Menu Close

Jangan Sampai Oglangan Lagi

Suasana Rumah Maiyah Solo kembali ramai dihadiri oleh jamaah maiyah. Maiyah Solo yang kini telah diberi nama Suluk Surakarta oleh Mbah Nun, kembali menggelar forum rutin di bulan Juli. Mengambil inspirasi dari Mocopat Syafaat bulan Juli, Maiyah Solo memantik para jamaah dengan tema “Oglangan Akale”.

Seperti biasanya, mas Rafi mengawali forum rutin dengan mengajak jamaah membaca al Quran dan bershalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Dilanjutkan dengan menyapa jamaah yang hadir. Wajah-wajah yang baru pun diminta ke depan satu per satu untuk memperkenalkan diri.

Dengan didampingi mas Umar, beberapa jamaah dieksplorasi untuk berbagi kepada jamaah. Ada mas Tyo yang sering menjadi sutradara teater dan belajar tentang psikologi, tapi sebenarnya basis akademisnya sebagai pembelajar matematika. Ada mas Dewa dan mas Ari yang berbagi tentang kemerdekaan. Kemudian dipuncaki oleh Pak Bani yang berbagi tentang manfaat air kencing manusia berdasarkan “riset” yang dilakukannya.

Sesi inti maiyah pun dimulai dengan tampilnya mas Wasis. Untuk menyegarkan suasana, dua vokalis baru Selaksa, mbak Devis dan mbak Nanda diminta tampil di awal dengan diiringi solo gitar mas Binsar dari PENA dan mas Rizal (drummer dan perkusionis Selaksa). Sesi pertama menjadi lebih khidmat lewat dua nomor yang dibawakan mereka berdua, yaitu Kangen dan Some One Like You.

Satu persatu personil Selaksa pun maju ke depan, disusul oleh para sesepuh Maiyah Solo yang malam ini tampil sebagai narasumber. Mas Didik membedah tema Maiyah Malam hari ini. Sebagai salah satu tim penulis CakNun.com, dia menyampaikan pentingnya ketersambungan proses tadabbur dari sumur Maiyah yang dimulai dengan menggali inspirasi dari simpul maiyah yang lebih tua, yaitu Padhang Mbulan dan Mocopat Syafaat. Kata Oglangan Akale sendiri diambil dari idiom yang biasa dikenal oleh warga Solo Raya. Paparan mas Didik pun diendapkan dengan nomor Selaksa, Istighfar.

Hidup Harus Kreatif dan Produktif

Pak Asad Munir membuka wawasan dengan penyadaran bahwa kelemahan umat Islam secara umum adalah pada kemandirian ekonomi. Umat Islam sering melupakan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad adalah wirausahawan yang sukses. Kemudian beliau mengajak mentadabburi konsep kesadaran lubang dan pentingnya pernikahan.

Pernikahan menekankan bahwa hubungan antar lubang itu harus jelas perjanjiannya, tidak asal sambung saja. Maka dari itu, Islam sangat mencela perilaku perzinaan. Jika ditarik pada peristiwa yang lebih luas, maka di mana-mana seharusnya terjadi pernikahan, baik dalam perdagangan, pemerintahan, dan semua hal. Jika tidak jelas perjanjiannya, maka sebenarnya juga terjadi perzinaan.

Kemudian beliau kembali ke titik pembukanya, yaitu permasalahan ekonomi. Beliau mengkritik kebiasaan anak-anak muda sekarang yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menganggur dan nongkrong-nongkrong tapi tidak merencanakan sesuatu yang produktif. Adanya layanan internet yang sudah sangat baik saat ini tidak ditangkap sebagai peluang untuk membangun ekonomi yang mandiri. Semakin tinggi sekolah, terkadang justru membuat malas dan tidak kreatif untuk bekerja.

Maka dari itu, segeralah untuk memulai bisnis sekecil apa pun. Bukan semata-mata mengejar keuntungan, tetapi bagaimana itu dijadikan sebagai sesaji kepada Allah agar Dia melimpahkan rizki karena kesungguhan usaha kita. Dunia dan akhirat sebenarnya adalah satu kesatuan. Karena dunia adalah babak awal dari apa yang kita sebut sebagai akhirat. Sehingga tidak ada bedanya antara bekerja untuk mencukupi kehidupan dunia dengan ibadah-ibadah mahdlah selama semuanya dilakukan dengan niat yang benar karena Allah. Jika kita bekerja untuk mencukupi kebutuhan anak istri dan jika mampu adalah membuka lapangan kerja bagi orang lain sesungguhnya kita telah melakukan jihad dengan harta dan jiwa.

Untuk menyegarkan pemahaman jamaah, Selaksa kembali menampilkan lagu wajibnya yang dibawakan oleh dek Einstein, Kidung Wahyu Kalaseba. Lagu ini selalu dilantunkan setiap kali maiyahan. Sebuah lagu yang bernuansa sufisme yang dikompos oleh Habib Ashari Adzomat Khan, pengasuh pondok pesantren Sunan Gunung Jati.

Membeli Produk Saudara Sendiri

Pak Arsanto menyambung apa yang sudah disampaikan Pak Asad Munir. Beliau yang belum lama ini menjalani “hukuman” dari Mbah Nun, mendapatkan banyak inspirasi dari maiyah. Pemilik Sekolah Bisnis Ritel Indonesia itu, mengajak jamaah maiyah untuk mulai membuat saluran ekonomi tertutup. Pengusaha yang menjadi penggerak “Beli Indonesia” itu mengingatkan bahwa untuk melawan kapitalisme harus dimulai dari gerakan bawah tanah yang rapi.

Jamaah maiyah perlu membangun kesadaran untuk saling bertransaksi satu sama lain. Membeli produk sesama jamaah dan memasarkannya secara tertutup agar tidak banyak diendus oleh para kapitalis. Hal ini akan menguatkan ekonomi masyarakat bawah karena uang akan berputar hanya pada komunitas. Dengan cara seperti ini, insya Allah kemandirian dan ketahanan ekonomi bangsa akan bisa tumbuh.

Untuk kembali mengendapkan pemahaman jamaah, Selaksa menampilkan dua nomor dengan genre berbeda. Mas Yusuf membawakan lagu Ilir Ilir yang diaransemen blues. Kemudian mbak Tika dan mbak Devis membawakan lagu Lumiting Asmoro dalam aransemen keroncong. Dengan kondisi personil Selaksa yang tidak lengkap, ternyata masih tetap tampil dengan baik.

Mas Eko, jamaah maiyah asal Purworejo yang mengkhususkan hadir ke Solo turut tampil ke depan dan berbagi tentang pengalamannya berbisnis online. Dia mengembangkan bisnis sarang walet. Dia memulai dari nol, belajar langsung dengan memanfaatkan sarana internet dan akhirnya sekarang bisnisnya telah berjalan. Pak Ranto menyambung dengan pertanyaan tentang langkah nyata dalam mengembangkan sistem ekonomi tertutup seperti yang diuraikan Pak Arsanto.

Saatnya Maiyah Berkiprah Nyata

Pakde Herman, salah satu sesepuh yang merupakan sahabat dekat Mbah Nun merespon diskusi yang telah berjalan. Beliau mengulas tentang Maiyah yang diibaratkan sebagai ideologi terbuka. Dengan konsep ideologi terbuka, Maiyah mendorong masyarakat untuk menjadi manusia-manusia merdeka. Dan untuk selanjutnya semua harus bergerak menuju kemerdekaan ekonomi.

Beliau bercerita tentang perubahan Indonesia dari orde lama ke orde baru yang ditandai dengan terbitnya undang-undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967. Beliau menggambarkan kekagetan masyarakat Indonesia setelah mendapatkan kuncuran investasi asing. Trilogi pembangunan yang dicanangkan Presiden Soeharto, yaitu Stabilitas, Pertumbuhan, dan Pemerataan. Tapi sampai 32 tahun berkuasa, pemerataan tidak pernah tercapai sampai lengsernya. Yang tumbuh justru orang-orang kaya di tengah kondisi rakyat yang tetap melarat dan negara yang justru terjerat banyak hutang atas banyaknya investasi asing.

Begitu reformasi digelorakan, ternyata tidak seperti yang diharapkan. Pakde Herman yang merupakan sahabat dekat Mbah Nun tahu persis bagaimana situasi peralihan kekuasaan yang sebenarnya. Sehingga apa yang terjadi saat ini, ternyata justru lebih buruk dari yang diperkirakan setelah melihat situasi pusat pemerintahan yang ternyata tidak berhasil “direformasi”.

Lebih lanjut beliau mengupas berbagai ketidakadilan yang ada di tengah masyarakat. Salah satu praktik ketidakadilan yang paling dirasakan adalah dalam sektor pertanian. Adalah hal yang naif, selama ini para petani selalu dizalimi oleh mafia pupuk, tapi ketika harus menjual hasil pertanian, mereka tidak mampu menentukan harganya. Mereka tunduk dengan harga yang dipatok kartel pedagang, sudah pasti jauh dari yang diharapkan. Maka dari itu, jangan sampai kita membiarkan ketidakadilan ini lebih lama lagi. Kita harus bangkit dengan cara-cara yang kreatif untuk melawan ketidakadilan ini.

Membangun Ekonomi Mandiri

Pak Asad Munir menegaskan kembali tentang konsep “close circuit” yang disebutkan pada pembahasan di awal. Beliau membuat amsal tentang kompresor di mana tekanan dapat dihasilkan karena udara dimasukkan dalam tabung dan hanya disalurkan secara berkala dengan lubang tertentu yang disepakati. Maka dari itu, pasar bebas sebenarnya adalah tipu daya yang berbahaya karena membuat kita tidak mampu mengendalikan ekonomi kita.

Untuk menyegarkan pikiran jamaah, Pakde Herman membawakan tembang macapat Pangkur karya beliau sendiri sebanyak dua bait. Lalu disambung dengan tembang campur sari Aja Lamis karya alm. Mantous. Pada maiyahan ini, Selaksa mampu menampilkan beragam warna musik dari nomor-nomor yang dibawakannya.

Pak Arsanto kembali memberikan penjelasan tambahan tentang “close circuit” dari pendekatan konsumsi. Pada dasarnya, setiap manusia adalah konsumen. Semiskin apa pun, manusia tetap butuh mengkonsumsi. Maka dari itu, jadilah konsumen yang cerdas, yaitu yang memiliki kesadaran untuk memilih di mana kita harus membeli. Boikot bukan solusi untuk menghentikan kapitalisme. Karena justru viral gerakan boikot akan mengenalkan produk-produk mereka lebih luas. Lebih efektif dan efisien jika kita menggerakan silaturahim dan gerakan beli produk saudara sendiri.

Beliau mengeluhkan kebiasaan masyarakat kita yang tidak setia satu sama lain. Lebih suka mengkhianati saudara sendiri dengan tidak turut membesarkan usahanya. Di sisi lain, yang sudah memiliki kapital besar sering meninggalkan saudara-saudaranya juga. Pemahaman tentang berjamaah masih harus diperbaiki agar kita tidak sekedar berkumpul, tapi juga tumbuh bersama. Beliau mengapresiasi adanya gerakan Kartel Nusantara yang dirintis oleh para penggiat Suluk Surakartan. Gerakan ini harusnya didukung agar dapat menumbuhkan kemandirian ekonomi di kemudian hari.

Jangan Sampai Oglangan Lagi

Mas Didik, memberikan penekanan agar hal-hal yang telah dibahas tetap dijaga sehingga akal kita tidak oglangan. Beliau berbagi pengalaman tentang kesannya pada Mbah Nun yang begitu detil memikirkan sesuatu yang dianggap sepele dan kehidupan orang-orang kecil. Perhatian beliau yang luar biasa ini menunjukkan bagaimana beliau selalu berusaha membesarkan hati jamaah. Sebagai salah satu tim di CakNun.com, mas Didik mendapatkan pelajaran bagaimana menulis itu dimulai dari hal yang kecil dan terdekat dengan kita.

Di bagian akhir, Pak Asad menerangkan tentang pemahaman kita yang masih sempit menyangkut najis, riba, dll. Beliau memperluas masalah riba yang selama ini hanya dipahami sempit seputar tambahan pengembalian yang dipraktikan oleh bank. Padahal jika dikembalikan ke akhlak, ketika kita meminjam sesuatu, maka etika mengembalikannya seharusnya diperbagus. Yang tidak boleh adalah yang meminjami menagih tambahannya.

Jika diperluas, sebenarnya riba justru menyasar pada berbagai manipulasi yang berlangsung seperti sekarang, seperti menjual sesuatu dengan tidak jujur, melakukan pencitraan politik dll. Maka kesadaran kita tentang bahaya riba sebenarnya untuk membentuk sikap peduli atas hal-hal di sekitar kita. Kepedulian kita kepada sesama sebaiknya juga dimulai dari landasan al Quran, yaitu dari menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Dengan kita membangun pribadi dan keluarga yang kuat, kelak akan melahirkan masyarakat yang kuat.

Akhirnya kita harus membangun kesadaran air, yaitu dalam berbagai keadaannya ia sangat bermanfaat bagi kehidupan. Misalnya keadaan air yang menjadi uap, selama ini mungkin kurang dilihat manfaatnya. Padahal secara alami air yang menjadi uap akan berpotensi menjadi embun. Embun terjadi di malam hari dan banyak yang tertinggal di dedaunan. Menurut penelitian, air akan diserap tumbuhan lewat dedaunan ketika malam hari. Artinya, apa pun keadaan kita saat ini, kita harus berpikir bagaimana tetap kreatif dan bermanfaat.

Forum pun diakhiri dengan lantunan Shahibu Baiti. Para jamaah berdiri dalam keadaan hening dan fokus menyimak lantunan wirid tersebut. Suasana khidmat dan khusyu’ mewarnai sesi penutupan Maiyah Suluk Surakartan ini. Dipuncaki dengan pembacaan doa oleh Mas Azis. Para jamaah kemudian saling berjabat tangan dan pulang.

Oleh: Yuli Ardika Prihatama

Tulisan terkait