Edisi spesial Suluk Surakartan ke-70, Jumat malam (26/05/23) dalam rangka ulang tahun ke tujuh berlangsung sederhana. Dihadiri tidak sampai 30 orang dan tidak semeriah tahun sebelumnya.
Lokasinya pun di lantai bawah, sebagai simbol bahwa simpul Maiyah Suluk Surakartan mengalami perubahan yang mendasar: menjadi lebih sunyi namun padat berisi.
“Ini sebagai penanda saja bahwa Suluk Surakartan mengalami perubahan yang mendasar,” terang Pak Munir dalam sambutannya.
Konsep ulang tahun yang sederhana ini juga mengambil nilai luhur orang Jawa yang memperingati hari lahir bukan dengan pesta melainkan berpuasa: puasa weton. Begitulah majlis Maiyah Suluk Surakartan, akan lebih berkonsentrasi pada tema yang sederhana namun aplikatif, dalam lingkaran jamaah yang aktif beradu gagasan.
Edisi spesial ini berjudul Pitu. Bahasa Jawa dari kata tujuh. Sebagai tanda ulang tahun yang ke tujuh. Yang bertepatan pula dengan usia Mbah Nun yang ke tujuh puluh.
Sedianya pegiat ingin mengajak jamaah untuk membedah kata “Pitu” yang mengandung beberapa filosofi. Namun karena pembicaraan yang mengalir dan lebih kontekstual, pembahasan mengerucut pada tema ekonomi.
Usia tujuh tahun sebuah komunitas adalah usia yang pantas untuk diuji kematangannya. Kesadaran akan hal ini ditandai dengan konsep acara yang simpel dalam seremonial namun padat diskusi reflektif.
Kebetulan ada beberapa jamaah yang hadir di Mocopat Syafaat edisi Mei yang menggenggam betul pesan Mbah Nun kepada jamaah untuk membangun stabilitas ekonomi umat dengan ucapan, “Sugiha (kayalah)!”
Pesan tersebut begitu menghunjam karena sejak awal Suluk Surakartan sudah melakukan pendekatan ekonomi dalam bermaiyah. Namun, sampai di usia ke tujuh ini ternyata belum menampakkan pengaruh yang signifikan bagi jamaah.
Dalam hal ekonomi, Pak Munir memberikan banyak landasan filosofi serta kiat untuk mewujudkan stabilitas ekonomi yang sebenarnya cukup dimulai dari kebiasaan sederhana. Mencatat pengeluaran harian adalah salah satu aksi yang sangat penting didisiplinkan.
Sementara Kang Ranto menggarisbawahi kekayaan dari segi manfaat. Kekayaan tidak melulu soal uang, melainkan bisa dalam bentuk peran aktif dalam masyarakat.
Imam Bejoks menuturkan cerita lain. Ia membagikan pengalamannya saat diminta menjadi mentor. Ia harus tombok karena hanya diberi honor yang tak seberapa. Dari kisah itu, kita mendapatkan pesan bahwa kesadaran untuk menghargai intelektualitas atau skill itu penting, agar tidak bertindak zalim tanpa sadar. Dan, transaksi yang jelas itu harus kalau sudah bicara uang.
Yudha yang suka cengengesan, ikut menyumbangkan ide malam itu. Ide yang sangat realistis untuk bisa dipraktikkan bersama. Ia mengajak jamaah menyumbangkan pakaian pantas pakai untuk dijual, dan hasilnya untuk kas simpul.
Magnanimity adalah kata yang kiranya pas untuk menggambarkan peringatan ulang tahun ke tujuh Suluk Surakartan. Magnanimity adalah sosok berpenampilan sederhana namun memiliki pemikiran yang visioner. Diskusi refleksi yang serius menjadi menu utama. Kudapannya sejumlah lagu dengan iringan akustik yang syahdu, serta nasi tumpeng khas Jawa dengan gudhangan komplit, lauk tempe tahu, telur rebus, ikan asin, dan Ingkung. Jamaah makan dengan muluk (tanpa sendok) di wadah daun pisang.
Akhirnya, tengah malam lewat tanpa terasa. Jamaah gembira karena tahu bahwa jalan menuju kaya itu sederhana. Sesederhana malam yang penuh inspirasi itu.