Jalma menjadi terlalu penat oleh berbagai kata-kata, jalma melihat Tuhan menaburkan triliunan jemparing ide dan goresan makna keindahan dibalik digelarnya alam semesta, dibalik untaian-untaian embun yang turun dipagi hari, atau semilir angin di padang savana yang membiarkan para pencinta-Nya mengikuti tarian-tarian bintang, dan rembulan tahun baru akan segera berlalu.
Setelah merenungi Suro jalma diantarkan menyambangi beberapa bau tanah di parahyangan, mengamati riuh rendahnya ciptaan selagi mempertahankan agar wakule ora ngglempang, menelisik kembali jejak-jejak masa lalu, kondisi-kondisi ideal dalam semakin padatnya globalisasi. Ada yang membuat pipi merah memang ketika berpikir realitas harus dibatasi oleh keadaan-keadaan yang mampu ditangkap mata, tanpa melibatkan penuh kehadiran Tuhan sebagai penentu dan pencabut segala keadaan. Manusia-manusia membius dirinya sendiri, menyuntikkan kepalsuan dalam nadir, menyumbatkan dendam, potongan kebisuan serta topeng kebusukan-kebusukan dalam berbagai sesi.
Penat memang melihat hiruk pikuk kota yang berjalan seiring apa yang ditanamkan oleh mereka yang merasa sudah berhasil menguasai dunia dengan “tatanan dunia baru” nya. Segala pencapaian dan kemajuan adalah citra dan ekstraksi-ekstraksi demi pemenuhan kebutuhan perut, perut diri sendiri, perut perusahaan, perut instansi, perut negara yang entah apakah hidup semesta hanya soal perut belaka.
Kembali Sasi Suro menampar saya untuk menghilang dari peredaran, menjalani segalanya seperti layaknya manusia pada umumnya sembari mengasah batin untuk menyepi menyendiri dari berbagai riuhnya semesta.
Di warung-warung, di emperan stasiun, di jembatan penyebrangan, di saung-saung banyak sekali terpendar kata-kata dimana jalma terbatas untuk mengerti sekalipun mampu mendengar, disinilah letak-letak batas jalma sebagai manusia yang perlu merengkuh lagi batas yang lain, atau justru menjadi kotemplasi atas keramaian jagad, mencoba menukik jauh kedalam ruang kesadaran yang tanpa batas asumsi-asumi.
Gemericik Air Sungai yang sangat bening di tataran Sunda Galuh mendengungkan kembali sayup-sayup bahwa dalam rahim semesta semua harus berkonfigurasi, menemukan keindahan-keindahannya hamemayu hayuning bawono presisi Jawa yang terus menerus harus memperindah jagad yang sudah sangat indah. Minimal mengurangi akibat-akibat langsung berbenturnya dimensi ekstraksi manusia lewat pembangunan dan terus menjaga kelestariannya sebagai bekal kemaslahatan anak cucu di masa depan.
Jalma lalu menghabiskan malam di Saung Kang Deni seorang sesepuh di Lingkar Daulat Malaya, Maiyah Priangan Timur. Kopi pahit masih berlanjut dengan kakang-kakang dan teteh-teteh pemberi warna ceria dimasa depan Galuh. Kata-kata akhirnya menunjukkan esensinya dengan mimik serius, ketawa atau kelakar-kelakar bareng. Benar-benar menikmati keterbatasan sebagai sarana bertapa dibulan suro.
Sementara diluar sana banyak sekali drama-drama sedang berlangsung, panggung-panggung terus dipenuhi mic-mic sebagai pemuas pendengar dengan janji-janji, sebagai ajang berburu kekuasaan, bahkan sebagai kelirnya Sengkuni untuk mementaskan lakon tahun depan. Kata-kata kini terjebak pada Industri Kekuasaan, kalimat kini menjadi haus akan pencapaian sementara hasil yang diharapkan tak ayal hanya menjadi jargon-jargon seperti tembok usang yang dilabur putih, luarnya putih dalamnya batu-batanya rapuh.
Malam menjadi begitu larut, perbincangan kembali menjadi menarik ketika Kang Deni harus bersinggungan dengan masalah-masalah yang sebenarnya bukan ekspertasi dia secara keilmuan, namun memang demikian Indonesia, tukang bubur langganan saya nun jauh di Perdikan Sukowati juga punya analisis-analisis cerdas menyoal kebangsaan yang temaramnya kian padam.
Akhirnya ngelmu kasunyatan yang dipakai, tak perlu bertele-tele mengutarakan konsepsi, teori menyoal ODHA (orang dengan HIV AIDS) cukup datangkan disebuah seminar orang yang terjangkit HIV. Biarkan anak ini yang tak punya gelar akademis – seperti yang distandarkan dunia modern menceritakan kisahnya sebagai pengingat dan pelajaran semua orang. Kalau memakai bahasanya Mbah Nun kalau mau tau bagaimana rasa pedas ya langsung saja kasih cabai ke mulut seseorang, disuruh mengunyah dan di situlah letak otentitas rasa pedas yang bersentuhan langsung dengan subjek, tanpa jarak konsepsi-konsepsi. Demikian pula hendaknya manusia mengenali Tuhannya, semesta atau manusia lainnya bukan hanya “jarene” (katanya) tapi melakukan pengenalan-pengenalan secara objektif inilah manusia akan menuju titik pencapaian bernama Pengertian.
Lebih lanjut pengenalan-pengenalan akan objektivitas ini ternyata juga bukan manusia saja, seperti yang sudah saya tulis di tulisan-tulisan sebelumnya menyoal Revolusi Industri 4.0 atau yang sekilas disitir simbah sebagai Kiai Hologram. Adalah progresi kemajuan teknologi mengumpulkan berbagai data dari berbagai perangkat sebagai pengenalan-pengenalan akan realitas, yang kemudian selanjutnya data-data tersebut dikumpulkan sebagai penentu benar tidaknya sebuah kaidah, nyata tidaknya sebuah kenyataan.
Seperti dalam aplikasi peta online kita mulai mempercayakan macet tidaknya jalanan karena melihat traffic di aplikasi tersebut, memang data-data tersebut benar adanya diambil dari perangkat-perangkat kita dengan operasional sistem yang “punya mereka” lalu data dikumpulkan dalam sebuah kesimpulan. Kita lambat laun mempercayainya, kita tak lagi bertanya pada pengendara di sebelah macet karena apa, namun karena di aplikasi sudah terlihat macet kita buru-buru mengambil jalan pintas, yang entah benar atau tidak dilapangan. Dan masih banyak lainnya yang menuju otomatisasi sementara kita dijauhkan dari hubungan real sesama manusia.
Teknologi melipat jarak, sekaligus menjauhkan jarak, kita akhirnya berdekat-dekatan hanya karena kepentingan dan berjauh-jauhan karena bersebrangan, lalu ruang-ruang kebersamaan dan silaturahmi lambat laun pudar, atau kebersamaan hanyalah dalih yang ditunggangi obsesi.
Sebagai manusia yang terus menggali dirinya, tentu sebisa-bisanya jalma mengusahakannya sekalipun sedikit untuk bertemu semestinya (seperti judul lagu mas Gema), ya bercengkrama seadanya tanpa ada tendensi, tanpa ribet soal koneksi dan listrik karena disitulah muara air kehidupan, jalma menapakinya lewat berjalan-jalan dihutan atau menghabiskan kopi diwilayah yang tak bersinyal supaya lengkaplah sudah kebersamaan.
Suronan kini hampir berlalu, namun bagi manusianya diselimuti kelabu teknologi memang tak bisa atau belum bisa mengejar Ajal, sementara alam bertindak semau-maunya menemukan keseimbangannya, menemukan titik episentrum hubungannya dengan berbagai partikel dan ciptaan lainnya termasuk manusia. Dalam kacamata manusia bisa kita sebut bencana karena ada ribuan nyawa tiba-tiba “berpulang” dan kemudian diikuti oleh barisan mereka yang punya waktu luang, akses dan ketrampilan untuk membantu mereka di tanah bencana, nyaris tanpa butuh bantuan dari negara.
Demikianlah gempa-gempa terus menyulut keseimbangan malam ketika sebagian tulisan ini ditulis di Laut Jawa juga sedang digoncang hebat, paginya 3 nyawa “berpulang” sedih memang rasanya kehilangan mereka yang secara manusia belum tentu bersalah berat, namun Tuhan memang semau-mau Mu, jalma hanya berserah, kematian demi kematian siapa tau adalah jalan kesempurnaan, jalan kaswargan dan peringatan buat jalma yang masih menapaki hidup dalam temaram juga ketidak jelasan dalam berbagai hal.
Semburatnya mentari memang terus dirindukan, beribu sujud dan maaf terantuk pada Sang Khalik. Semakin banyak ketidak adilan, semakin banyak penganiayaan, semakin banyak kesewenang-wenangan, semakin banyak degradasi berbanding terbalik dari apa yang dicita-citakan. Semoga Gusti menyegerakan apa yang harus disegerakan, dan menghancurkan apa yang harus dan segera dihancurkan.
Karena Engkau adalah Pemenang atas segala Ajal!
Para-Hyangan, 12 Oktober 2018
Indra Agusta