebih dalam, kemudian berjualan sabun. Ditutup dengan kesimpulan, bahwa beliau memang tidak begitu berbakat didunia ekonomi, selain itu peringatan untuk jemaah maiyah yang mau memulai bergelut di dunia ekonomi bahwa proses produksi, distribusi hingga ke tangan konsumen itu tidak bisa dikerjakan sendiri. Yen aku kon berjuan dewean yo ra kuat, aku yo klenger…
Sharing Prosperity ini adalah poin penting yang disampaikan oleh Mas Aziz. Buku Homo Deus pernah membahas kegagalan komunisme salah satunya adalah justru terpusatnya semua pemrosesan data maupun produksi. Ketika kapitalisme mempercepatnya dengan membagi dalam beberapa unit produksi untuk menekan ongkos, komunisme justru menjadikan satu atap pembuatan dari awal sampai selesai. Berpacu di waktu inilah yang kemudian membunuh komunisme itu sendiri. Selain proses distribusi yang dibiarkan bebas oleh kapitalisme yang kemudian jawatan pengiriman tak hanya milik pemerintah tapi juga swasta yang kemudian berlomba-lomba memberikan kepuasan pelanggan. Lalu geliat ekonomi menjadi lebih dinamis di kapitalisme, meski akhirnya sharing prosperity itu kemudian berlangsung bagi kalangan internal pemilik modal, dan kita akhirnya menemukan ekonomi kapitalisme tidak menunjukkan keadilannya secara sosial.
Workshop
Setelah pemaparan pembuka lalu jamaah diajak bershalawat memanjatkan cinta pada kekasih-Nya supaya genap sudah diskusi ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi semuanya.
Jamaah kemudian dibagi menjadi 3 kelompok untuk mendiskusikan terminologi diatas kelompok manusia nilai, manusia pasar dan manusia istana. Mas Wasis memberikan waktu 30 menit untuk membahas tajuk Mbah Nun. Diselingi cidro yang sangat ambyar oleh Kang Ranto suasana menjadi cair, sembari meminum kopi kawan-kawan mulai bertatap dan berbicara soal tema. Lalu ketiga kelompok memaparkan hasil diskusi. Dari semua pemaparan diskusi memang tidak jauh dari apa yang dipresentasikan dari asal kata itu sendiri soal kekuatan di penguasaan, penghayatan akan nilai dan mencari keuntungan /laba.
Jalma tertarik pada pemaparan terakhir soal manusia istana. Dengan mengambil contoh dari pengalaman pribadi sebagai ketua karang taruna, bagaimana jika berlaku sebagai manusia istana yang berkuasa tidak semata-mata boleh memerintah seenaknya, tapi manusia istana adalah manusia yang kecenderungannya harus punya kekuatan untuk mengatur, kelapangan dalam menampung, juga kepengayoman serta ketajaman untuk menangkap pola kemudian mengorganisir fungsi-fungsi anggota melalui pengamatan cermat pada apa yang jadi kekuatan setiap individu untuk bersama-sama membangun entitas kecil bernama karang taruna.
Makulinitas Kepemimpinan Modern
Proses adalah bagian terpenting dalam merangkum berbagai potensi diri, hingga kita mulai condong untuk lebih dominan pada klasifikasi tertentu. Sebenarnya ini yang ingin ditekankan dalam tema kali ini bahwa menerke kiblat itu proses terus menerus, penggalian diri secara konsisten akan apa yang ada didalam diri kemudian mengaplikasikannya. Seperti jarum penunjuk arah utara di kompas, kita terus menerus menyesuaikan arahnya agar terus bener, kemudian pener.
Mas Rendra menambahi soal manusia istana bagaimana dimasa lalu, raja-raja besar memang tidak lahir begitu saja, semua disiapkan bahkan sejak sebelum raja itu mau diturunkan. Memilih bibit, bebet dan bobot , kemudian memaksakan genetikal tertentu lewat incest supaya keturunan berikutnya bisa meneruskan kecenderungan yang diimpikan. Mengatur makanan dan minuman untuk menjaga kualitas benih terbaik, memberi ubarampe macam-macam sebelum dan sesudah perhelatan pernikahan, lalu juga alunan musik dengan tembang dan nada-nada tertentu sudah diatur sedemikian rupa guna mendukung lahirnya ‘sang penerus’
Yang menjadi unik adalah ketika bayi ini sudah menjadi pangeran pati atau bakal calon raja dalam tradisi Jawa bayi ini justru tidak dimasukkan ke ndalem kesatriyan (tempat biasanya para pangeran dididik) namun dibawa ke keputren (tempat para putri-putri). Peristiwa ini jika diamati dalam skala luas bahwa sepanjang berdirinya tribal-tribal, khilafah turki, ISIS, kerajaan, sampai nation-state terus menerus menggunakan keangkuhannya, maskulinitasnya sebagai bagian dari kumpulan manusia istana yang sekarang ini menjadi compang-camping dimana-mana. Dikiranya bahwa segala kekuasaan harus menyoal penguasaan, unjuk gigi militer, pamer luas-luasan wilayah, sampai berlomba menindas negara-negara koloni.
Hal yang disampaikan mas Rendra diatas juga sebagai pengingat bahwa dimasa lalu justru dipuncak kekuasaan bukan pangeran dengan kekuatan militer dan kesaktian apalagi kedigdayaan tapi justru mereka yang kuat dan siap dilatih sebagai Raja yang menampung banyak hal. Raja yang feminim, yang luwes menghadapi berbagai kejutan keadaan, pemimpin yang mengayomi, kamerad yang berani memberikan dan menghilangkan dirinya untuk kepentingan masyarakat banyak. Sunan adalah mereka yang punya keluwesan strategi, dia yang terus mampu bersolek untuk tetap tegar menghadapi gempuran dan terus tenang dalam menyusun rencana masa depan sebuah peradaban.
Ini semacam otokritik pada kita yang terlanjur hidup dalam glorifikasi masalalu yang berkutat soal bagaimana manusia menahklukan manusia lain dalam kaidah peperangan, dalam sangkar perlombaan, dalam baskom kompetisi yang akhirnya menjadikan heroisme sebagai delusi ideal untuk peradaban kedepan, namun secara terang-terangan melupakan konsep feminisme. Zaman ini terlalu maskulin diberbagai sisi, kita jelas butuh manusia istana yang bisa mengayomi, memandegani, dan menjadi ruang-ruang penerimaan bagi mereka yang berada dibawah naungan sang raja.
Sastra Sebagai Tolak Ukur Kesuksesan Manusia Istana
Salah satu puncak-puncak pencapaian raja Jawa adalah dihasilkannya ragam sastra. Dimana ketika keadaan negara minim pemberontakan, rakyat merasa terayomi dan tercukupi oleh kebijaksanaan pemimpin dari situlah kemudian lahir karya sastra yang bisa kita nikmati hasilnya sampai sekarang meski sudah ratusan tahun berlalu. Demikian ketika keadaan tentram raja menjadi pujangga.
Mangkunegara IV, adalah salah satu contoh raja itu. Keraton Mangkunegaran mengalami kejayaannya dimasa raja ini, sang penerus nama hebat Pangeran Sambernyawa (MN I). Mangkunegara IV inilah nanti yang pertama kali mengubah struktur ekonomi dalam keraton Jawa, dimana tanah-tanah apanage (lungguh) ditarik menjadi milik kerajaan, dikuasai dan disandingkan dengan teknologi-teknologi kolonial yang mengubah struktur pertanian, perkebunan lalu menghasilkan produk-produk terbaik seperti teh, kopi, gula dll. Sebagai gantinya penyewa tanah apanage tidak lagi makan dengan mengusahakan sendiri tanah tersebut tapi diganti gaji dari hasil laba koalisi kerajaan dan teknologi modern. Ketika beliau wafat beliau meninggalkan keuntungan sebesar 25 juta gulden.
Akhirnya lahir pulalah karya sastra berjudul Serat Wedhatama, Serat ini dianggap sebagai salah satu puncak estetika sastra Jawa abad ke-19 dan memiliki karakter mistik yang kuat. Bentuknya adalah tembang, yang biasa dipakai pada masa itu. Cuplikan bagian dari serat ini yang kemudian ditembangkan oleh mas Rendra dalam tembang sinom.
nulada laku utama | contohlah perbuatan manusia utama
tumrape ing tanah Jawi | bagi semua orang yang berdiam ditanah Jawa
wong agung ing Ngèksigônda | orang besar di Ngèksigônda (ngèksi : mata, gônda : arum, berbau harum, digabung menjadi Mataarum, Metarum, Mataram
Panêmbahan Senapati | Yaitu Panembahan Senopati, Danang Sutawijaya
kapati amarsudi | sangat suka (sampai mati) berusaha, berbuat, mengusahakan segala sesuatu sampai tuntas
sudaning hawa lan nêpsu | senantiasa pula mengurangi hawa dan nafsu
pinêsu tapa brata | dengan cara bertapa,
tanapi ing sari ratri | tanpa peduli siang dan malam
amêmangun karyenak tyasing sasama | untuk membangun menyenangkan hati sesama
Terlihat bahwa Mangkunegara IV sangat terinspirasi dari leluhurnya Panembahan Senopati sebagai raja yang tak melulu maskulin, tak perlu selalu diatas namun lebih banyak tapa-ngrame dengan terus terjung dibawah sebanyak-banyak memberikan manfaat bagi mereka yang diayomi oleh sang Raja. Raja yang sangat paham ekonomi, intelektual, spiritual serta raja yang memegang nilai-nilai.
Tiga dalam Satu
“Dari sinilah sebenarnya terminologi manusia nilai, istana dan pasar sebenarnya bukan lagi kotak-kotak yang berbeda” demikian pak Munir memungkasi. Bahwa sebenarnya dalam diri semua manusia mempunyai tiga kemungkinan diatas dengan kadar titik berat kecenderungan yang berbeda beda.
Diskusi belum selesai dipertemuan berikutnya akan sangat mungkin meluaskan tema dalam konteks tiga terminologi dalam satu diri manusia mungkin tidak hanya dalam lingkup 3 variabel diatas bisa jadi dalam sudut pandang yang berbeda. Bisa jadi selain kecenderungan, adalah soal berapa kadar 3 variabel tadi dalam satu konteks yang sama. Apakah manusia pasar-nilai, mereka yang tetap menerapkan nilai-nilai falsafah hidup dalam pemaksimalan ekonomi atau memegang sebuah nilai demi berjalan dinamisnya sebuah pasar. Atau malah ketiga-tiganya bersinkronisasi dalam optimasilasi sebuah pasar, sebuah istana atau dalam penjagaan nilai. Seperti trinitas yang berjalin lipat dalam satu.
Ruang-ruang diskusi harus dipungkasi dengan sohibul baity, Suluk lalu dipungkasi. Sampai bertemu di Suluk Surakartan berikutnya. Dengan membawa pengenalan diri dan pemaknaan lebih jauh dari tajuk yang sudah digelar. (Mahisa Agni)