Menu Close

Indonesia Butuh Kanal

Episode kelima dari film seri “Last of Us” Joel dan Ellie menerobos kanal untuk keluar dari Kansas City. Film berseri ini berangkat dari permainan daring dengan judul yang sama. Tentu yang menjadi pembeda adalah penambahan latar film, Jakarta dipilih sebagai latar kemunculan wabah jamur misterius yang menjadi pandemi. Pandemi yang berjalan selama dua puluh tahun memicu penghancuran besar-besaran di seluruh dunia.

Pemerintah Amerika Serikat, wa bil khusus kota Boston membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan FEDRA (Federal Disaster Response Agency) untuk menangani pandemi itu. Di sisi lain, ada gerakan-gerakan perlawanan sporadik yang mengganggap FEDRA melakukan kejahatan perang dengan membantai ribuan manusia, yang belum tentu terjangkit wabah jamur itu. “Fireflies” dan “The People” merupakan kelompok yang selamat dari pembantaian besar-besaran atas nama kebijakan negara itu tadi. Ketiga kelompok tadi membangun kebijakan kelompoknya sendiri-sendiri yang penuh sesak dengan aturan dan keterbatasan post-apocalypse. Kelompok-kelompok membuat benteng, pagar listrik, ranjau-ranjau yang ditebar, jebakan-jebakan pesawat sederhana lainnya agar mayat hidup yang menjadi inang jamur tidak menyerang manusia. Kanal-kanal air bawah tanah yang menghubungkan antar kota menjadi jalan keselamatan satu-satunya untuk suplai obat-obatan, pangan, dan senjata. Selain itu, kanal-kanal juga berfungsi untuk membuang limbah rumah tangga, sampah, bahkan mengubur manusia yang akan dan sudah menjadi mayat hidup.

Kenduri Cinta bulan Februari 2023 ini cukup menggaung dalam jaringan, salah satunya tentu dikarenakan kehadiran Rocky Gerung. Secara pribadi saya bukan orang yang selalu setuju dengan apa yang disampaikan Mbah Nun maupun Rocky Gerung. Dari hal-hal yang tidak saya setujui itu pula saya membaca tulisan, reportase, tutur-tutur lisan, hingga sesekali bertemu keduanya di beberapa kesempatan. Salah satu simpulan yang saya dapatkan adalah soal kanal. Indonesia butuh kanal, saluran pembuangan energi, otak-atik otak, pergulatan ilmu, keluh-kesah, sambat, sampai masalah-masalah yang tersembunyi di dalam dirinya sebagai rahasia tiap manusia itu sendiri.

Istilah Kanal tentu dikenalkan pemerintah kolonial dalam pembangunan saluran air di kota Batavia maupun Semarang. Selain kanal, istilah tinggalan Belanda yang kita kenal adalah ledeng. Pada masa peradaban yang lebih tua, sejak abad VIII, kita mengenal wluran, dawuhan, kalenan, sebagai penjelas saluran itu. Hal itu membuktikan, jauh sebelum pemerintah kolonial datang, manusia Jawa mengenal teknologi pengairan untuk patirthan, jaladwara, irigasi, sumur, hingga fungsi-fungsi pembuangan veses. Manusia membutuhkan kanal-kanal untuk melanjutkan hidup. Persis seperti film seri “Last of Us” yang diproduksi rumah produksi HBO, kanal dibutuhkan untuk membangun komunikasi di tengah ketidakpastian hidup dan ancaman “yang terlihat” di atas tanah.

Dari pembacaan saya yang serba sedikit, puluhan tahun Cak Nun dan Rocky Gerung menjadi tukang lèděng, membuatkan “kanal-kanal” penyaluran uneg-uneg orang-orang yang tak berdaya digilas zaman. Menumbuhkan kepercayaan dan kesadaran diri. Sesekali menjadi “Balsem” hati yang lebam, walaupun esok hari akan dan terus disakiti oleh hal-hal di luar dirinya. Saya pikir tentu tidak hanya Cak Nun dan Rocky Gerung yang sudah berupaya menjadi tukang lèděng bagi manusia di sekitarnya, namun agaknya kita masih butuh lebih banyak lagi manusia yang “amot dan momot” untuk segala hal yang tercurah. Berulang kali, setidaknya saya pribadi merasa uneg-uneg saya tersampaikan oleh kata-kata Cak Nun pun juga Rocky Gerung. Sebagai manusia tulisan keduanya, saya hampir yakin, di usia yang sama, agaknya saya tak mampu jika di posisi keduanya untuk Amot dan Momot.

Seperti halnya Rocky Gerung, saya adalah penghayat non-muslim yang tidak terlalu taat, sesekali saya sowan ke lingkar Maiyah. Bagi saya Maiyah ini seperti jalinan kanal-kanal yang terhubung di bawah tanah, menjadi jalinan komunikasi orang-orang yang dipertemukan di dalamnya. Barangkali bisa menjadi jalinan pertemuan pangan, pangan, pun sandang. Lebih dari itu, pertemuan-pertemuannya sebagai obat untuk jiwa yang luka, jamu untuk rindu-rindu yang tak kunjung bertemu. Sesekali, saya berkesempatan untuk berkelakar di Suluk Surakartan, simpul Maiyah yang terdekat dari kontrakan saya. Barangkali kesempatan berkelakar dan mendendang dongeng ini menjadi ri jeruk wileting wudhun, duri pohon Jeruk yang mengurai bisul. Pertemuan Cak Nun dan Rocky Gerung semalam bagi saya merupakan pralampita tersendiri, yang sukar saya tuliskan di sini.

Akhirnya, sebagai utas penutup, tulisan ini saya tulis ketika Kota Surakarta sedang dikepung banjir. Solo berbenah dengan perbaikan kanal, selokan, dan saluran di mana-mana. Sesekali berita dipenuhi kesedihan gempa terjadi di Turki dan Papua. Suara lato-lato masih terdengar di seberang jalan, dan Ellie dalam film seri “Last of Us” berkata “Endure and Survive!”

Rendra Agusta

Pengajar dan Peneliti Naskah Kuno di Sraddha Institute, Pegiat Simpul Maiyah Suluk Surakartan.

Tulisan terkait