Angin semilir menjalar berhembus menabrak jejak-jejak kaki sang jalma. Bumi terus mengikuti arus pendaran putarannya, sementara setiap milidetiknya cahaya terus berpendar mengaktifkan jutaan sel-sel kehidupan juga memahat rekaman masa dibebatuan.
Manusia, sebuah mahkluk yang terus berevolusi terus menerus, adaptif, reaktif dan koorperatif terhadap perubahan jaman. Lalu dimana gambar besar manusia sekarang?
Kita tahu peradaban besar kita adalah peradaban materialis, manusia mulai mengekpresikan kekuatannya dengan membangun berbagai ragam bangunan kecil menuju besar, hingga bangunan-bangunan raksasa, Gunung Padang misalnya, lalu abad selanjutnya adalah bangunan raksasa yang rumit penuh dengan ornamen seni,artistik juga bersinergis dengan energi alam.
Lalu kekuasaan manusia adalah wilayahnya, didukung dengan prajurit yang evolusinya dari perang panah ke meriam, dari AK-47 ke Bom Atom, atau mengacakan transmisi Handy Talky pasukan hingga kini Perang Digital yang semakin rumit.
Eskalasi perebutan wilayah tak hanya memperebutkan daerah namun juga lautan, kemudian koloni-koloni negeri yang kaya sumberdaya bahkan angkasa jadi perebutan siapa yang pertama kali menginjakkan kakinya disana, atau kini peradaban berlomba-lomba mencari tempat yang bisa ditinggali selain bumi.
Manusia benar-benar rakus dan benar-benar haus dalam menguasai segala sesuatu. Segalanya demi kejayaan, kemakmuran dan tentunya kelanggengan sebuah entitas kekuasaan.
Seorang Profesor dari Israel menuliskan bahwa Perang, Wabah dan Kelaparan sudah bukan menjadi ancaman serius bagi umat manusia di masa mendatang, jaman kini menuju sebuah tatanan baru dimana orang akan berburu Kebahagiaan, Kekekalan, dan Keillahian.
Tanda-tandanya sudah mulai kelihatan beberapa dekade terakhir semisal Cafe atau Restoran jaman dahulu 10 tahun yang lalu kalau bukan anak orang kaya tidak akan mungkin mau dan mampu makan di Restoran, karena dianggap sebagai sebuah pemborosan, jamuan di restoran dianggap sebagai sebuah standar sosial, atau sekarang dikenal dengan istilah kebutuhan sosialita.
Hari-hari ini orang tidak lagi memandang Cafe sebagai standar hedonisme namun jaman bergerak cepat membawa Cafe sebagai pemuas hasrat dari kepenatan seseorang akan hidup. Meskipun manusia masih menjadi sekrup paling kencang dari rantai kapitalisme, namun materi yang dia dapat akhirnya disalurkan ke hal-hal yang non-material, dalam hal ini makan di Cafe adalah sebuah Kebahagiaan. Mari kita amati orang-orang tidak lagi hedon tapi lebih ke mencari kebahagiaan dengan berbagai cara.
Semakin kesini kebahagiaan itu semakin simpel, semakin gampang atau bahkan semakin bodoh. Tak perlu nongkrong di Cafe, sekarang cuman duduk di trotoar memesan kopi 2 ribu per gelas bisa ngobrol semalaman dengan kawan adalah sebuah kebahagiaan, peristiwa lain adalah tombol refresh, love, suka, atau klik cerita di medsos mampu memberikan rasa nyaman berlebih, orang bisa diam berjam-jam dengan menatap smartphone. Semua bergerak mencari kebahagiaan.
Kesehatan dan Kekekalan adalah tujuan manusia di abad ini, manusia mulai “kembali ke alam” setelah tahu yang membunuh mereka bukanlah kelaparan atau wabah namun makanan berlebih dan segala sesuatu yang berlebih. Ada banyak orang kini bahkan rela menghabiskan uang demi apa yang disebut kesehatan.
Zaman benar-benar berubah, akhirnya kesehatan kebahagiaan timbul dari hari hal-hal sederhana, dari jalinan pertemanan yang biasa-biasa saja, tanpa banyak tendensi, banyak orang betah ngobrol berlama-lama di alun-alun kota, di ruang-ruang publik. Di belahan lain tersebutlah sebuah masyarakat yang bahkan mampu duduk berlama-lama, berjam-jam dan betah membagi cinta dan persaudaraan satu sama lain tanpa tendensi apapun.
Ini jaman sudah mulai bergerak, kalau jalinan ini semakin erat Negara mungkin sudah tidak diperlukan lagi karena mereka sudah mengamankan satu sama lain, tugas polisi dan aparat negara sudah semakin ringan karena minimnya perang dan kejahatan. Tidak ada lagi kubu-kubu fanatik pro A atau pro B yang ada hanya cinta, Cinta inilah dasar dari Masyarakat Pasca-Negara.
Namun juga perlu disadari ada arus besar yang datang, pasti akan ada arus besar yang berlalu, seperti hukum Kekekalan Energi semuanya menuju titik keseimbangannya masing-masing. Seperti Cak Nun menulis setahun yang lalu
“ Tetapi itu semua sudah berada di ujung jalan, dan kemudian beralih ke Zaman. Anak-anak saya harus menjadi bagian dari Fajar terbitnya matahari baru “ (EAN, 4 Juli 2017)
Dan akhirnya Wa’tasimu bihablillah, mungkin berbeda dengan pemikiran Profesor Israel itu tapi pointingnya sama Manusia bergerak menuju Keillahian, kekekalan. Maiyah adalah ikatan erat menuju illahi dan Maiyah adalah Masyarakat Pasca-Negara.
Klecowetan, 24 Juni 2018
Indra Agusta