Menu Close

Trinitas Realistis

Diskusi majelis masyarakat Maiyah Surakarta, Suluk Surakartan edisi ke-56, Jumat (25/02/2022) berlangsung tak terduga. Judul maiyahan kali ini adalah Realistis. Mukadimahnya memantik daya kritis pembaca terhadap dunia pendidikan kita.

Alan Fatoni, penulisnya, menuturkan, “Seperti contoh ‘harus sekolah agar kita pintar, bisa hidup lebih baik dan dapat pekerjaan yang layak’, seakan hal ini sudah mencukupi kewajiban menuntut ilmu secara sepenuhnya dan ‘kafah’, padahal hal ini jelas tidak menjamin. Secara tidak langsung ketika kita tidak bersekolah, maka kita seolah ‘gugur’ dalam menuntut ilmu dan kehidupan. Doktrin-doktrin yang dihadirkan ketika di sekolah, seringkali tidak selaras dengan realitas yang ada.”

Ini menarik bagi saya yang belakangan sering menonton saluran YouTube yang menampilkan pembahasan pendidikan kritis yang disampaikan oleh Pak Toto Rahardjo, di antaranya dalam Mojok. Pun Mas Sabrang, dalam Dialog Positif-nya Abu Marlo, dan beberapa saluran lain.

Setiba di majelis TJA, tepat sedetik menjelang pembukaan dengan Al-Fatihah dan Shalawat Alfasalam yang dipimpin oleh Wasis, saya langsung menempatkan diri dan mengikuti jalannya acara. Usai Alan mereview mukadimah secara lisan, Pak Munir segera memantik diskusi.

Beliau mengawali dengan mengajak jamaah mengutarakan tanggapan masing-masing atas kegaduhan terhangat di medsos: ucapan menteri agama perihal azan.

“Nek pandanganmu piye?” ucapnya.

Setelah Alan menyampaikan pandangannya, Wasis turut menyahut, “Kalau saya melihat, itu bukan porsinya. Menteri itu seharusnya mengerjakan yang besar-besar, di ranah konsep. Kalau yang seperti itu mestinya diserahkan ke RT.”

Ternyata Pak Munir hanya bermaksud menunjukkan kepada hadirin bahwa satu peristiwa memunculkan beragam tanggapan. Ia mengingatkan, “Sejak dulu kita sering disuguhi polemik seperti ini, dan masih saja terpancing. Padahal sebenarnya ini kan cuma air yang ditepuk, yang akan menimbulkan gelombang.”

Dilanjutkannya, “Jadi reaksi kita sebagai rakyat ini sebenarnya mempengaruhi penghidupan kita apa tidak?”

Saya terpantik untuk ikut bicara. Hanya menggarisbawahi saja, bahwa pesan inti pengusaha mebel ini adalah asas manfaat. Ini mengingatkan pada rumus yang pernah saya dengar dari Mas Sabrang: lingkar pengaruh, lingkar peduli, dan lingkar perhatian. Intinya, kita harus sadar posisi agar energi yang kita kerahkan untuk berbuat itu bermanfaat.

Diskusi berlanjut. Mengarah ke ranah ekonomi, bisnis. Pak Munir mengingatkan agar kita membumikan ayat Alquran, ritus ibadah, pun hukum syariat. Artinya menjadikannya cerminan aktivitas kehidupan.

“Ngaji jangan cuma dikaitkan dengan pahala dan dosa, tapi seyogianya, melalui tadabbur, diterapkan dalam aktivitas hidup.”

Dicontohkannya beberapa ayat, dan ritual puasa di antaranya, yang sejatinya memesankan kita untuk sadar posisi, realistis. Dengan bersikap realistis, kita akan mampu mengambil keputusan dan langkah yang tepat, efektif dan efisien: bermanfaat. Sikap realistis akan mendorong kita untuk menahan diri, mengelola sumber daya yang kita miliki agar menumbuhkan, bukan menyusahkan. Misalnya, kalau sebenarnya dengan Honda Astrea saja sudah cukup, tidak usah kredit NMax. Dan boleh saja beli motor bongsor itu kalau mendukung kinerja dan produktivitas.

Begitulah realistis. Meringankan dan menumbuhkan.

Saat diskusi berlangsung hangat, Pakdhe Herman rawuh dengan ucapan salam. Setelah sejenak duduk dan menyimak, Sesepuh Maiyah yang tinggal di Solo Utara ini membawa narasi realistis ke ranah etnis. Beliau menegaskan bahwa realistisnya orang Jawa adalah mengerti Jawa. Pelestari tembang Mocopat ini lantas mengajak generasi muda untuk belajar tembung (kosakata) dan tembang (lagu) Jawa.

“Dadi wong Jawa ki ya isa basa Jawa sing bener. Ben ra ngisin-isini!” tegasnya.

Kemudian beliau mengajak jamaah untuk praktik nembang Mocopat. Dan sejumlah jamaah yang mayoritas kaum milenial bergiliran nembang.

Tak terasa, jam digital di ponsel saya menunjukkan angka 00 lebih sekian menit. Gitar yang bersandar di dinding belum sempat dipetik. Indra Agusta, jamaah asal Sragen yang hadir di pertengahan acara, melengkapi diskusi dengan, “realistis itu ya mengerjakan apa saja yang dimampui saat ini, dengan tetap memiliki gegayuhan (cita-cita) yang ingin dicapai.”

Sekali lagi, alur pembahasan tema diskusi malam ini di luar dugaan saya. Dari pendidikan, ekonomi, kemudian lokalitas. Realistis di tiga ruang. Trinitas yang memesankan bahwa menjalani hidup itu seyogianya dengan sikap realistis.

Malam melangkah menuju pagi, moderator Ahmad Abdul Khaq mengajak jamaah berdiri, Shahibu Baiti. []

Tulisan terkait