Oleh: Indra Agusta
Lebaran di Jawa sudah bukan lagi soal perayaan agama, namun sudah bergeser menjadi perayaan budaya, dimana lebaran akan dirayakan semua orang tanpa terkecuali. Sebagai titik pertemuan, titik kenangan juga sebagai pusat berputarnya pundi-pundi uang. Mudik adalah bagian yang tak lepas dari perayaan ini, dimana jalma kembali ke asal, ke kesejatiannya. Namun apa yang dirindukan dari lebaran di desa?
Sebagai manusia yang karena ketetapan Gusti harus menunggu rumah, kosakata “mudik” tentu jauh dari angan. Tetapi justru karena di rumahlah banyak perubahan seputar lebaran saya tangkap dimensi hidupnya.
Lalu lalang transportasi adalah titik keberangkatan awal memaknai lebaran kali ini. Jalanan kota yang kecil tetiba sesak oleh mobil-mobil plat B, yang entah sekedar lewat atau bermudik-pulang menuju sudut sukowati ini. Pun juga dengan desa saya dahulu tak ada yang mudik menggunakan kendaraan pribadi, bus adalah moda tranportasi utama selebihnya adalah rejeki ojek pangkalan, kini seiring maraknya populasi mudik menggunakan mobil dan motor adalah cerita biasa. Dan seiring kemajuan pembangunan kini jalanan becek, kubangan tanah dan beningnya air selokan adalah hal yang sudah harus dilupakan. Hampir tak ada lagi beda jalanan kota dengan desaku.
Suasana lebaran adalah hal yang sangat berbeda setiap tahunnya. Dimana anak-anak yang dulu bermain petasan selepas subuh, atau guyonan mereka meledakkan bambu dipinggir kali. Atau kelakar anak-anak perempuan bermain “pasaran” di belakang rumah.
Lebaran di desa kini hampir sama saja dengan kota. Kemajuan akhirnya menghilangkan sekat Desa-Kota, dimana desa kini riuh, anak-anak sudah asik didepan layar smartphone, pandai bermain game mobile legend, atau menonton video kesukaan di Youtube, kemewahan bernama kesederhanaan itu hampir sama sekali hilang.
Dahulu kerinduan akan kepulangan keluarga itu mendalam, romantisme pertemuan itu kerap memecah menjadi tangis sesenggukan, namun sekarang teknologi memecahnya. Bahkan setiap menit kita bisa memberi kabar dari seluruh tanah perantauan, perjalanan pulang sekarang dibumbui sharing location, untuk memastikan keselamatan nyaris tak ada kekagetan.
Tatkala si pemudik datang, oh ternyata tak perlu ada yang dirindukan dari desa selain makam dan kenangan bersama tua-tua renta yang ditinggalkan bersama kejayaan perantauan. Mereka tak melihat lagi lipatan jarak ndeso-kuto, baju baru juga bisa dibeli kapanpun tanpa harus menunggu lebaran, Plesiran juga tak menjadi hal yang menarik seiring menaiknya hobi berpariwisata kita.
Angin semilir kini panas, tak ada lagi radio National berganti dengan TV flat, khas perubahan teknologi. Karak, rambak, semuanya hampir hilang tergantikan nastar. Rengeng-rengeng tembang macapat untuk meninabobokan bayi hilang, juga kepulan asap rokok klobot juga hilang.
20 tahun hampir berlalu sejak ingatanku akan lebaran membekas, memang jaman sudah melesat demikian kencangnya.
Ungkapan-ungkapan Jawa :
“Bakdan nggo nglabur, lèbur lan nglubér jembar atine”
Kini berganti suksesnya penggunaan kata
“Mohon maaf ya”
Kata-kata saja sudah menurun pemilihan dan pemaknaannya..
Ya ini jaman sudah sama sekali baru, kesederhanaan Lebaran di Desa hanya akan jadi genangan kenangan.
Selamat memancarkan kesucian dan kesunyian di hari raya, salamku terkhusus padamu yang tak bisa pulang lebaran karena beban pekerjaan entah Satpam, Penjaga Rumah, Admin operator seluler, Jurnalis, Polisi dan sopir-sopir tak mudah memang, semoga tahun-tahun mendatang menjadi tumpukan kerinduan.
Selamat berlebaran dan berlaburan
#EdisiLebaran