Menu Close

Kehangatan Usai Hujan Panjang

Alhamdulillah, meski hujan begitu panjang, sinau bareng Suluk Surakartan edisi ke-66 berjalan penuh kehangatan.

Sinau bareng dengan judul Langkah Pertama, Jumat (23/12/22) menjadi peristiwa yang cukup mengharukan. Mengapa demikian?

Pertama, karena Pawon baru diadakan dua hari sebelumnya, mukadimah baru tayang senja hari sebelum acara. Saya yang ditugasi menulis, mengira kalau acara masih pekan depan. Akhirnya tidak segera mengerjakan. Jumat pagi baru saya tulis dan kirim. Dan ternyata, Mas Dika, admin website, sedang kurang enak badan. Tapi kemudian, Abdul Khaq yang sekarang di Kalimantan siap menggantikan. Alhasil, waktu Maghrib mukadimah bisa tayang.

Kedua, moderator Alan tidak bisa datang karena kampungnya siaga banjir. Ia memutuskan absen setelah sirine banjir mulai berbunyi. Dan saya yang diminta menggantikan.

Setengah sembilan saya berangkat. Sesampainya, di aula TJA baru ada tiga orang. Mas Umar, Sofyan, dan Abi. Umar bergawai, Sofyan main gitar, Abi memikirkan masa depan.

Saya duduk memantau kabar di grup. Mas Ranto melaporkan kondisi di lokasi banjir. Sejumlah kawasan di kota Solo dan sekitarnya terendam air.

Tak lama, Pak Munir datang. Abi dan Sofyan belanja gas, menyiapkan kopi dan klethikan. Kami bertiga ngobrol biasa. Menyangkut Maiyah, Silatnas, dan pekerjaan. Hingga beberapa menit lagi pukul 21.30.

Saya membatin, malam ini jadi acara atau tidak, ya? Lalu datang satu orang. Yudha. Ia membawa botol bersarung tas kresek hitam. Meletakkannya di depan saya. Saya mengira itu ciu dan membukanya. Ternyata Le Minerale masih bersegel.

“Tak kira saka Bekonang?”
“Wah, ya ra wani no,” ucapnya sambil tersenyum.

Sejenak kami ngobrol. Tentang perjalanan ke Jogja tanggal sebelas lalu. Yudha adalah salah satu yang ikut Silatnas tahun ini.

“Assalamu’alaikum.”
Datang dua orang yang saya belum mengenal mereka. Sebentar berbasa-basi, saya mohon izin untuk memulai. Alhamdulillah, meski mundur dari jadwal yang ditetapkan di Pawon kemarin, majelis Suluk Surakartan edisi ke-66 bisa terlaksana.

Tak seperti biasanya yang diawali dengan zikir tahlil, maiyahan kali ini langsung masuk ke sesi diskusi. Karena ada jamaah yang belum familiar, saya mempersilakan mereka memperkenalkan diri. Pertama Mas Angga dari Solobaru. Seorang penerapi wicara pada sebuah instansi pemerintah. Ia jamaah lama, tapi pascapandemi baru datang sekali.

“Saya dulu suka mojok di sana itu. Saya lebih suka mendengarkan, jadi hanya diam,” kenangnya.

Yang satu adalah Mas Eko dari Cemani. Ia driver ojol yang penyuka musik reggae.

Setelah mengulas singkat tema, saya mempersilakan jamaah angkat bicara. Langkah Pertama adalah simbol dari aktivitas keseharian kita yang seyogianya dilakukan dengan penuh keseriusan.

Mas Angga mengawali. Ia mengilas balik pengalaman bermaiyah. Baginya, ada satu hal yang paling mengena dari Maiyah. Adalah berlatih tenang. Sebagai terapis, ia dituntut untuk berlaku sabar. Ia punya manajemen emosi yang menarik.

“Agar amarah saya tidak merugikan orang lain, saya punya satu pelampiasan yaitu nonton bola. Saya bisa misuh dengan lepas saat nonton,” terangnya.

Tak kalah menarik adalah penyampaian Yudha. Ia penyuka hewan dan mengaku memelihara kucing dan anjing untuk persiapan berumah tangga. Logikanya bagaimana?

“Memelihara hewan itu untuk melihat sudah konsisten dan bertanggung jawab atau belum.”

Menurutnya, kalau belum bisa memberikan hak-hak hewan piaraan dengan baik, dikhawatirkan kalau sudah menikah belum bisa bertanggung jawab menghidupi keluarga.

Kalau Mas Eko berbagi testimoni. Bahwa bekerja tidak sesuai passion itu menyiksa meski gajinya lumayan. Pekerjaannya dulu sebagai pengawas di pabrik tidak membuatnya betah. Ia tidak suka situasi yang monoton. Bertemu orang yang itu-itu saja. Maka setelah dua tahun bekerja, ia beralih profesi sebagai driver ojol. Kini tiap hari ia bisa berjumpa dengan orang yang berbeda.

Cahyo yang hadir kemudian, menyambung dengan pengalamannya. Ia merasa tidak nyaman menjalani pekerjaan sebagai seorang joki skripsi. Dirinya ingin beralih usaha berjualan online dan sudah mengawali dengan produk undangan daring. Mendengar kisah Cahyo, Mas Umar menanggapi dengan berbagi wawasan seputar branding.

Sunau bareng edisi ini tak seperti hawa malam pasca hujan panjang yang dingin. Diskusi begitu hangat karena hampir semua jamaah angkat bicara. Boim menceritakan perjalanan penyeimbangan aktivitas kuliah dan jualan. Ia buka toko kelontong dengan ibunya dan berdagang tanaman buah. Kuliahnya tafsir Qur’an molor karena harus serius bekerja setelah bepaknya meninggal.

Mas Wasis yang datang sepulang jualan arem-arem di mall, mengutarakan curahan hati. Ia butuh bermaiyah untuk membasahi jiwanya yang sempat kering karena kesibukannya mencari rupiah. Mas Yus rupanya belum mengantuk meski rumahnya aman dari luapan air. Malam telah larut tapi ia bersemangat untuk datang. Seperti biasa, ia membawa banyak pertanyaan.

Pukul sebelas malam telah lewat. Saya kasihan dengan gitar yang tersandar di dinding. Sejak Sofyan pergi ke dapur, belum ada yang menyapanya lagi. Saya berikan ia ke Mas Wasis. Mas Eko sebagai vokalis.

“Kopi hitam kupu-kupu, kopi hitamku semangatku…”

Usai dua nomor reggae, Pak Munir membedah Langkah Pertama. Memberikan pandangan-pandangan atas pengalaman dan persoalan jamaah yang telah dilontarkan. Makin malam terasa semakin hangat saja. Saling respon antar jamaah sahut menyahut hingga tak terasa jam digital menggambarkan angka 01.30.

Tanpa shahibu baiti, acara saya tutup dengan, “Alhamdulillahi Rabbil alamiin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu. [Ibudh]

Tulisan terkait