Waktu bergulir. Belasan orang yang berkumpul membicarakannya.
Seperti beberapa malam sebelumnya, udara dingin menghempas. Udara dingin yang kering, pertanda kemarau datang. Semoga saja ia tak membawa kemarau kasih sayang pada dunia. Di malam itu, si ati memutuskan untuk menuju Selatan Surakarta. Menuju ruang sunyi yang saban Jumat ke-empat melingkar beberapa manusia di dalamnya.
Sepuluh motor yang telah terparkir di lantai bawah, sepuluh orang juga yang sudah berada di lantai atas. Bersebelas, kami mengawali rutinan Suluk Surakartan bulan ini dengan melambungkan selawat Alfassalam. Pengeras suara yang belum digunakan membuat sayup-sayup rapal doa-sanjungan yang terlantun terselip getaran.
Moderator Suluk Surakartan yang baru, Alan Fatoni, membuka sesi rembuk. Ia mempersilahkan Mas Ibud untuk menggelar tikar tema bulan ini. Menggelar paragraf-paragraf yang telah ia tuliskan sebagai mukadimah bulan Juli ini—tentang waktu, tentang kala, tentang penundaan, tentang penyesalan. Sepuluh yang lain mendengarkan seksama. Setelahnya, diskusi pelan, meskipun agak sedikit terasa canggung, berlangsung. Memang diantara sebelas orang itu, terdapat beberapa wajah baru yang menghiasi geliat Suluk malam itu. Moderator menyapa jemaah baru.
“Nama saya, Muhammad Fikri. Dari Kartasura, Tetapi aslinya dari Papua”.
“Nama saya, Muhammad Thariq. Saka Juwiring, Klaten. Saya baru dua kali datang ke Suluk Surakartan”.
“Nama saya, Egy. Sama-sama dari Klaten. Kerja bareng Mas Thariq. Sama-sama sudah dua kali ke Suluk Surakartan”.
“Nama saya, Tri Cahyo dari Sukoharjo. Kuliah di UMS jurusan Geografi”.
Kawan lama berlalu, kawan baru datang. Pohon besar berpindah, benih baru tersemai.
Tri Cahyo, setelah mengenalkan diri, langsung menanggapi tema yang telah dijabarkan. Ia menceritakan, jikalau pekerjaan membuat website yang ia tunda-tunda ndilalahe malah ada yang membantunya. Kang Wasis kemudian merespon lontaran obrolan dari Cahyo.
“Kancaku wingi bar tuku pabrik roti. Produksine itungane wis lumayan gedhe. Mungkin juga terbantu karo brand-e. Sedangkan manajemene isih kurang apik. Yen ora saiki dibenahi, stok keberuntungane toko iki meh nganti kapan?”
Penekanan Kang Wasis tentang stok keberuntungan meluas ke banyak tema. Diskusi mulai menemukan ritmenya. Di sela-sela diskusi, beberapa orang kemudian datang: Kang Yus, Kang Ranto, dan Kang Yasir.
Waktu bergulir, belasan orang yang berkumpul membicarakannya. Tanya dan jawaban terus berlanjut. Poin-poin menarik muncul dari obrolan yang terjalin.
– Kemanfaatan dan ketepatan menggunakan waktu merupakan poin penting. Bukan soal menunda atau terburu-burunya.
– Sifat menunda-nunda dapat didorong dari diri sendiri, lingkungan, budaya, dan pengalaman internal.
Dua poin di atas adalah pengkristalan sementara yang telah didapatkan. Dua nomor lagu dimainkan. Jamaah satu ruangan ikut mengalunkan lirik dan nada. Suasana semakin cair.
Sebelum dua lagu dibawakan, Kang Wasis kembali menjelaskan jikalau Suluk Surakartan sedang mencoba format baru. Format rembug atau sharing. Ia menjelaskan, dulu kita mendatangkan pemateri, kemudian jamaah Maiyah bertanya dan merespon pemaparan dari pemateri tersebut. Belajar dan menggali dari temuan-temuannya. Sekarang, setelah kita tidak melingkar selama kurang lebih dua tahun karena pandemi, tentu sulit untuk merealisasikan format awal itu. Sekarang, semua boleh jadi pemateri dan tidak ada pemateri tetap. Transisi harus terjadi. Format rembug yang dijalankan pegiat Maiyah Suluk Surakartan belakangan ini, boleh dikatakan tidak kalah menarik.
Bukankah kawanan baru akan muncul di habitat yang baru?
Menjelang pergantian hari, Mas Agusta datang. Ia menyambung obrolan panjang tentang “penggunaan waktu ketika muda” yang sebelumnya berlangsung.
Di dalam tradisi Taman Siswa, ada istilah wiraga yang harus dimaksimalkan ketika usia 0-8 tahun. Kemudian, di usia 8-15 tahun, baru memahami wirasa (sakit hati, cinta, dst). Usia 16-20 tahun, adalah usia-usia sapiens mengidolakan seseorang. Setelah itu, di usia 20-24 tahun, adalah masa mencari, mempertanyakan kembali pada diri sendiri (who am i?), mencoba banyak hal. Dan usia 27-30 tahunan, hasrat untuk melakukan banyak hal itu mulai turun.
Kembali pada pertanyaan, “Ketika umur 20-an tahun itu harus ngapain?”, Mas Indra Agusta setuju dengan pendapat Kang Wasis. Usia muda silahkan untuk mencoba banyak hal. Silahkan untuk menekuni apapun yang disenangi. Dan ketika kegiatan-kegiatan itu menjadi pengalaman, ada hal yang dapat dibagikan kepada orang lain. Ada benih-benih yang dapat disebar luaskan untuk ditanam oleh orang lain. Dan dari situ, rejeki itu mengalir dengan jalan yang tidak disangka-sangka.
“Suket sing kembange sesuk layu gogrog wae ditresnani Gusti Pengeran tenanan. Mosok awak dhewe ora?”, tutup Mas Indra.
Gitar diambil. Satu nomor lagu dimainkan sebagai pendinginan para jamaah Maiyah sebelum acara diakhiri. Alan Fatoni mengambil alih acara. Ia menutup rutinan setiap Jumat ke-empat itu. Sampai berjumpa di kesempatan berbahagia selanjutnya. [Jumirin Ath-Thayyibi]