Menu Close

Modal Yakin Wani Temandang

Reportase Suluk Surakartan Edisi Ke-22, 24 November 2017

Bersinggungan dengan Makhluk Halus

Sedari sore, gerimis sudah membasahi seluruh penjuru kota Surakarta dan sekitarnya. Menurut informasi yang ada di grup whatsapp driver ojek online, hujan pada sore menjelang malam itu ternyata rata di Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten). Kondisi tersebut menambah cocok untuk bermesraan di atas kasur dan selimut atau nongkrong di depan televisi sambil menikmati minuman hangat beserta cemilan, nek eneknek ra enek ya di anggep enek ae. 

Beberapa kali menghadiri rutinan Suluk Surakartan dan agenda lainnya, nampaknya Gusti Pangeran memberikan beberapa fasilitas kemudahan kepada saya. Yaitu dengan menghadirkan Rafi sebagai sopir pribadi yang siap antar jemput saya dari kontrakan ke TJA. “Lumayanlah pisan-pindo ngrasake digoncengne, mosok nggoncengne terus, opo meneh udan sisan”. Di tengah perjalanan kami sempat memprediksi, bahwa nanti sedulur-sedulur yang hadir sinau bareng di rumah maiyah TJA sedikit. Karena sebagian dulur-dulur penggiat izin karena harus menghadiri acara pribadi yang tak bisa ditinggalkan maupun sakit dan hujan yang tak kunjung reda. Bukan bermaksud menyalahkan hujan, tapi saya belum dapat menemukan kata untuk mengekspresikan kondisi tersebut.

Memang betul, dari awal hingga akhir selesainya proses sinau bareng pada malam hari itu, jumlah jamahnya tidak seperti biasaanya, kurang lebih yang hadir sekitar 40 orangan. Kalau yang tak berwujud alias makhluk halus atau ghaib, saya tak tau persis berapa jumlahnya, mungkin bisa banyak mungkin sedikit.  Tapi yang jelas menurut beberapa cerita dari sedulur-sedulur dan Mas Islamiyanto, rumah Maiyah tersebut agak sedikit “gimana gitu”, tapi tak usah takut, sejauh ini mereka tidak rese atau jahil. Nek semisal mereka ngganggu tinggal bilang pasworde “Aku santrine Mbah Nun” he…he. Yang jelas, seperti yang sering Simbah utarakan kepada kita semua, takut kita hanya untuk Gusti Allah saja dan bukan untuk yang lainnya. Nek kita masih takut kecuali dengan Gusti Allah, mari kita sedikit demi sedkit belajar njejegne tauhid kita bersama-sama.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita diwajibkan mengimani sesuatu yang ghaib seperti yang ditegaskan Sang Maha Ghaib, dalam surat Al- Baqarah di awal ayat 3 “Alladziina yu’minuuna bil ghaiibi”.  Selain itu juga, mau tak mau kita tak bisa menghindar untuk bersinggungan dengan makhluk ciptaaNya tersebut. Seperti halnya yang diutarakan oleh Mas Jefri di sesi pertama. Jika kendala Mas Icon dalam membangun usaha distronya harus kolap karena patner bisnisnya. Sama seperti halnya saya pada satu tahun yang lalu.  Itu agak sedikit berbeda dengan pengalaman Mas Jefri yang setiap hari harus bersinggungan dengan makhluk yang tak nampak dalam menjalankan usahannya. Pengusaha Mie Nyonyor ini menceritakan bahwa ia setiap hari harus berurusan dengan gangguan dari makhluk halus tersebut. Entah itu yang berupa Pocong, Genderuwo, Wedhus Gembil dll. Begitu pula ketika disaat para dulur-dulur penggiat di hari selasa 21 November kemarin mengadakan rapat penggiat di kedai beliau. Menurut ceritanya beliau, disaat rapat selesai dengan diakhir membacakan sholawat nariyah, di belakang atau dapur beliau terdengar suara gemblondang seperti serangan ghaib yang mental.

Namun, Alhamdulillah hingga sampai saat ini usaha beliau masih berjalan, walaupun kiriman-kiriman ghaib dari luar sana masih jalan terus. Dan mari kita berdoa dan ngirimi Al-Fatehah bersama lur, semoga beliau kuat menghadapi ujian ini dan rejekinya terus mbanyu mili dan tambah deres. Aamiin. Salah satu hikmah atau tauladan yang saya petik dari cerita Mas Jefri dalam menyikapi ‘serangan ghaib’ tersebut, beliau tak memusuhi seseorang yang melakukan serangan tersebut dan seolah-olah ia tak tau kalau yang melakukan serangan ghaib tersebut ialah dia. Sebenarnya ini merupakan ilmu lama dari Maiyah.

Suara crunchy dari gitar elektrik dipadu dengan efek delay dan nada-nada blues mengiringi pembacaan musikalisasi puisi yang di bawakan Gema Isyak Adab (salah satu personel grup band Soloensis). Pada malam hari itu ia membacakan puisi Yudhistira Massardi yang berjudul Jakarta 96. Iringan musik tersebut menambah kekhidmatan jamaah dalam meresapi makna-makna dari puisi tersebut. Ternyata eh ternyata, Gema Isyak ini merupakan junior saya di  padepokan Sraddha (suatu komunitas sinau sastra jawa kuna yang diampu oleh suhu Rendra Agusta, saudara kembar dari Indra Agusta). Jika ia angkatan ke 2 sama seperti komandan tim media Suluk Surakartan, kang Agung “Nonot” Pranawa, sedangkan saya angkatan ke 1, nek diakoni. Maka dan seharusnya beliau memanggil saya dengan sebutan kakak pertama he… he…

Berbagai informasi saya dapatkan dari beliau saat ngobrol ketika TJA masih sepi orang. Dari keikutsertaan beliau jadi pencari ilmu di Sraddha maupun kehidupan pribadinnya. Kalau dalam ilmu intelejen, mungkin saya menang banyak. Karena saya dapat mengorek berragam informasi dari dia, tapi ia hanya sedikit mendapatkan informasi tentang saya. ra penting wkwk. Hal tersebut saya sengaja, karena saya malu nek di ajak ngobrol masalah ilmu seputar sastra jawa baik itu yang era kuna, tengahan maupun sansekrta, pasti masih ngah ngoh, ola olo alias akeh ra mudenge. Memang mempelajari sastra jawa lebih rumit daripada mempelajari bahasa inggris, sebab secara habitus bahasa inggris lebih popular dari sastra jawa.

Yen Wani Ojo Wedi-wedi, Yen Wedi Ojo Wani-wani

Pertemuan di malam itu terasa berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Baik itu yang bersifat kuntitas jamaah, nuansa dan lain sebagainnya. Jelas setiap waktu pastinya memiliki perbedaan-perbedaan. Jika sama terus, tentunya dengan aktivitas yang monoton akan membuat kita seolah-olah sama seperti robot. Namun perbedaan yang mencolok di malam itu terjadi di saat Pakdhe Herman melakukan ritual yang telah lama beliau tinggal yaitu aktivitas ngrokok. “Mak slethup, geeer Dhe…” Hal tersebut, menarik perhatian bagi mayoritas penggiat. Bahkan beberapa penggiat mengabadikan momentum langka tersebut. Entah apa motif beliau ngrokok kembali yang setelah hampir 3 tahunan berhenti.  Walaupun rokok perdana tersebut tak sampai habis karena membuat beliau pusing.

Di tengah-tengah arus modernitas  yang menawarkan berbagai fasilitas yang begitu komplek dan cepatnya. Satu sisi membawa dampak positif dan sisi lain membawa dampak negative. Dua hal tersebut selalu ada dalam setiap kehidupan kita sehari-hari. Dualitas positif dan negative merupakan suatu keharusan yang harus ada di dunia ini. Mungkin, jika Allah hanya menciptakan negative atau positif saja, entah apa yang akan terjadi di muka bumi ini? Wallahu A’lam Bishawab. 

Laju modernitas yang begitu cepatnya ini, secara sadar maupun tak sadar telah membawa perubahan karakter maupun mentalitas pada diri manusia, terutama umat manusia yang berada di bumi nusantara ini. Sebenarnya bukan menyalahkan kondisi yang sedang berlangsung, namun lebih tepatnya ada yang salah dalam menyikapi sesuatu hal. Entah salah atau tak siap dalam menghadapi laju modernitas saat ini, mayoritas dari kita telah mengalami kepudaran ataupun kehilangan identitas diri dari nenek moyang kita. Sehingga karakter atau mentalitas adiluhung yang menjadi identitas nenek moyang kita dalam kehidupan sehari-hari, kian lama kian sulit kita ketemukan di masyarakat Indonesia saat ini, terutama di kalangan generasi muda.

Hadirnya Pak Imron Rohyadi di tengah-tengah jamaah pada malam itu, menjadi pelecut bagi kita semua, terutama bagi saya secara pribadi. Secara tak langsung beliau mengajari kami bagaimana survive dalam kondisi terjepit untuk mengapai sebuah cita-cita dan keyakinan. Dengan bermodalkan kegigihan dan keyakinannya pada Sang Khalik akan tercapainya cita-citanya. Itulah yang menjadi modal beliau sejak dari awal membangun perusahan dari nol hingga sampai bernilai belasan milyar di tahun 90an. Karena faktor X, beliau diberikan peringatan oleh Gusti Pangeran yang berupa perusahaannya yang mengalami kolaps di tahun-tahun menjelang reformasi. Selain itu juga beliau harus menanggung hutang bank sebesar ratusan juta.

Namun hal tersebut tak membuatnya patah arang atau nglokro alias gagal move on. “Cobo dibayangne  jek, nduwe utang ratusan juta neng tahun semono, nek dinominal neng zaman sakiki dadi piro? Tur rasane kepiye ya? lha kene wae nduwe utang gur pirang jutaan ora nyampe sepuluh juta ae, rasane ora tentrem neng urip. Opo meneh nek nominale semono ekhmmmm rasane mesti mak nyus kuadrat piro, mbuh”.  

Akhirnya, mau gak mau ia harus bekerja di sebuah perusahaan untuk bertahan hidup dan menyelesaikan tanggungan beliau di bank. Akhirnya setelah masalah itu selesai, beliau mempunyai hasrat untuk memiliki sebuah perusahaan lagi. Singkat cerita setelah di tahun 2007, beliau berhasil memiliki sebuah perusahaan. Dan di tahun 2009 in come perusahaaanya mencapai 75 Milyaran. Namun karena permintaan ibunya yang ingin beliau kembali ke Solo untuk merawat kedua orangtuanya tersebut, maka sebagai salah satu bentuk pengabdian anak kepada orang tuannya, ia harus menuruti segala keinginan dari ibundanya.  Dan mau tak mau ia harus mengiklaskan untuk meninggalkan dan menyerahkan perusahannya yang berada di Jakarta kepada temannya. Setelah berada di Solo,  ia harus kembali lagi merintis usahanya dari nol kembali.

Ketika Pak Dhe Herman melihat generasi saat ini, termasuk saya, merupakan generasi yang lembek mudah putus asa dan kurang gigih dalam menghadapi hidup atau bahasa kerennya tak memiliki jiwa Fighter. Hal itu berbanding terbalik dengan generasi zaman dahulu yang tahan banting dalam menghadapi kehidupan. Kondisi tersebut tak bisa terlepaskan dari ketersediaan fasilitas yang cemepak dalam kehidupan sehari-harinya. Pemanjaan tersebut kurang baik dalam membangun sebuah mentalitas pada diri seseorang. Karena pemanjaan-pemanjaan tersebut akan menghasilkan generasi yang bermental lembek, mudah menyerah dan putus asa. Jika itu dilihat dari prespektif proses laku.

Sedangkan doa merupakan faktor penunjang dalam proses laku kita dalam mengapai cita-cita. Doa merupakan sebuah kepasrahan sekaligus pengharapan kita pada Allah. “Ud’uni astajib lakum”, setiap kali kita berdoa  pasti akan dikabulkan oleh Allah, seandainya tak dapat terkabulkan, pasti ada yang salah dalam proses doa kita. Kemungkinan besar faktor yang menghambat doa kita ialah raiba atau keraguan yang ada di dalam diri kita. Teori doa yang sering diutarakan Mas Islamiyanto dari Simbah kepada saya, Allah tidak akan mengingkari janjiNya kepada kita. Seandainya kita berdoa, pintu hijab yang ada di langit akan terbuka. Namun, jika didalam diri kita muncul rasa keragu-raguan, maka pintu hijab tersebut akan menutup dan doa kita tidak akan sampai kepada Allah. Jika kita berdoa atau mempunyai cita-cita, yakinlah pasti Sang Khalik akan mengijabahi doa kita.

Cara pandang manusia modern saat ini dalam menilai keberhasilan umumnya, masih terletak pada pencapaian yang bersifat materiil. Padahal itu hanya merupakan wasilah, sedangkan tujuan utama kita  menuju Allah. Keberhasilan merupakan sebuah kelulusan dari ujian kehidupan yang kita lalui dalam berproses di dunia.  Sedangkan kegagalan merupakan sebuah ketakberasilan kita dalam menghadapi ujian. Jika kita mengalami kegagalan dalam berproses, maka kita belum diizinkan untuk naik kelas dan harus remidi atau ambil semester pendek. Begitu seterusnya sampai Malaikat Izrail memangil nama kita sesuai yang ada di buku daftar absennya. Puncak keberhasilan bukan terletak pada harta, tahta, wanita/pria, kukila dan turangga. Namun puncak keberhasilan kita di dunia ini, “dadi wong kang utama” atau keberhasilan kita dalam manembah kepada Gusti Pangeran. (Wahyudi Sutrisno)

Tulisan terkait