Majelis Masyarakat Maiyah Suluk Surakartan edisi ke-60, Jumat (24/06/2022) mengambil judul Utang Rasa. Sebuah objek pembahasan yang menyentuh kedalaman ruang hidup.
Indra Agusta menulis mukadimah dengan mengambil pendekatan sejarah. Sosrokartono mencetuskan konsep utang rasa sebagai respon atas “pengulitan pemikiran” yang tumbuh di Jawa mulai 1830-an.
Dia menulis, “Setelah selesai perang Jawa tahun 1830, perubahan sosial terjadi sangat masif. Sistem ekonomi dan sosial kita diubah dari ngawula menjadi profesional mengabdi kepada tuan-tuan penyewa lahan dan sekaligus memberikan laba kepada keraton. Sejak saat itu peradaban laba semakin tebal garisnya memenuhi Nusantara.”
Sejak saat itulah peradaban Jawa dan Nusantara mulai terkikis kekayaan agungnya, yakni rasa. Hingga kini, dan tampaknya semakin menjadi.
Itulah mengapa Pakde Herman begitu trengginas mengingatkan jemahh bahwa, “kita ini sedang diserang habis-habisan!” Sampai berkali-kali penembang Dandanggula ini menegaskan.
Menurutnya, peradaban Timur berkarakter spiritual, sedangkan Barat berkarakter material. Dan sekarang kita sebagai bangsa Timur sedang diracuni pemikirannya untuk melulu mengedepankan hal materi.
Rupanya persoalan ini juga membuat resah kaum budayawan, salah satunya Sudjiwo Tejo. Seperti diutarakan oleh salah seorang jemaah yang pernah mendengar Mbah Tejo menceritakan sebuah peristiwa.
Ketika anaknya pulang naik taksi online, setelah membayar ia langsung melangkah masuk rumah tanpa menunggu taksi berlalu. Melihatnya, seniman multi talenta itu langsung memarahi sang anak habis-habisan. Karena menurutnya membayar secara materi saja tidak cukup. Ada utang rasa yang harus dibalas, paling tidak dengan menunggu sejenak sampai taksi itu pergi. Selain ucapan terima kasih.
Pak Supriyanta menggenapi pembahasan utang rasa dengan mengambil perspektif Al-Qur’an. Rasa adalah pekerjaan hati. Dalam Islam, mengenai hati ada pembahasan yang namanya tazkiyatun nafs, penyucian jiwa.
Diskusi berjalan hangat lalu diselingi penampilan duo gondrong, Wasis feat Jumirin. Wasis membawakan sebuah lagu sebagai simbol ekspresi utang rasa kepada Mas Sabrang.
Lalu ada yang spesial. Seorang jemaah Maiyah Kudus hadir. Rupanya beliau adalah penggiat dari Sedulur Maiyah Kudus (Semak), Simpul Maiyah yang berada di Kota Kretek. Setelah memperkenalkan diri dan urun rembuk soal utang rasa, ia menghibur jemaah dengan monolog dagelan, semacam stand up comedy-lah.
Memasuki pertengahan malam, hadir Mas Islamiyanto bersama dua santrinya. Pembahasan utang rasa semakin meluas setelah beberapa jemaah mengajukan pertanyaan. Mas Is juga mengajak jemaah untuk menjaga istikamah dalam bermaiyah di simpul Suluk Surakartan.
Kegiatan dipuncaki dengan selawat. Dan rupanya selama melingkar sekian jam, jemaah tak hanya sedang memahami utang rasa, melainkan juga sekaligus latihan nyaur rasa. Karena semua semakin sadar bahwa tak hanya yang tampak saja yang punya harga. Justru yang tak tampaklah yang harganya tiada tara. []
Ibudh