Rutinan Suluk Surakartan edisi ke-67, Jumat (27/01/2023) berlangsung seru. Keseruan terjadi lantaran jamaah sepuh, Pakdhe Herman, rawuh.
Pakdhe Herman adalah sahabat Mbah Nun sejak muda. Pertemuan mereka bermula sejak pendampingan warga terdampak proyek waduk Kedung Ombo di masa Orba, yang berlanjut bersinergi di sejumlah momen keumatan. Di forum malam itu, beliau banyak mengisahkan kebersamaannya dengan Mbah Nun dan pengetahuannya tentang Mbah Fuad. Kisah-kisahnya menegangkan namun banyak terselip kelucuan. Gelak tawa jamaah pun tak terelakkan. Satu informasi penting dari beliau adalah kesaksian bahwa Mbah Nun itu bersih dan istiqamah. Tidak seperti yang dituduhkan di media sosial hari-hari ini.
Judul sinau bareng edisi bulan ini adalah Jejak Adab Sang Marja’. Judul ini dipilih untuk mengenang almarhum Mbah KH. Ahmad Fuad Effendi yang berpulang sepekan lalu.
Mbah Fuad, sapaan akrab beliau, adalah kakak sulung Mbah Nun yang seorang ilmuwan sarat keteladanan. Dalam prosesi pemakaman jenazah beliau, Jumat (20/01/2023) di Menturo, Jombang, Mbah Nun sempat menggambarkan betapa berpengaruhnya Sang Kakak terhadap proses beliau hingga menjadi sekarang ini.
Seorang pegiat Suluk Surakartan yang pernah mendengarkan langsung kisah yang disampaikan oleh keluarga Bani Muhammad, Yuli Ardika, mengungkap bahwa Mbah Fuad menjadi tulang punggung keluarga sejak wafatnya Sang Ayah, Muhammad Abdul Latif, yang akrab disapa Pak Mad di desanya.
“Pak Muhammad adalah seorang Masyumi yang pada tahun 60-an secara potilis dipinggirkan. Hal itu berdampak pada kondisi ekonomi keluarga besar beliau. Hingga suatu hari beliau menggadaikan sertifikat tanah untuk kebutuhan keluarga. Ketika perjalanan pulang, beliau mengalami kecelakaan dan meninggal. Lebih menyedihkan lagi, uangnya juga hilang dicuri. Maka, kondisinya bisa dibayangkan bagaimana istri dan 15 anaknya,” dia mengisahkan.
“Sejak itulah,” sambungnya, “Cak Fuad menggantikan peran sang ayah.”
Pakdhe Herman yang pernah beberapa kali bertemu Mbah Fuad menambahkan, bahwa, “Pak Mad (Muhammad Abdul Lathif, ayah Mbah Fuad dan Mbah Nun) itu ya kiai, ya guru, ya seorang yang dermawan. Maka di Menturo sana semua orang mengenal beliau.”
Kembali tentang Mbah Fuad, Dika membeberkan, “Beliau adalah satu dari sembilan pakar bahasa Arab dunia yang tergabung dalam IMLA. IMLA merupakan lembaga dewan pelestari Bahasa Arab. Beliau adalah wakil dari Asia Tenggara.”
Dari seluruh pemaparan tentang Mbah Fuad di forum malam itu, tergambar jelas bahwa beliau adalah seorang pembelajar sejati yang berkeadaban tinggi. Dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan harus membantu sang ibu “momong” adik-adiknya, masih mampu mendalami sebuah disiplin ilmu hingga menjadi pakar kelas dunia. Menurut informasi yang diperoleh Pakdhe Herman, Mbah Fuad berada di lima besar pakar bahasa Arab dunia. Namun begitu, beliau adalah sosok yang sederhana dan rendah hati.
Penulis novel Padma Jalma, Indra Agusta yang hadir malam itu turut menyumbangkan pandangannya tentang Mbah Fuad. Menurutnya, mantan dosen Universitas Negeri Malang tersebut adalah guru yang benar-benar guru.
Indra menggambarkan dengan sebuah analogi yang sangat indah.
“Kalau Cak Nun itu sebuah pohon yang besar, Cak Fuad adalah tanah tempatnya tumbuh.”
Singkatnya, Mbah Fuad adalah sosok langka dan berharga. Ilmuwan yang berkeadaban tinggi. Guru sejati yang benar-benar pantas digugu lan ditiru.
Namun begitu, Pakdhe Herman mengingatkan berulang-ulang kepada jamaah, “Jangan cuma mengagumi Cak Fuad. Tapi jadilah Cak Fuad di bidang kalian masing-masing. Gali potensi diri, istiqamah, dan jangan hanya pintar ngomong!”
Karena serunya sinau bareng Suluk Surakartan di awal tahun ini, tak terasa diskusi melampaui durasi yang disepakati. Tanggal Masehi telah berganti, Alan Fatoni menutup diskusi dengan Shahibu Baiti.
“Yang mau pulang hati-hati di jalan, yang mau lanjut ngobrol, monggo silakan!”
Ibudh