Alunan lagu Istighfar terasa khidmat dibawakan oleh grup musik Selaksa untuk menjadi titik pembuka Maiyah Solo malam ini, setelah sebelumnya didahului dengan bincang-bincang ringan dengan para jamaah yang datang. Obrolan dipandu oleh Azis dan Rafi. Di antara jamaah yang datang mereka tergabung dalam wadah SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique).
Membuka diskusi Maiyah, Wasis menyapa para jamaah dan memperkenalkan narasumber yang hadir pada malam ini. Beliau adalah salah seorang abdi dalamKeraton. Nama lengkap beliau adalah Ki Demang Edi Sulistyono, S. Sn, M. Hum, tetapi beliau lebih akrab disapa dengan nama Ki Demang Edi. Gelar Ki Demang diberikan oleh Raja Mangkunegaran sebagai apresiasi atas pengabdian beliau dalam dunia pewayangan.
Laki-laki yang kini menetap di kompleks Pura Mangkunegaran itu mendapatkan amanah untuk menjaga tradisi budaya wayang. Tak hanya itu, beliau juga menjadi Dosen di Akademi Seni Mangkunegaran (ASGA). Aktif juga dalam kepenulisan terkait dengan filsafat wayang dan terus berkiprah dalam penjagaan warisan leluhur Jawa yang adiluhung. Menariknya, beliau juga menjadi pengurus di Muhammadiyah.
Pakde Herman, salah satu Sesepuh Maiyah Solo merespon aktivitas Ki Demang yang banyak berkiprah di pewayangan. Beliau tertarik untuk berpartisipasi dalam akademi pewayangan, sehingga berharap dapat ikut belajar pedhalangan kepada Ki Demang. Keinginan Pakde Herman pun disambut dengan tangan terbuka dan beliau diaturi untuk rawuh dalam ngaji rutin pewayangan.
Sebelum memasuki tema utama, Selaksa melantunkan Kidung Wahyu Kalaseba.
Memasuki pembahasan inti, Ki Demang membabar makna Ajur Ajer. Menurutnya, Ajur Ajer adalah tembung camboran atau kata majemuk, yaitu Ajur dan Ajer. Lebih ringkasnya Ajur Ajer dimaknai sebagai tepa salira. Aplikasinya misalnya, jika kita tidak suka disakiti orang, maka kita pun sadar untuk tidak menyakiti.
Lebih lanjut, tepa salira dibangun oleh masyarakat Jawa karena adanya budaya guyub, yang sekarang disebut gotong royong. Orang Jawa itu punya keluwesan untuk hidup bermasyarakat. Sehingga aslinya orang Jawa sangat menghindari sikap individualistis. Maka dari itu, inti dari ajaran Jawa adalah toleransi.
Bagi orang Jawa, konsep multikultural/kemajemukan bukanlah hal yang baru. Seperti di zaman Majapahit, bangsa ini sudah mengenal toleransi dan menjalankan semangat kemajemukan. Meskipun agama resmi negara adalah Hindu Syiwa, tetapi banyak daerah-daerah yang beragama Budha dan Islam. Para Wali pun telah hidup di zaman ini dan mereka adalah orang-orang penting yang dijadikan penasihat Kerajaan.
Sehingga Empu Tantular melukiskannya di Kitab Sutasoma yang sebagian penggalannya dijadikan slogan bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Secara garis besar, pujangga besar itu menggambarkan bahwa perbedaan itu tidak terletak pada dharma (kebaikan) yang dilakukan. Sehingga meskipun kulturnya berbeda-beda, masyarakat dapat hidup dengan baik dan harmoni.
Di zaman kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa di Jawa pun, orang-orang Jawa tetaplah memegang konsep Ajur Ajer itu. Makanya dakwah yang dijalankan para ulama di tanah ini pun sangat halus, tidak menyakiti hati masyarakat. Mereka merangkul masyarakat dengan cara persuasif. Sehingga dakwah para ulama adalah menyapa dan mengajak masyarakat memasuki Islam, tanpa harus menjelek-jelekkan keyakinan yang dianut sebelumnya.
Masyarakat Jawa menganut filosofi NGALAH-NGALIH-NGAMUK. Dalam banyak hal, orang Jawa memilih mengalah demi menjaga keharmonian. Bahkan jika perlu dia menyingkir sekiranya itu dapat menjadi solusi. Tapi jangan sekali-kali membiarkan orang Jawa mengamuk, karena itu akan berbahaya. Hal itu membuat orang Jawa mampu beradaptasi di mana pun dan mampu bergaul dengan luwes tanpa kehilangan identitasnya.
Maka dari itu hendaknya kita tidak mudah membangun prasangka yang buruk ketika terjadi aktivitas tolong menolong dalam kebaikan antara umat beragama. Ketika Banser menjaga Gereja, itu bukan mencampuradukkan agama. Karena orang-orang Banser pasti tidak mau menduakan soal keyakinannya dalam beragama.
Tak lupa beliau menyinggung masalah aliran Islam yang dianggap radikal. Beliau mengingatkan bahwa watak orang Jawa yang Ajur Ajer tadi. Maka sesungguhnya adalah suatu kemunduran jika orang Jawa justru mengadopsi pemahaman Islam yang takfiri dan mudah memusuhi pihak yang tak sejalan dengannya. Beliau mengingatkan jamaah tentang sejarah Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy’ari, dll. Perlu kembali pada spirit Al-Hujurat ayat 13, jangan sampai perbedaan menjadikan kita bertengkar.
Mas Marwan, vokalis Selaksa turut menambahkan pemahaman soal Ajur Ajer, dengan membabar soal manusia. Pertama, Allah menyebut manusia sebagai al basyar, yang artinya gembira dan menggembirakan. Maka manusia seharusnya bisa selalu gembira dan menggembirakan. Selain itu al basyar juga bermakna sebagai makhluk biologis yang punya nafsu untuk makan, minum, berhubungan seksual, dll.
Kedua, Allah menyebut manusia sebagai an-naas, bentuk jamaknya al insan. Esensinya adalah manusia itu adalah makhluk sosial. Artinya, manusia tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus berinteraksi dengan orang lain. Salah satunya Allah menguji dengan nafsu agar manusia bisa mengendalikannya dalam interaksi sosial.
Lebih lanjut, Mas Marwan juga mengajak jamaah memikirkan tentang surga yang selama ini kerap disalahpahami. Surga itu sebenarnya bukan tujuan, karena yang tertinggi sebenarnya adalah pertemuan dengan Allah dan Rasulullah. Maka dalam praktik sehari-harinya, seharusnya tidak menjadikan salat dan ibadah-ibadah personal sebagai tujuan, tetapi sarana untuk membentuk kepribadian sehingga output sosialnya baik.
Maka dari itu, seharusnya segala tindakan kita itu hendaknya dimaknai sebagai ibadah. Jadi ibadah itu bukanlah hal sempit berupa amalan-amalan yang sudah digariskan syariat. Karena apa pun yang kita lakukan adalah perintah Allah. Kita makan, kita minum, dll hakikatnya adalah perintah Allah melalui sistem tubuh kita. Maka perlu dilandasi keyakinan bahwa semua yang kita lakukan diniatkan karena Allah.
Sesi ini kemudian dijeda dengan penampilan Selaksa yang membawakan lagu Ya Rabbi Bil Mustofa dalam irama keroncong. Kemudian dilanjutkan dengan lagu Mawar Biru. Sesi ini dimanfaatkan grup Selaksa untuk membawakan lagu-lagu berirama keroncong. Sebuah lantunan yang menyegarkan untuk persiapan diskusi selanjutnya.
Selanjutnya Wasis membuka sesi tanya jawab. Penanya pertama dari mas Ikhwan dari Purwodadi menanyakan siapa sebenarnya yang dimaksud sebagai orang Jawa dan berasal dari manakah kebudayaan Jawa. Kemudian mas Yus, dari Jombang yang menanyakan batasan dalam Ajur Ajer.
Ki Demang merespon tidak secara langsung tentang asal muasal budaya Jawa. Tapi beliau langsung menelaah fenomena kehadiran para Wali dan perannya dalam transformasi budaya menuju Jawa Islam. Beliau juga menepis anggapan yang selama ini menjelaskan Islam yang menghancurkan Majapahit. Islamlah yang mentransformasi Jawa ketika para petinggi Majapahit berada pada titik kerusakannya sehingga tidak lagi mengikuti para pendahulunya yang telah membawa Kerajaan itu pada masa keemasan.
Sebagai orang yang turut berkiprah di Muhammadiyah, beliau memaparkan keluwesan para Wali dalam mengolah budaya. Maka dari itu beliau meminta kita mempertimbangkan urusan yasinan dan tahlilan pada orang yang meninggal dengan sudut pandang budaya agar tidak sampai pada pertengkaran yang hebat pada urusan fikih. Itu hanyalah budaya yang dibangun dengan tujuan yang baik pada awalnya. Di hari ini, barangkali tradisi itu tidak selalu tepat karena bisa jadi memberatkan pihak keluarga yang terkena musibah kematian itu. Meski begitu, sebaiknya tidak perlu dibesar-besarkan perbedaan soal ini.
Melanjutkan jawaban atas pertanyaan berikutnya, beliau menjelaskan bagaimana para ulama dahulu membumikan ayat lewat budaya. Beliau bercerita pengalamannya bagaimana menjembatani toleransi dalam beragama. Sebagai pengurus karawitan di Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta, beliau mengusulkan rekrutmen yang proporsional pada pengrawit sesuai agamanya. Karena sebagai lembaga penyiaran publik, maka pada hari-hari keagamaan tertentu, gending-gending yang dibawakan mengikuti agama tertentu. Sehingga ketika perayaan paskah, yang jadi pengrawit adalah para pengrawit yang beragama Nasrani. Sehingga terhindar dari potensi pencampuradukkan agama.
Di sisi lain beliau menegaskan perayaan lebaran yang sebenarnya adalah ekspresi kebudayaan. Atau penggunaan topi Santa Claus yang sebenarnya bukan bagian dari ritual kaum Kristen, tapi juga sebuah ekspresi kebudayaan. Sehingga kebudayaan adalah jembatan dalam pergaulan kita sebagai manusia Jawa, sehingga kita tidak masuk dalam jebakan radikalisme yang sering digaungkan dengan dalih puritanisme.
Kesimpulannya, konsep Jawa itu sendiri sebenarnya berkembang, tetapi secara prinsip kita bisa melihat bagaimana Jawa ini sangat unik. Sehingga proses kebudayaan yang terjadi di Jawa ini tidak lepas dari berbagai input yang masuk ke tanah Jawa. Tapi sikap moderat dan Ajur Ajer yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa inilah yang membuat kita memiliki kekhasan. Jangan mudah mengatakan hal ini itu sebagai syirik atau bid’ah jika kita belum mendalami dan memahami karya-karya leluhur kita dengan baik. Lebih baik pelajari dulu, baru berkomentar.
Karena malam semakin larut, Ki Demang harus undur diri lebih dahulu. Wasis pun meminta beliau untuk melantunkan sebuah suluk atau tetembangan Jawa. Ki Demang pun membawakan Kidung Rumeksa Ing Wengi yang diyakini dibuat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga yang dilanjutkan dengan bacaan Hauqolah yang diiringi oleh Selaksa.
Mas Didik W. Kurniawan yang juga sudah mendampingi narasumber di depan pun memberikan testimoninya. Secara garis besar beliau sepakat dengan apa yang diungkapkan Ki Demang. Beliau hanya menggarisbawahi bahwa dengan pemahaman Jawa yang mendasar, kita optimis bahwa kelak bangsa ini akan berperan penting bagi dunia.
Pak As’ad Munir, Sesepuh Maiyah Solo menyambung dengan mengangkat tema besar tentang perilaku Barat yang memfakultaskan apa pun sehingga pemahaman kita sebagai orang Jawa menjadi tidak jangkep. Termasuk pemisahan konsep dunia dan akhirat. Sebagai seorang pebisnis beliau mengingatkan bahwa dalam perkara ekonomi pun sebenarnya itu bukan urusan dunia saja. Tepat waktu memenuhi pesanan klien juga bagian dari ibadah yang akan bernilai di akhirat. Tapi hari ini orang menyangka bahwa dunia itu bagian yang terpisah dari akhirat.
Selain itu, hendaknya kita memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Jika di siang hari memang banyak tugas yang harus dikerjakan, sebaiknya jangan banyak begadang di malam hari hanya untuk berbincang-bincang sesuatu yang tidak jelas. Semua harus tepat berdasarkan situasi dan kondisi. Terakhir, beliau mengingatkan agar kita mempertahankan jati diri kita dengan tetap Ajur Ajer di dalam sebuah komunitas besar. Karena semua harus berjalan harmoni agar menghasilkan manfaat yang lebih besar.
Acara Maiyah Solo ini pun dipuncaki oleh Pakde Herman, beliau menyanyikan lagu keroncong Fatwa Pujangga. Kemudian dilanjutkan Mas Ranto yang membawakan tembang Dhandhanggula. Setelah itu, Wasis menutup acara bersamaan dilantunkannya lagu Sebelum Cahaya karya Letto oleh grup musik Selaksa.
Penulis : Yuli Ardika Prihatama
Editor : Agung Pranawa
Foto : Umar Khaliyf