Setelah lantunan Kidung Wahyu Kala Sebo dialunkan oleh Grub musik Selaksa. Wasis selaku mederator memepersilahkan para sesepuh untuk maju kedepan guna memperkenalkan dirinya dan sedikit memberikan pengalaman pribadi dengan Simbah maupun Maiyah.
Perkenalan diawali dari Pak Herman. Beliau mengawali cerita dari kegelisahannya menghadapi permasalahan di masyarakat terminal Tertonadi yang akan digusur oleh pengelola terminal. Mau tidak mau ia harus menyelesaikan permasalahan ini, sebab ia yang disepuhkan di lingkungan masyarakat terminal Tertonadi. Selain itu kegalauan Pak Herman bertambah, ketika melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini. Terutama terkait 4 November. Dengan umur saya yang tinggal sedikit ini hanya bisa menangis disaat melihat kondisi Indonesia saat ini dari televisi, tuturnya. Pak Herman merupakan kawan lama Simbah disaat bersama-sama mengadvokasi masyarakat Kedung Ombo dulu, “berbicara kepada Simbah, mas ki koyone bocah-bocah wis do keri, umpannya pada Simbah. Iyo mas, koyone ya ngono”, jawab simbah.
Kemudian Pak Munir Asad melanjutkan perkenalan dengan pengalaman pribadinya dengan Simbah dan Maiyah. Walaupun secara fisik, Pak Munir baru mengenal simbah kurang lebih 1 tahunan. Tapi ia sudah sejak puluhan tahun mengenal pemikiran Simbah melalui tulisan-tulisannya yang tersebar di Tempo. Pak Munir menilai bahwa gaya bahasa dalam tulisan-tulisan simbah sangat berpengaruh dalam dirinya. Terutama terhadap prinsip hidup maupun penyikapan terhadap masalah kehidupannya, tegasnya.
Selain itu juga, Pak Munir menyitir perkataan Simbah, bahwa orang yang ikut Maiyah, tidak akan mendapatkan kepandaian sesuai yang diharapakanya. Karena di Miayah mengajarkan keseimbangan hidup. Hal ini sangat penting sekali bagi kita dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, agar kita tak terjebak dalam kutub-kutub pemahan. Baik itu ideologi, mahzab maupun pemahaman yang lainnya. Maka sering sekali di dalam Maiyah kita sering kali diajarkan harus menghargai “nguwongke uwong”(memanusiakan manusia). Sehingga ketika kita sudah masuk dalam Maiyah diharapakan mampu membuat keseimbangan, jelasnya.
Sebelum sesi selanjutnya diserahkan ke Mas Islamiyanto, Wasis menambahi pernyataan yang disampaikan Pak Munir. Bahwa dalam Maiyah, hukumnya wajib untuk saling menerima keragaman di kalangan Jama’ah Maiyah, tegasnya.
Ora kenal maka tak sayang, sepuh, nek disepuh dadi ampuh, seloroh Mas Is. Kemudian Mas Is menceritakan pengalaman pribadinya sebelum dan sesudah mengenal simbah atau hingga pada saat ini tergabung dalam Kiai Kanjeng. Setelah lulus SD, Mas Is melanjutkan jenjang pendidikan setingkat SMP dan MA di lingkung Pondok Pesantren. Dan kemudian setelah lulus, Mas Is melajutkan studinya ke jenjang perkuliahan di IAIN Surakarta. Sejak mondok di Pondok Pesantren hingga sampai kuliah, ia membiayai sendiri kebutuhan pendidikannya. Selama lulus dari mondok hingga kuliah, beliau selalu menunjukan ijazahnya kepada abahnya. Dari mondok hingga lulus kuliah, abah Mas Is tak silau dengan ijazah yang didapatkannya. Bahkan ijazah yang selalu ia tunjukan kepada abahnya selalu di buang oleh abanya. Karena abahnya tak membutuhkan ijazah yang Mas Is dapatkan, akan tetapi abah beliau lebih menghargai ilmu yang bermanfaat. Dan bahkan ijazah S-1 ia bakar lantaran hal tersebut, tuturnya. Berkat pengalaman tersebut, Mas Is berhasil menciptakan sebauh lagu yang berjudul “Piwulang”. Lagu tersebut ia persembahkan untuk digarap oleh Selaksa.
Mas Is juga mempunyai pengalaman yang sensasional dengan Simbah. Pengalaman tersebut ia dapatkan disaat Mas Is tergabung dalam komunitas hadroh di Cepoga, dan pada saat itu sedang mengisi acara di Selo. Mas is tak mengetahui kalau yang ngisi pengajian tersebut ialah Simbah. Di saat Simbah mau menuju panggung, beliau diiringi sholawatan, tapi ia hanya diam tak bergerak menuju panggung. Dan setelah irigan sholawat baru simbah berjalan menuju panggung. Itulah awal pertemuan Mas Is dengan Simbah dan disaat itulah beliau diajak oleh Simbah untuk tour ke jakarta. Dari tour ke Jakarta itulah Mas Is menjadi bagian dari Kiai Kanjeng hingga sampai saat ini, terangnya.
Menanggapi penilaian tentang Maiyah, seperti sesepuh yang lainnya, Mas Is melengkapi penyampaian dari para sesepuh. Bagi Mas Is, Maiyah selalu mengajarkan kepada kita untuk “Nguwongke Uwong” entah siapapun itu. Selain itu Maiyah juga mengajarkan didis (mengambil kutu di kepalanya sendiri) bukan petan (mengambil kutu di kepala orang lain), tegasnya. Mas Islamiyanto mengilustrasikan Maiyah seperti grup musik yang mempunyai latar belakang personel yang berbeda-beda. Untuk mencapai sebuah harmoni, setiap personel grup musik harus memangkas ego dan menyamakan frekuensi dari setiap masing-masing personel grup musik guna mendapatkam irama musik yang benar dan enak didengar, tuturnya.
Setelah para sesepuh mengenalkan dirinya masing-masing dan menceritakan pengalaman pribadi tentang maiyah dan Simbah. Wasis mempersilahkan kepada para jama’ah untuk bertanya atau menanggapinya. Bersambung….
Oleh: Wahyudi Sutrisno