Oleh: Didik W. Kurniawan
Bulan syawal tahun ini kami memutuskan untuk berdiam diri di kota Solo. Tidak pulang ke tanah kelahiran saya di Pati, tidak pula mudik ke tempat istri di Kebumen. Ya, baru tahun ini memang. Sebuah keputusan yang cukup pelik. Mengingat, banyak sanak kadang yang pasti tidak kami temui. Keluar dari kebiasaan memang punya nuansa tersendiri.
Pun tidak menjadwalkan diri untuk ke rumah siapa-siapa di Solo. Meski mulai banyak saudara, atau menjadi saudara karena dipersaudarakan di Solo, tapi lebaran kali ini akan saya jadikan momentum untuk bermuhasabah. Menghitung-hitung diri. Menganalisis koordinat jatah tugas hidup di Bumi. Dan sesekali menyeka air mata karena tak kunjung bisa menerima semua peristiwa yang dijatuhkan kepada saya. Dengan khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan serta demi keadilan sosial, waktu awal di bulan Syawal ini akan saya jadikan waktu perenungan.
Karena masih banyak hal yang tidak saya mengerti apalagi saya pahami dalam hidup ini. Seperti yang terjadi di hari ke-28 bulan Ramadhan. Saya mengalami peristiwa yang sungguh-sungguh membuat nalar logika dan semua ilmu pengetahuan yang ada di dalam tubuh ini lenyap. Hanya menyembulkan pertanyaan demi pertanyaan. Menambah perbendaharaan kebodohan dan kedunguan saya sebagai manusia. Gelar kesarjanaan tak berguna. Buku-buku bacaan seperti masuk ke dalam rak-rak kemubadziran. Tak tersisa lagi hal-hal yang layak dibanggakan. Peristiwa yang terjadi di pagi hari itu adalah, saya sliliten wulu sikat gigi.
Pengin misuh-misuh tapi kok puasa. Ora misuh ya kurang afdhol. Panjenengan pernah kayak mengalami hal semacam itu? Kalau setelah makan soto daging, terus tiba-tiba ada slilit berupa suwiran daging, itu masih nikmat karena masih bisa dimakan. Lha ini, slilit wae ya wulu sikat untu e. Rada piye ngono rasane. Begitu berhasil saya ambil, nggak mungkin juga saya makan. Meskipun tidak puasa, siapa juga yang mau makan bulu sikat gigi?
Tidak banyak yang tahu apa yang menimpa saya ini. Sengaja saya rahasiakan dan khusus saya ceritakan kepada para pembaca budiman. Supaya saya bisa mendapat bantuan pencerahan dari panjenengan semua, apakah ada hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan di balik kejadian yang saya alami. Apakah saya masih harus terus menambah stok rasa sabar dan syukur. Atau ada hal lain yang bisa saya lakukan supaya kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari? Perlukah saya mengganti sikat gigi yang lama dengan sikat gigi yang baru? Atau saya lebih berhati-hati ketika menyikat gigi dan gusi? Karena bisa saja gusi saya terluka karena gesekan yang cukup kuat sehingga mengakibatkan sariawan. Atau saya ambil tindakan radikal dengan tidak usah sama sekali menggosok gigi seumur hidup?
Karena saya punya pertanyaan. Siapa tahu pertanyaan ini bisa menjadi tambahan khazanah perdebatan para netizen sekalian. Yang benar, menggosok gigi atau menyikat gigi? Kalau menggosok gigi, kok namanya sikat gigi? Kalau menggunakan sikat gigi, kenapa masih nekat disebut menggosok gigi? Perdebatan ini saya pikir akan lebih hidup dan menarik ketimbang perdebatan jalan tol. Perdebatan tentang sikat gigi atau gosok gigi ini lebih merakyat. Karena hampir semua rakyat Indonesia baik di dunia maya maupun di dunia nyata memerhatikan kebersihan gigi dan gusi mereka.
Hingga saya mengetik tulisan ini, trauma masih menggelayut. Setiap memandang sikat gigi (atau gosok gigi) rasa-rasanya masih ada yang mengganjal. Jangan-jangan saya sliliten bulu sikat lagi. Jangan-jangan slilit-nya tidak hanya satu melainkan tujuh titik. Jangan-jangan slilit-slilit itu tidak gampang saya ambil. Jangan-jangan slilit itu menjelma menjadi sebuah kutukan. Membuat saya semakin menjauh dari kebersihan. Padahal katanya kebersihan itu sebagian dari iman. Jangan-jangan, ah…
Tapi yang namanya ketakutan, tidak layak untuk dipelihara. Tidak patut diberi ruang. Apalagi sampai diternak. Ketakutan itu, kata para motivator yang sudah tidak laku itu, adalah untuk dihadapi. Bukan untuk dibiarkan. Ketakutan demi ketakutan seharusnya, masih menurut para motivator kolektor quote itu, seharusnya ketakutan itu dijadikan modal untuk menumbuhkan semangat dan keberanian. Bukan menjadikan kita lembek dan kehilangan kejantanan. Ketakutan itu harus tepat sasaran. Kepada siapa ketakutan itu dialamatkan.
Kalau hanya kepada bulu sikat saja mentalmu jatuh, apalagi dengan bulu-bulu yang lain? Padahal melalui bulu kita bisa merasakan rangsangan demi rangsangan. Kalau hanya gara-gara dengan bulu sikat saja lantas kau benci semua jenis bulu di dunia ini, lalu dengan apa akan kau bahagiakan istri? Padahal bulu adalah gerbang awal peradaban. Padahal bulu adalah pintu masuk sebuah kenikmatan. Kalau kau takut bulu, tak usah perlu lagi kau merindu. Karena bulu perindu tidak akan laku.
Harus bisa kau bedakan mana bulu yang sejati dan bulu sintetis. Kalau tak bisa kau temukan perbedaannya maka bersiap-siagalah menghadapi kehancuran. Setiap bulu punya nama dan fungsi masing-masing. Memiliki pula tingkat kelebatan yang berbeda. Semuanya sudah diatur sedemikian rupa tanpa kita minta. Ada yang lebat ada yang lembut. Tidak semuanya lebat, tak seluruh pula tipis. Karena tugas antar bulu tidak sama. Tergantung dimana posisinya.
Dan sampai disini panjenengan juga harus memahami kenapa tulisan ini diberi judul ‘Maaf Yak!’. Maaf yak untuk semuanya, kalau selama ini tulisan ini banyak menyinggung atau menyakiti syaraf-syarat emosional di dalam tubuh panjenengan. Awal-awal sudah serius, tiba-tiba menukik tajam nggak karu-karuan. Tapi jujur saya hanya ingin membuat panjenengan gembira selama membaca tulisan saya ini. Saya tahu, mungkin di negara ini terlalu banyak masalah yang membuat panjenengan semua marah atau anyel namun ada secercah harapan dari dalam jiwa ini untuk turut mengurangi rasa anyel yang ada pada diri panjenengan. Paling tidak panjenengan tidak anyel karena tulisan ini. Kalaupun panjenengan terpaksa anyel, ya tetep saya haturkan ‘Maaf Yak!’
Selamat menempuh hidup baru untuk semuanyaaaaa……
#EdisiLebaran