Sebelum Oktober usai, ada satu judul tulisan yang hendak saya bagikan kepada teman-teman. Mohon maaf apabila tulisan ini terkesan lambat menyajikannya. Tulisan ini lahir setelah beberapa waktu lalu saya menyaksikan video rekaman acara Milad Gus Mus ke-74 yang digelar Agustus silam. Karena ada poin-poin penting yang tersirat, maka sebisa saya kepingan poin itu saya catat. Semoga bermanfaat.
**
Hari Sabtu (11/8/2018), bertempat di beranda Suara Merdeka, kota Semarang, digelarlah acara bertajuk persembahan cinta Mata Air Gus Mus. Acara tersebut didedikasikan untuk mensyukuri usia Gus Mus ke-74 tahun. Menjelang puncak acara, pakde Prie GS mempersilakan Mbah Nun untuk naik ke atas panggung. Suasana khusyuk seketika.
Dengan suara parau khas Mbah Nun, beliau menyapa mesra seluruh hadirin, wabil khusus teruntuk abah Kiai A. Musthofa Bisri yang sedang mengeti hari lahirnya. Pada kesempatan itu pula, Mbah Nun melayangkan pujian, serta doa harapan terbaik bagi Gus Mus dan Indonesia.
“Gus Mus adalah orang besar. NU itu peci yang sesak di kepala Gus Mus. Gus Mus juga lebih besar dari Indonesia. Maka Gus Mus cukup satu saja. Dan Gus Mus itu jauh lebih besar daripada yang tampak secara kasat mata.” – ungkap Mbah Nun.
Selain itu, Mbah Nun juga meminta maaf kepada seluruh jamaah, apabila selama beliau berdiri di panggung ada hal yang kurang berkenan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
“Saya tidak punya kesadaran untuk di tonton. Jadi di sini saya tidak akan melakukan apa-apa, selain yang saya nikmati dan disenangi oleh Allah.” – terang Mbah Nun.
Sebelumnya, acara bertajuk Mata Air Gus Mus tersebut telah di isi oleh sederet penampilan para tokoh, penyair, seniman, dan orang-orang yang mencintai Gus Mus. Diantaranya ada Najwa Shihab, Zawawi Imron, Sitok Srengenge, Endah Laras, Leak, Joko Pinurbo, dll. Kesemuanya turut membacakan puisi sebagai kado persembahan cinta untuk Gus Mus. Dan selaku sesepuh, Mbah Nun dimintai tolong oleh panitia untuk ‘ngegongi’ acara.
**
Disinilah yang menarik. Yang perlu dicatat dan diingat. Saya atau teman-teman sekalian tentu menduga dan berharap Mbah Nun akan membacakan puisi-puisi yang telah ditulisnya untuk dipersembahkan kepada Gus Mus. Namun faktanya tidak. Dua puisi berjudul Gus Mus dan Hati Gerimis urung dibacakan.
“Setelah mengikuti acara ini sejak awal, saya merasa puisi ini tidak tepat untuk dibacakan sekarang. Mungkin nanti akan saya kirim private kepada Gus Mus. Ada yang lebih pas, lebih hebat, lebih indah untuk di dedikasikan kepada Gus Mus.” – jelas Mbah Nun, seraya melantunkan surat An Nur ayat 35.
Audzubillahi minassyaitonir rojiim….
“Allohu nuurus-samaawaati wal-ardh, masalu nuurihii kamisykaatin fiihaa mishbaah, al-mishbaahu fii zujaajah, az-zujaajatu ka`annahaa kaukabun durriyyuy yuuqodu min syajarotim mubaarokatin zaituunatil laa syarqiyyatiw wa laa ghorbiyyatiy yakaadu zaituhaa yudhiii`u walau lam tamsas-hu naar, nuurun ‘alaa nuur, yahdillaahu linuurihii may yasyaaa`, wa yadhribullohul-amsaala lin-naas, wallohu bikulli syai`in ‘aliim.
Merinding. Menggetarkan. Setiap tarikan nafas Mbah Nun bernyawa. Bergema. Ayat Al qur’an tersebut merdu mengalun. Syahdu mengayun. Mengelus-elus hati, dan bulir kristal bening pun membasahi pipi.
**
Di balik pembacaan surat An Nur 35 oleh Mbah Nun, termuat beberapa pesan tersirat yang dapat kita tangkap.
Pertama, Mbah Nun selalu dan selalu mampu ‘membaca’ situasi. Sikapnya sering mengejutkan. Tindakannya spontan. Dan keputusannya kerap tak terduga. Alias tiba-tiba. Sama sekali tak terpikirkan sebelumnya. Inilah yang menjadi salah satu tanda ‘kewalian’ beliau. Simbah sangat peka dan mafhum apa yang paling baik untuk dilakukan, dikemukakan, demi kemaslahatan bersama.
Mengutip pernyataan Syech Nursamad Kamba, bahwa Emha Ainun Nadjib adalah seorang hamba kinasihnya Allah. Salah satu indikasinya, Mbah Nun diberi semacam ‘keistimewaan’ oleh Allah untuk dapat melihat, membaca (Iqra) ayat-ayat Allah yang tertulis di alam semesta (ayat kauniyah). Sehingga, Mbah Nun dengan kebeningan hatinya, kejernihan akalnya, ketinggian imannya, mampu membaca (memahami) ayat-ayat Tuhan yang tergurat di lapisan langit, tetesan air, sapuan angin, batang pohon, daun, bebatuan, benda-benda atau pada makhluk apapun.
Tatkala Mbah Nun memutuskan tidak membaca puisinya, dan memilih menderas surat An Nur 35, hal itu mungkin dikarenakan Simbah telah ‘membaca’ ayat-ayat kauniyah yang berasal dari Allah. Ayat-ayat kauniyah tersebut bisa berupa perintah, informasi, petunjuk, anjuran ataupun larangan.
Apa yang telah dibaca oleh Simbah, kemudian di terjemahkan kepada kita. Dan kita dituntut untuk peka menangkap, mengelaborasi, dan mencerna maksudnya. Andai Tuhan ‘ngomong’ pakai bahasa kita (ini murni interpretasi saya sendiri), mungkin seperti ini kalimatnya.
“Nun, sejak awal acara, tak ada satu pun yang mau membaca firman-Ku. Apakah AKU tidak penting? Padahal yang sedang ulang tahun itu kekasih-Ku (Gus Mus). Maka yang paling pantas dan pas untuk memberinya ‘kado’ adalah AKU. Bukan kamu. Bukan kalian, atau siapa pun. Maka dari itu Nun, jadilah kau perantara cahaya cinta dari-Ku untuk kekasih-Ku tercinta (Gus Mus) beserta orang-orang yang mencintainya.” – (kata Allah)
Kewaskitaan, keseimbangan berfikir, dan kecermatan dalam bersikap, kian menegaskan Mbah Nun, bahwa beliau termasuk golongan hamba pilihan, sinisihan Tuhan.
**
Yang kedua, batalnya Mbah Nun membaca puisi adalah wujud sikap kerendah hatian beliau di hadapan Gusti Allah. Puisi (Gus Mus & Hati Gerimis) yang dibuatnya seakan tak ada artinya bila dibanding dengan puisi karya-Nya (baca. Surat An Nur 35). Maka dengan segala kerendahan dan kerelaan hati, puisinya sendiri disimpan, dan ‘Puisi Tuhan’ yang dibacakan.
Ketiga, sikap dan keputusan yang di ambil Mbah Nun tersebut adalah alarm buat kita (self reminder). Sehanyut-hanyutnya kita dalam kesenangan, gelak tawa, hiburan, dan kegembiraan macam apapun, jangan sampai melenakan. Membuat diri dan hati kita menjauh dari Allah. Baiknya kita melakukan sesuatu yang menyenangkan, sekaligus disenangi Allah. Pasti berkah dan aman. Itu kuncinya. Maka dibacakan-nya ayat suci Al quran An Nur 35, Mbah Nun mungkin bermaksud ‘menjewer’ kita agar tak terbius kesenangan dunia, dan kembali eling pada keagungan Sang Pencipta.
**
Teman-teman sekalian, dibanyak forum maiyahan Mbah Nun tak bosen-bosennya mengingatkan kita (termasuk beliau sendiri) bahwa yang paling penting dan utama adalah Allah. Yang pantas dibesar-besarkan hanya Allah. Yang patut di bangga-banggakan cukup Allah. Selain-Nya jangan. Mbah Nun tidak mau, apabila para jamaah dan anak-cucu justru mengultuskan dirinya, atau siapa saja yang masih berlabel manusia. Simbah juga tak pernah lelah membawa kesadaran nalar dan nurani kita, untuk menjadikan Allah-Rasulullah andalan satu-satunya dalam menempuh perjalanan hidup di dunia.
“Aku dudu sopo-sopo. Aku iki ming Mbahmu. Aku ra iso nulung kowe. Kowe yo ra iso nulung aku. Kita sama-sama bermakmum kepada Rasulullah, menyembah Allah Ta’alla.” – pesan Simbah kepada seluruh anak-cucu.
Itulah kiranya kenapa, pada acara milad Gus Mus ke-74 kemarin, Mbah Nun memilih membaca firman Tuhan dilanjutkan sholawatan. Kenapa? Karena yang primer adalah Allah dan Rasulullah.
Wallahu’alam
Muhammadona Setiawan