Menu Close

Maiyahan Sepulang Maiyahan

Imam Bukhari pernah menulis, al ilmu qabla al qaul wa al amal. Indonesia-nya, ilmu itu sebelum berkata dan bertindak.

Jadi penting sekali dalam hidup ini sesuatu yang bernama ilmu. Ilmu adalah data yang dikomunikasikan lalu dihubungkan dengan data-data lain secara tepat dan jadi pedoman untuk melakukan sesuatu.

Benarlah Sang Imam. Berkata tanpa dasar ilmu berisiko menimbulkan salah faham, pemahaman yang keliru, kebingungan, yang bila diwujudkan dalam tindakan, menimbulkan kekacauan. Begitu pula berbuat sesuatu. Tanpa menguasai ilmunya, orang tak bisa melakukannya dengan baik. Bahkan berpeluang besar keliru dan menimbulkan kerusakan. Jadi, niat baik saja belum cukup. Keberanian juga belum lengkap, tanpa ilmu.

Eloknya, orang Maiyah begitu sadar akan hal itu. Bahwa ilmu sangatlah penting sehingga mereka giat bermajlis ilmu, sinau bareng, yang akrab kita sebut maiyahan. Orang Maiyah rela mengalokasikan jam panjang di malam harinya untuk begadang, berkumpul di suatu tempat untuk saling memberi dan menerima pengetahuan, informasi, tips, nasihat, bahkan kritik.

Maiyahan merupakan metode belajar yang unik dan menarik. Memberi peluang berfikir kritis dan otentik. Mempersempit ruang gerak doktrinasi. Alhasil, tumbuhlah pemikiran-pemikiran unik karena satu hal ditinjau dari sudut pandang yang beragam.

Pemikiran unik membuahkan gagasan atau ide baru yang kreatif dan inovatif. Inovasi merupakan gigi penggerak dinamika peradaban.

Pertanyaannya, apakah hasil maiyahan yang sebegitu keren itu disimpan saja dalam benak orang Maiyah, atau dituangkan ke dalam kehidupannya setelah pulang ke rumah dan beraktivitas di dunianya masing-masing?

Secara nalar, dari proses sinau bareng tersebut, orang Maiyah membawa hasil yang disengaja atau tidak, disadari atau tidak, difikirkan atau refleks, tertuang dalam aktivitas harian. Satu contoh testimoni saya dengar waktu maiyahan Suluk Surakartan bulan lalu, Desember 2022. Seorang jamaah mengaku bahwa dari maiyahan, ia terlatih untuk bersikap tenang dalam menghadapi persoalan. Tidak sontak bereaksi penuh emosi, melainkan bisa diam sejenak untuk berfikir, baru bereaksi lebih bijaksana.

Kembali ke perkataan Imam Bukhari, ilmu adalah pijakan dalam berucap dan bertindak. Jadi, menimba ilmu berfungsi untuk memperoleh bekal menjalani hidup, bekal perjalanan menapaki umur hingga batas yang ditetapkan Tuhan. Artinya, sinau bareng adalah pekerjaan mencari bekal menjalani hidup. Ia satu mata rantai proses. Mata rantai berikutnya adalah mengamalkan.

Dalam Silatnas pegiat Maiyah tahun 2022, 11 Desember lalu, salah satu marja’, Pak Toto Rahardjo, mengatakan bahwa maiyahan itu tidak berhenti di diskusi, di sinau bareng. Maiyahan juga bisa berupa aktivitas harian dalam hidup, di segala bidang.

Lebih spesifik beliau jelaskan, berperan aktif dalam kegiatan yang membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik, adalah maiyahan. Mengelola irigasi dengan sistem yang adil untuk semua petani di sebuah wilayah, misalnya. Di dunia perdagangan, misalnya membangun sistem yang memberdayakan para pedagang kecil di tengah cengkeraman penguasa modal. Beliau mengatakan, kerja-kerja semacam itu adalah Maiyah banget.

Dan yang penting untuk kita fahami adalah, kerja-kerja itu tidak harus dalam lingkup besar yang membutuhkan kekuatan politik, kapital, atau intelektual tingkat tinggi. Tingkat individu saja sudah cukup. Sesuai kemampuan. Tidak menunggu begini dan begitu. Layukalifullahu nafsan ila wus’aha. Allah tidak membebani di luar kesanggupan si hamba. Misalnya, kalau bisanya baru menata sandal jamaah masjid agar tidak terinjak, ya lakukan. Itu Maiyah banget. Atau sekadar kalau makan selalu dihabiskan agar tidak ada yang terbuang percuma, ya lakukan saja. Karena perubahan besar bermula dari langkah kecil. Kalau di edisi kemarin, Suluk Surakartan menyebutnya langkah pertama.

Dan satu hal lagi dipertegas oleh Pak Totok. Yakni inovasi. Beliau berharap, orang Maiyah jadi inovator di bidangnya masing-masing. Dan kalau kita minilik metodologi belajar orang Maiyah di atas, kans itu terbuka lebar. Tinggal kita, orang Maiyah, mau atau tidak memasukinya.

Di simpul Suluk Surakartan sendiri, saya melihat terdapat banyak talenta di berbagai bidang. Dari seni visual, musik, sastra, psikologi, bisnis, pendidikan, alam, mekanika, yang masing-masing bidang tersebut masih memiliki keragaman spesifikasi lagi. Nah, kalau di semua bidang itu ada inovatornya, kita sudah punya peran besar untuk perbaikan peradaban dunia.

Namun, Mas Sabrang pernah menjelaskan bahwa tidak semua manusia harus kreatif dan inovatif. Ada sebagian orang yang bertugas merawat hasil inovasi tersebut. Jadi jangan memaksa diri untuk kreatif dan inovatif. Alamiah saja. Dan untuk bisa mengambil langkah yang tepat adalah dengan mengenali diri sebaik-baiknya. Agar tepat dalam menempatkan diri untuk berperan. Kalau bagian kita bukan untuk berinovasi, merawat hasil inovasi saudara kita yang berfaedah bagi kehidupan, adalah juga sangat Maiyah.

[Ibudh]

Tulisan terkait