Lantunan dzikir, tahlil dan sholawat menyebar hingga ke sudut-sudut ruangan.
Para salik masih berjalan.
Dimalam itu, Jumat ke-empat Oktober 2022. Perjalanan masih berlangsung, hingga para pejalannya kini sampai dimalam ke-64. Dalam ruang sepi, mempersiapkan diri menghadapi keramaian esok pagi.
Lima orang membentuk lingkaran dan menyepakati dimulainya acara pukul delapan tiga puluh, jamaah mengawali edisi kali ini dengan bersama melantunkan dzikir dan tahlil yang kemudian dilanjutkan dengan sepenggal syair burdah dan alfassalam. Hikmat berlangsung.
Alan Fatoni yang malam itu menjadi moderator kembali melanjutkan acara, setelah sesi awal selesai, acara dilanjutkan dengan membuka sesi diskusi. Sambil menunggu jamaah yang lain datang. Alan mempersilahkan Ibud untuk melambari terlebih dahulu diskusi yang akan berlangsung. Menurut mukadimah yang telah ditulis oleh Ibud, dipaparkannya beberapa poin tentang tema yang berjudul “Katak Dalam Tempurung”, seperti tentang pentingnya menengok keluar, tidak fokus dengan kebenaran sendiri atau kelompoknya saja, menyadari bahwa ilmu Tuhan begitu luas jangan sampai terpenjara dengan faham yang dibatasi oleh diri sendiri. Mendengarkan pemaparan tersebut jamaah yang lain menyimak dengan seksama.
Semakin malam jamaah kian bertambah, dari wajah baru ataupun lama, sembari itu jamaah yang sudah masuk dalam sesi diskusi mulai berbagi cerita.
Abi, seorang pelajar, menanggapi tema yang telah dijabarkan Ibud. Dia menceritakan, bahwa dia memiliki teman sekelas yang dirasa sangat “terkurung” menurutnya, sebab setiap hari dia melihat temannya ini kurang bersosial dengan yang lain dan hanya menghabiskan waktunya untuk sendirian, menggunakan headset, menonton anime dan mendengarkan musik saat di kelas. Hal itu yang membuat Abi merasa ingin membantu temannya agar keluar dari zona tersebut. Moderator kemudian merespon candaan ke cerita Abi.
“Kayane kui sing jenenge introvert, nek seneng anime jenenge wibu, nek sampek kaya kancamu jenenge wibu akut”, tawapun lepas bersama.
Pak Asad Munir sebagai sesepuh yang datang menemani jamaah juga ikut menanggapi cerita Abi, Pak Munir bercerita bahwa dia juga sering dan suka nonton anime, dijelaskan pula bahwa apapun bisa jadi media belajar, misalkan film, game atau anime sekalipun, jadi pintar-pintar mengambil pelajaran dari sesuatu. Adapun penjelasan Pak Munir yang berkaitan dengan dunia sepi dan ramai, bermaksud menjelaskan bahwa yang seperti diceritakan Abi tentang temannya, tidak melulu bahwa orang yang berperilaku seperti temannya ini “terkurung”, bisa jadi temannya inilah yang lebih bebas dan luas pandangannya. Tapi niatan menolong adalah hal baik, Abi pun diberikan saran untuk mendekati dengan cara yang temannya sukai, dalam kasus ini anime.
Waktu terus berjalan, jamaah yang hadir sudah sekitar sebelas orang. Diskusi terus berlanjut. Beberapa bercerita.
Andi bercerita tentang pekerjaannya yang secara jobdesk tidak sesuai, dia mengungkapkan bahwa intinya jangan terkurung dalam ekspektasi, apabila menjalani pekerjaan yang tidak sesuai, bisa dimaknai sebagai momentum untuk belajar dan menambah pengalaman.
Wasis mencoba ikut membagi pengalamannya, tentang kesadaran bahwa dia mulai hanyut dengan kenyamanan ber-Maiyah, ketika itu di Macapat Syafaat, melihat kagum Maiyah dihadiri orang-orang ampuh dan sangar. Wasis berpikir, bahwa tidak bisa terus seperti ini, dia pun membebaskan diri dengan berfikir jangan terpaku dengan kehebatan orang lain dan melupakan pengembangan diri sendiri.
Dika yang hadir dipertengahan acara bercerita tentang pengalaman hidupnya, seperti tentang niatnya waktu sekolah dan kuliah bahwa dia ingin menjadi akademisi tetapi karena suatu hal, ia mengubah jalan hidupnya untuk berwirausaha. Dia kemudian menguraikan proses perjalanannya dari dunia kampus ke dunia usaha yang dijalaninya sekarang.
Tiga cerita di atas semakin melebarkan pembahasan diskusi malam ini. Tetapi sebelum berlanjut jamaah sesekali menyelipkan lagu yang diiringi dengan gitar disela jeda diskusi sekedar melepas penat dalam berpikir.
Kembali berdiskusi beberapa tanya jawab terjadi diantara jamaah.
Yasir bertanya ke Pak Munir tentang dirinya yang bosan dengan menjaga toko klontong milik keluarganya, dia ingin berinovasi dengan mengembangkan diri. Disini Pak Munir mengingatkan bahwa dia masih beruntung bisa melanjutkan usaha orang tuanya dan tak perlu mencari pekerjaan seperti kawannya yang lain. Ada saran pula tentang mengatasi bosan, sesederhana membersihkan, merapikan dan membuat inovasi-inovasi di toko, tidak memikirkan hal diluar itu dulu, tetapi fokus pada apa yang sedang dijalani.
Dari pertanyaan ini juga memancing Umar untuk bercerita tentang inovasi, menceritakan bahwa kita harus terus belajar dari kasus-kasus yang dihadapi ketika bekerja, seperti yang dia diceritakan adalah mendapatkan ide marketing karena bertemu pelanggan yang sulit bernegosiasi. Seperti, menguatkan branding dan menstabilkan harga.
Dari pembahasan yang sudah berlangsung, moderator bertanya kepada Pak Munir, “kalau kita disuruh terus berkembang dan tidak terjebak dalam “tempurung”, lantas apakah batasan itu ada Pak?”.
Dijawab dengan kehati-hatian, dijelaskam bahwa melalui sudut pandang agama, agama terlihat memiliki batas karena pada umumnya agama mempermudah dan mengamankan manusia didalamnya untuk pemahaman, dianalogikan dengan pagar yang disebrangnya ada jurang. Tetapi dalam praktiknya sebenarnya pengetahuan terus berkembang, “sehingga sebenarnya batasan yang dipunyai manusia hari ini adalah ilusi yang dibuatnya sendiri.” Pungkas Pak Munir.
Sampai dipenghujung acara, moderator mengambil alih untuk mempersilahkan jamaah berdiri dan memungkasi acara malam hari ini dengan melantunkan Shohibu Baity. (AF)