Duduk-duduk di taman kota yang mulai rame menjelang senja, anak-anak berlarian mengitari bunga, ibuknya asik duduk-duduk sambil sesekali mengawasi anaknya. Anak-anak yang kelelahan berlari mendekat pada ibunya, meminta sebotol Air Mineral dan satu, dua teguk sedikit menyegarkan tenggorokan anak lalu berlali kembali.
Air, siapa yang tak butuh sumber daya alam satu ini, yang dipelajaran SD masuk sebagai SDA yang terbarukan, memang karena pohon akan merawat resapan hujan, namun setelah dewasa saya juga akan mempertanyakan kembali siapa yang akan menanam pohon? Ya kalaupun ada lahan, bagaimana jika perkotaan? Tentu tak bisa kita bandingkan dengan banyaknya pohon di seputaran Rumah Madu Klanceng-nya mas Imam.
Di kebutuhan sehari-hari, di perjalanan, kantor, kolong jembatan, semua sangat terkait dengan air, bahkan di pendidikan SAR, akan dikenalkan dalam stage survival manusia takkan bisa bertahan lebih dari 7 hari tanpa meminum air, mengesankan bukan sangat tergantungnya manusia pada SDA satu ini, maka tak ayal dalam skema perang dunia abad post-apocalipse , orang tidak akan lagi berebut wilayah (colony) seperti yang terjadi di era penjajahan Belanda, orang juga tidak akan berebut Big Data seperti yang akan sedang terjadi di 50 tahun ke depan, pasca-energi manusia akan berebut hal-hal yang krusial buat hidupnya Air dan Makanan.
Kesadaran untuk terus berproses memang menjadi menu wajib setiap perhelatan maiyah, namun Aplikasinya soal air saja ternyata tidak banyak yang tau dimana Mata Air.
Rentang jarak dari kota ke hulu air, atau air berasal tampak semakin jauh. Anak-anak desa saya bahkan tidak ada lagi yang paham betul berapa sendang yang ada di sekeliling desanya, orang kota apalagi mereka mulai diantarkan distributor Air Bersih entah dari jerigen atau galon berlabel benar-benar dipisahkan hanya untuk belajar kenal dengan Mata Air. Semoga 100 tahun mendatang tidak ada yang guru yang ketika bertanya darimana sumber air bersih? Dari minimarket pak!, misalnya, tentu tidak itu imajinasi dan ketakutan saya.
Jarak tempuh dan Waktu akan ada kemungkinan memisahkan peradaban mengenali sumber segala sesuatunya. Entah air, udara, Tuhan, dst.
Jaman saya kecil dulu orang masih mengambil air di sendang, sendang yang sama sekarang jarang dikunjungi orang karena stigma mistik dan klenik, belum lagi cerita peri penunggu sendang tersebut yang semakin menjauhkan anak sekarang dari pasemon orang tua. Memang waktu dan jarak mampu mengubah paradigma jaman, bagaimana justru dari klenik dan mistik itu takkan ada orang yang berani sembarangan menebang pohon besar atau apa, orang akan hati-hati mengambil air disitu mungkin orang dahulu akan uluk salam kepada penunggu pohon seraya mengucapan terima kasih karena diberi air bersih.
Sekarang bagaimana mau mencoba proses, wong dikenalkan juga tidak. Pendidikan umum hanya berhenti pada dogma tertulis dibuku pelajaran bahwa air bersumber dari akar pohon, namun siapa yang melakukan pengenalan didalamnya?
Hal yang paling masuk akal adalah mengajak anak-anak kecil bermain ke umbul yang beberapa sudah menjelma menjadi tempat wisata, namun saya juga hampir tak menemukan anak-anak diajari mengenali umbul sebagai sumber air, terlepas memang esensi disitu adalah bermain air.
Sebagai pelaku pendakian gunung yang lumayan sudah 13-14 tahun menjalani rutinitas menjelajah hutan, tentu saya tahu betul dimana letak sumber air alami di Gunung Lawu. Sendang Macan, misalnya tak banyak orang yang pernah naik Gunung Lawu mengetahui keberadaan sendang tersebut, karena memang lokasinya yang sangat jauh dari jalur resmi, butuh berjalan menuruni lereng sampai menemukan air mengalir deras disela akar-akar yang pepat. Belum lagi sumber air yang sampai sekarang dijadikan tampungan air diseluruh wilayah Jenawi dan Ngargoyoso tempatnya mas Wahyudi itu lebih parah lagi jalan menujunya.
Sendang Macan yang 2 tahun kemudian harus merambah hutan lagi untuk menemukannya, demikian pula tempat-tempat sakral lain sekelas Goa bertapanya pak Sukarno sebelum memerdekakan negara. Air akhirnya memang sangat sakral, butuh perjuangan dan proses mendalam untuk menuju hulunya, dan rasanya air segar dari sumber itu memang sama sekali beda dengan Air yang mengalir maupun sudah dikemas. Ada sakral-sakralnya .
Lebih lanjut soal Mata Air, memang ada benarnya jika pak Munir dalam sebuah pertemuan bilang mata air akan selalu becek disekitarnya, memang benar meski dalam kadar yang berbeda. Mata air seperti sebuah belik di daerah Tangen, Sragen utara memang benar-benar becek sekelilingnya saking banyaknya manusia yang mengambil airnya.
Namun yang diambil dari Mata Air murni adalah tidak hanya jejak manusia disitu, namun ada jejak lainnya sebutlah babi hutan, kijang, atau sisa kotoran burung yang mengindikasikan burung tersebut juga ikut minum disitu.
Disinilah sebenarnya presisi Maiyah sebagai mata air yang diminum banyak orang, tak peduli bentuknya, karakternya, wataknya namun harus selaras dijaga harmoninya, supaya tertib tidak saling sikut samsa lain, tetap menjaga kerukunan karena kita bersumber pada Mata Air yang sama.
Yang harus difikirkan lebih lanjut adalah bagaimana mengelola air, seberapa kita yang akan berfikir untuk terus menghijaukan hutan, menanam kembali pohon-pohon supaya alamnya tetap lestari. Dan Mata Air Maiyah akan menjadi bagian dari sejarah perubahan dunia. Namun juga jangan sampai seperti anak-anak tadi yang kenal hulu air dari kulkas minimarket, kenalkan mereka pada Sumber Mata Airnya terus menerus hingga menjadi sebuah cerita yang kekal, seperti sungai Yordan yang sejak 2000 tahun yang lalu Yesus dimandikan disitu sebelum mengawali perjalanan spiritualnya, dan Sungai Yordan sekarang tak sebesar dahulu namun orang tetap mengenang Yesus dan mandi disitu sambil merenung, menikmati Mata Air batin.
Seperti kata om Iwan Fals di konser Bumi beberapa tahun yang lalu :
“Mari wariskan Mata Air, bukan Airmata ke anak cucu, karena dibalik bening mata air takkan pernah ada air mata”
Mbah Nun dan Maiyah adalah mata air kita semua, mari merenung. Mari menyusuri lebatnya rimba raya dan semesta mbah Nun, temukan cipratannya sembari duduk di pojokan jaman.
Kleco Wetan, 27 Juli 2018
Indra Agusta