Menu Close

Prasmanan di Maiyahan

Saat dalam perjalanan, kemudian perut terasa lapar, maka kita bergegas untuk mencari warung makan atau restoran terdekat. Setelah ketemu, langsung saja kita memesan menu makanan dan minuman. Nah, yang paling enak adalah kalau warung atau resto tersebut menjajakan makanan-nya ala prasmanan. Yakni pengunjung dipersilakan untuk mengambil sendiri menu makanan yang diinginkan. Mau ambil nasi buanyak monggo, mau sedeng silakan, ambil sedikit juga ndak masalah. Pengunjung pun bebas memilih jenis lauk dan sayur sesuai selera lidah masing-masing. Di warung makan prasmanan, mulut dan perut kita serasa dimanjakan. Tak ayal sebagian besar dari kita agaknya memang lebih suka dan nyaman untuk makan di warung atau resto dengan model prasmanan-an. Termasuk saya. (Haha)

**

Bicara prasmanan, saya teringat dengan konsep Sinau Bareng atau Maiyahan. Satu waktu Mbah Nun pernah berujar ;

“Aku iki ibaraté sego (nasi). Nah KiaiKanjeng kuwi lawuhé. Mangan sing enak kuwi kan onok segane, yo onok lawuhe, betul ta gak?”

Saya dan teman-teman tentu sepakat dengan apa yang diutarakan Simbah. Bahwa, makan nasi tanpa lauk itu tidak enak. Sebaliknya, makan lauk saja tanpa nasi juga tidak nyampleng. Aneh. Hambar. Ada yang janggal di lidah. Makan nasi itu lezatnya ya kalau ada lauknya. Entah sama ayam goreng, kering tempe, telur ceplok, perkedel, jengkol, sayur asem, sambal korek, krupuk, dll. Tanpa mengurangi rasa hormat, idealnya makan itu ya ada nasi dan lauknya.

**

Lalu apa hubungan atau korelasi antara prasmanan dengan Maiyahan? Begini, berangkat dari apa yang disampaikan Mbah Nun di atas, maka setiap orang atau jamaah yang hadir di acara Sinau Bareng CNKK sejatinya mereka sedang menikmati hidangan prasmanan. Artinya, jamaah disuguhi pilihan ‘menu’ makanan. Dan dipersilakan untuk ambil sendiri. Ada ‘nasi’ dan ‘lauk-pauk’. ‘Nasi’ disini adalah segala hal yang ‘mengenyangkan’ dan ‘menyehatkan’. Mengenyangkan rohani, menyehatkan pikiran. Bisa berupa ilmu, wawasan, pencerahan, pemahaman baru, keluasan berfikir, solusi-solusi hidup, hikmah atas suatu peristiwa, yang diwedarkan oleh Mbah Nun.

Dan sebagai ‘lauk’nya yakni alunan musik yang disajikan oleh Gamelan KiaiKanjeng. Makan ‘nasi’ dengan ‘lauk’ tentu sangat lezat. ‘Lauk’nya pun beragam. Ada shalawatan, jazz, dangdut, keroncong, campursari, pop, rock, rapp, dan masih banyak lagi. Jadi yang datang ke Sinau Bareng itu bisa mendapatkan ‘nasi’ dari Mbah Nun, serta ‘lauk’ dari KiaiKanjeng. Kenyang dan senang.

Karena konsepnya prasmanan, maka terserah kita mau mengambil ‘nasi’ seberapa dan memilih ‘lauk’ apa. Boleh ‘nasi’nya sedikit, ‘lauk’nya banyak. Atau juga sebaliknya. Itu sangat tergantung dengan ‘wadah’ yang kita bawa saat hadir di Sinau Bareng. Kalau kita bawa piring, ya sepiring ‘nasi’ dan ‘lauk’ yang akan kita dapatkan. Kalau kita bawa mangkok, ya semangkok ‘nasi’ dan ‘lauk’ yang kita peroleh. Kalau bawanya nampan, ya senampan ‘nasi’ dan ‘lauk’ yang akan kita bawa pulang. Dan seterusnya.

**

Teman-teman, begitu nikmatnya ber-Maiyahan. Tidak bayar, dapat ‘makan’ prasmanan. Setiap orang yang datang dipersilakan ambil sendiri ‘nasi’ dan ‘lauk’nya sesuai selera. Semoga hal yang sama juga kita temukan di semua titik simpul dan lingkar Maiyah yang ada.

Salam Melingkar

Gemolong, 17 Oktober 2018

Muhammadona Setiawan

Tulisan terkait