Menu Close

Satu Setengah Jam Belajar Kepada Syeikh Nursamad Kamba

Dari acara Pawon Penggiat Maiyah Solo yang awal mulanya adalah agenda rutin hanya untuk para penggiat Maiyah Solo untuk membahas acara maiyahan bulanan di malam jumat minggu keempat,  malam itu tanggal 12 April 2017, bertempat di rumah sesepuh Maiyah Solo, Pakdhe Herman, rumah warna putih 2 lantai yang berada di kawasan Banyu Anyar, Surakarta.

Malam itu sungguh sangat special dan bertabur cahaya rahmat, karena salah seorang Marja’ Maiyah, guru kita bersama, Dr. Nursamad Kamba, yang kebetulan hari itu sedang ada acara di Solo, berkat kesigapan beberapa teman Penggiat Maiyah Solo sehari sebelumnya, akhirnya bisa dihadirkan di acara Pawon Penggiat Maiyah Solo. Alhamdulillah, kami semua bisa belajar kepada Dzat Maiyah tersebut kurang lebih selama satu setengah jam.

Tentang Cak Nun dan Maiyah

Maiyah menurut Syeikh Nursamad (panggilan Cak Nun ke beliau) adalah ekstensi dari perjuangan Rasulullah itu sendiri,  ketika dinamika perkembangan tradisi Islam muncul berbagai pemikiran, aliran, atau ideologi, karena saking semangatnya  justru malah melupakan misi Nabi itu sendiri, karena sudah terkotak-kotakkan dalam kelompok-kelompok tersebut.

Maiyah muncul untuk melanjutkan misi Rasulullah tersebut dengan merekonstruksi pemahaman kita tentang agama, supaya agama tersebut bisa menjadi bekal hidup untuk menjalani kehidupan secara normal sebagai MANUSIA bukan sebagai Malaikat. Meminjam istilahnya Cak Nun, ayam jangan disuruh mengembik, ayam harus tetap jadi jadi ayam jangan jadi kambing.

Syeikh Nursamad kemudian bercerita tentang pengalamannya bersama Cak Nun, menurutnya dalam hidup ini ada dua jalan untuk mendapatkan pelajaran, yang pertama adalah dengan membaca kitab-kitab, dan yang kedua adalah dengan berdasarkan pengalaman. Menurut beliau Cak Nun itu ilmunya begitu luas, dalam, dan bisa memberi pengertian kepada semua golongan, semua tingkatan  intelektualitas. Yang pada kemudian hari baru tau bahwa Cak Nun tersebut tidak pernah membaca buku.

Dr. Nursamad Kamba yang latar belakang pendidikan akademisnya di pusat ilmu-ilmu Islam, selama  14 tahun menempuh jenjang S1 sampai dengan S3 di Al Azhar, Kairo, Mesir, sudah tamat dengan kitab-kitab ahlus sunnah seperti karya Imam Abu Hasan Al Asy’ari sampai dengan Al Ghozali serta segala macam kitab-kitab filsafat. Pada tahun 2001 ketika bertemu dengan Cak Nun dan ngobrol-ngobrol, merasa ilmu-ilmu yang dipelajari selama ini hanyalah baru dapat segenggam tangan saja.  Artinya hidup itu jauh begitu luas dari apa yang bisa diketahui atau bisa diatasi dengan ilmu itu. Akhirnya Syeikh Nursamad berkesimpulan bahwa ilmu yang diketahui nya selama ini baru bisa mengaplikasikannya ketika setelah belajar dari Cak Nun, tapi Cak Nun tidak mau menerima pernyataan kalau Syeikh Nursamad belajar darinya, justru Cak Nun yang merasa belajar kepada Syeikh Nursamad.

Belakangan ini kita melihat, ada kecenderungan tentang cara beragama yang perhatiannya  lebih prioritas dalam formalitas resmi ritual-ritual. Kecenderungan orang membanggakan diri dengan hasil sujud, membanggkan diri dengan pakaian, artinya agama menjadi sebatas identitas. Padahal Islam lebih besar dari itu,  misi Kanjeng Nabi itu sesungguhnya misi kemanusiaan. Membebaskan manusia dari egonya, supaya tidak dholim, dan mencintai manusia lain.

Sejarah Syeikh Nursamad dengan Maiyah

Menurut penelusuran beliau istilah Maiyah atau kata Maiyah di dalam tradisi Islam muncul  empat kali, yang pertama ketika Kanjeng Nabi bersama Abu Bakar di dalam gua dalam peristiwa hijrah,  turun ayat Al Quran “laa tahzan  innallaha ma’anna” (Janganlah bersedih sesungguhnya kita bermaiyah dengan Allah). Yang kedua, diuraikan oleh Ibnu Arabi tentang Lima Martabat Wujud (Tuhan), teori Ibnu Arabi tersebut juga maiyah. Ketiga, digunakan oleh Syeikh Yusuf Al Makassari Al Bantani ketika berada di Banten bersama Sultan Ageng Tirtayasa melawan tentara Belanda, Syeikh Yusuf yang menguasai 11 Tarekat, sering menggunakan istilah maiyatullah. Yang keempat, Cak Nun dan maiyah itu sendiri.

Secara akademis, atau secara teori, Maiyah itu sesungguhnya menjadi salah satu intisari dari pelajaran Al Quran.  Di dalam maiyahan Cak Nun sering mengatakan, beda antara persaudaraan yang didasarkan antara cinta Allah dan Rasulullah, dengan persaudaraan berdasar kepentingan (Tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta). Di dalam maiyah yang dibangun adalah paseduluran berdasar cinta Allah dan Rasulullah, dari cinta Allah Rasulullah itu lalu terefleksi kedalam cinta kepada sesama manusia. Kemudian Syeikh Nursamad bercerita tentang pelajaran yang diberi Allah untuk kita melalui perilaku Cak Nun, ceritanya ada salah seorang penyair yang dulunya  sangat membenci Cak Nun, menghina-hina dan memaki-maki Cak Nun, lalu pada suatu ketika sang penyair tersebut terkena kasus asusila yang harus beurusan dengan hukum, lalu penyair itu datang ke Cak Nun untuk meminta tolong, dan hebatnya oleh Cak Nun tetap diterima. Artinya Cak Nun mempunyai kecintaan kepada umat manusia sebagaimana Nabi mencintai umatnya, tandas beliau.

Pijakan maiyah dalam menafsirkan manusia berangkat dari “laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim”, manusia itu diciptakan dalam bentuk yang sempurna secara optimal, implikasinya yaitu dalam pengajaran kita tidak perlu menggurui karena pada dasarnya ilmu itu secara potensial sudah dititipkan Tuhan dalam diri manusia berupa software, jadi seluruh potensi kebaikan itu sudah ada dalam diri kita, dan gagasan maiyah itu adalah mendorong untuk menghidupkan potensi-potensi itu.

Syeikh Nursamad mencontohkan untuk belajar dari melihat perilaku Cak Nun, yang tidak pernah menggurui orang, Cak Nun hanya menyampaikan apa yang kira-kira cocok untuk kita, dan kita bisa renungkan. Cara menyampaikan Cak Nun yang berbicara melalui hati kita itu ibarat ketukannya itu pas langsung ke software kita, kesadaran sanubari kita langsung terketuk melalui maiyahan yang penuh canda, humor, dan tanpa ketegangan syaraf pikiran itu.

Kemurnian Al Quran itu sesungguhnya bisa ditangkap sampai ke hati sanubari kita. Karena agama itu didatangkan Tuhan untuk menjemput dan memperlakukan manusia dalam standard yang sudah ada bukan sebagai suatu beban, agama harus persuasif bukan dengan memaksa-maksa. Maiyah melalui Cak Nun, ingin menjelaskan kepada kita bahwa cara beragama itu dengan persuasif melalui berfikir, dengan perenungan, supaya menerima pesan-pesan Al Quran dengan baik. Dan setelah pesan-pesan Al Quran itu diterima akan membentuk manusia yang Muhammad,manusia yang berakhlaq mulia, sebagaimana Cak Nun menulisnya di puisi yang berjudul “Muhammadkan Hamba Yaa Rabbi”.

Oleh: Agung Pranawa

Tulisan terkait