Menu Close

Jadi Lebih Baik dengan Evaluasi Berkala

Lantunan Al Fatihah sebagai hadiah untuk para guru dan marja’ Maiyah membuka rutinan sinau bareng Suluk Surakartan di TJA, Jumat (20/12/2023).

Melihat dua wajah baru, moderator Alan mempersilakan mereka memperkenalkan diri. Widodo dari Baki, Sukoharjo dan Hamzah dari Tegal.

Usai itu, Alan melontarkan review mukadimah. Hamzah menyahut. Pemuda berpeci mengetengahkan Al-‘Ankabut: 45, dan menggarisbawahi “… Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar…”

“Ketika shalatnya baik secara sadar dan batin, biasanya output dalam kehidupan juga baik pula. Bila diumpamakan proses demokrasi adalah serangkaian peribadahan yang bisa di evaluasi dan direview hasilnya, tentu hal yang tak kalah penting adalah persiapan sebelumnya, apabila dalam shalat tentu sebelumnya kita mempersiapan niat dan wudhu atau bersuci terlebih dahulu, secara lahir dan batin,” urainya.

Andi menanggapi dengan bercerita bahwa dirinya jadi petugas KPPS. Untuk itu, dia berusaha menjaga kejernihan niat dalam perannya di proses demokrasi.

Pak munir mengemukakan pandangan bahwa gelaran Pemilu lima tahunan dapat dihikmahi dengan shalat lima waktu. Shalat adalah evaluasi secara berkala untuk dapat memperhitungkan tindakan dengan lebih presisi dari waktu ke waktu.

Hidup membutuhkan pertumbuhan: menjadi lebih baik. Dari skala individu sampai negara. Mengukur progres diri adalah dengan membandingkannya dengan keadaan sebelumnya. Dalam wilayah luas seperti negara, contoh yang tampak keberhasilannya dalam konsistensi evaluasi lima tahunan adalah China dan Iran. Dalam kurun 30 tahun, dua negara tersebut menampakkan kemandiriannya.

Diskusi terus sinambung sampai dijeda dua lagu yang dinyanyikan oleh Hamzah. Indonesia Pusaka dan Sang Guru. Intelektual jamaah pun menari dengan emosional hingga larut dan mengendap di kedalaman spiritual.

Bicara tentang kebangsaan, Pak Munir berpendapat bahwa pemerintah harusnya seperti orang tua, yang tidak tegaan dan selalu memikirkan anak-anaknya (rakyat). Menjaga martabat, harta, dan nyawa rakyat dengan seoptimal mungkin. Berempati seperti Sayidina Umar yang keliling kota melihat kondisi rakyatnya, sejahtera atau belum.

Diskusi berlanjut hingga pertengahan malam. Setelah moderator menutup, sebagian jamaah pulang. Sebagian masih duduk dengan obrolan. Memetik gitar. Bernyanyi. Menghabiskan camilan dan kopi.

 

Sampai jumpa di 2024.

Tulisan terkait