Satu hal di dunia ini yang sangat jarang saya lakukan adalah mengapresiasi dengan ‘pantas’ hasil jerih payah para kreator, pengkarya atau seniman. Contoh kecil adalah menonton konser musik berbayar. Terhitung hanya empat sampai lima konser musik yang saya sambangi dengan jalan yang benar. Konser Padi di Solo, Peterpan bareng Project Pop di Solo, Gigi di Jogjakarta, Saint Loco di Pati, mana lagi ya? Duh! Selebihnya lupa.
Rasanya masih berat untuk merogoh kocek sepuluh sampai lima puluh ribu untuk menyaksikan penampilan langsung para musisi. Lebih memilih pertunjukan yang free entry bermodal KTP 18+. Entah, penyakit apa gerangan ini.
Hingga satu hari, mungkin Tuhan sengaja menyadarkan saya, bahwa yang namanya menghargai karya orang lain dengan pantas sesuai tingkat kewajaran masing-masing hukumnya adalah fardu ‘ain. Tuhan memang tidak pernah kehabisan cara. OlehNya saya dijadikan penulis dan harus menandatangani kontrak dengan penerbit besar. Sejak saat itu saya pelan-pelan mulai tahu bagaimana rasanya karya kita yang kadang oleh kita sendiri kita anggap remeh, ternyata boleh dan layak mendapatkan apresiasi dari orang lain.
Dan kalau kita memang sudah merasakan manfaat dari penghargaan orang lain atas karya kita, sudah sepatutnya kita juga punya daya untuk menghargai karya orang lain. Dengan tekad membara saya seolah berjanji terhadap diri saya sendiri. Saya harus mau menonton konser musik berbayar! Dengan catatan, nek nduwe duit turah!
Karena duit saya jarang turah, hahaha, saya harus efektif dan efisien memilah dan memilih konser musik yang seperti apa yang harus saya tonton. Nek kudu blayangan tekan GBK Jakarta kono terus mencolot-mencolot nonton band seko Amerika, kayaknya nggak dulu. Paling nyari yang deket-deket. Solo saja. Dan sekali lagi, menonton konser musik yang sesuai dengan kebutuhan, tidak melulu menuruti keinginan.
Bagi saya, penyesuaian harus dilakukan sambil menimbang beberapa hal. Tak hanya harga tiket, tapi juga tempat pementasan. Tiwas tuku tiket larang tibakne nontonmu seko jarak setengah kilo. Kalau menurut saya itu eman-eman. Konser musik yang intim, yang fokus, yang dengan sangat cepat menyita gairah berpikir. Karena, say to sorry ki, konser musik itu tidak sekedar berbicara tentang hiburan. Hiburan hanya sebagian kecil dari efek samping yang ada. Lebih dari itu. Ora percoyo?
Konser musik adalah sebuah upaya transfer hidayah dari Tuhan. Angel to? Seorang musisi bisa menulis lagu. Siapa yang membisakan? Siapa yang menyuruh alunan melodi itu memenuhi syaraf-syaraf di ubun-ubun kepala? Siapa yang mengirimkan sususan kata ke dalam sistem pita suaranya?
Maka dari itu wahai kisanak sekalian, berdoalah sebelum berangkat ke sebuah konser musik. Supaya sepulangnya dari sana anda juga kecipratan hidayah itu. Terinspirasi, tergerak, terdorong, untuk menjalani kehidupan yang lebih pantas dan lebih baik.
Saya memilih konser musik yang tidak ingar bingar. Tidak banyak orang menonton. Syukur jumlah tiketnya terbatas. Syukur lagi ojo larang-larang tikete. Soale anakku lagi wae lair.
Salah satu musisi yang ingin saya tonton secara langsung adalah Iksan Skuter. Gegara sekitar setahun yang lalu saya melihat salah satu postingan di akun instagram-nya Isya vokalis band Soloensis yang ada foto bareng Iksan Skuter. Tertariklah untuk mengetahui karya-karya Iksan Skuter lebih jauh. Saya ikuti akun instagramnya, saya cari karya-karya beliau di Youtube, dan kayaknya saya ‘klik’ dengan beliau. Karena saya adalah keturunan salah satu dukun tersohor dari abad ke-4 sebelum Masehi, saya yakin suatu saat bakal ketemu, bertatap muka, ngobrol langsung. dengan Iksan Skuter. Entah kapan.
Kemudian hari itu tiba. Iksan Skuter akan mengadakan Pertunjukan Rahasia di kota Solo tertanggal 1 Oktober 2018 malam. Karena rahasia, tempatnya juga dirahasiakan. Saya bertekad, saya harus nonton. Namun sampai tanggal 1 Oktober siang saya belum juga mengantongi tiketnya. Ingin pesan jauh-jauh hari tetapi lupa. Karena pikirannya dipenuhi rasa bungah yang memuncah karena itu tadi, saya baru saja menjadi seorang bapak.
Sudah pasrah, karena menghubungi nomer panitia penyelenggara katanya tiket sudah ludes. Bahkan setelah kuotanya ditambah. Ya, piye nek pancen ora jodo ya ora bakal ketemu. Saya buang jauh hasrat untuk menonton konser Iksan Skuter. Sebenarnya saya sudah tahu lokasinya. Karena apa? Karena saya adalah keturunan salah satu dukun tersohor dari abad ke-4 sebelum Masehi. Yak pinter!
Saya tahu lokasinya setelah melihat postingan akun instagram Isya Soloensis. Saya merasa tidak asing dengan lokasi tersebut. Saya sering kesitu dong! Itu kan salah satu sudut Rumah Maiyah Solo. Dengan sangat percaya diri pikiran saya berkata,
“Alah Dik ndadak bingung golek tiket ngopo? Kowe angger rono lak wes! Mosok do ra kenal kowe!”
Walah, bener juga. Sangat mungkin sekali saya datang tanpa harus membeli tiket. Sangat mungkin sekali karena pasti banyak yang kenal dengan saya. Sudah jelas saya bisa nonton.
Tetapi gaes, segera saya bakar pikiran itu. Bagi saya itu seperti penyakit. Itu tipikal benalu gaes. Saya mencoba menjauhkan diri dari sifat yang semacam itu. Mending ora usah nonton. Tur aku ya sekti lho. Aku iso nonton konser tanpo kudu teko. Carane piye? Sok ngenteni ning Youtube. Ra ketang sak lagu mesti ono angger gelem sabar sithik.
Jalan terakhir adalah saya menghubungi mas Umar. Saya nyatakan kalau memang ada satu tiket sisa saya mau. Tetapi sampai siang akan berlalu tidak saya dapatkan balasan. Karena jelas, beliau bukan bagian kepengurusan tiket. Ya sudah kalau memang tidak jodoh menonton. Manusia bisa apa sih?
Ketika pikiran tentang konser Iksan Skuter bener-bener sirna ilang kertaning bumi, tetiba saja ada whassapp masuk dari panitia (belakangan saya tahu ternyata itu nomer mas Agus Tepe). Isinya menginformasikan bahwa masih tersedia tiket untuk pertunjukan musik Iksan Skuter di Rumah Maiyah.
Whoooo… tiwas aku merencanakan bobok gasik. Tanpa berlama-lama saya respon segera tentu dengan beribu permintaan maaf dari saya yang terhitung sangat tidak sopan karena menjadi pembeli tiket di saat-saat terakhir. Yap! Saya pasti beli tiketnya! Urusan beras belakangan. Lagian dapur masih bisa ngebul dengan istiqomah. Segera saya kabari istri saya yang berada jauh di Kebumen sana, bahwa saya akan berjumpa seorang musisi yang lagu-lagunya sering kami dengarkan berdua di kala sarapan.
Selepas Isya’, motor kemudian melaju ke Rumah Maiyah Solo. Tempat diadakannya rutinan Majelis Maiyah Suluk Surakartan. Tempat saya belajar tentang banyak hal. Dan mungkin untuk pertama kalinya ada konser musik berbayar di sana. Rumah Maiyah Solo sedang membuka kemungkinan demi kemungkinan untuk meruang. Salah satunya menjadi ruang bagi insan-insan kreatif melalui pertunjukan musik. Saya sebenarnya tidak kaget. Karena saya sudah punya bayangan seperti itu ketika pertama kali menginjakkan kaki di sana. Saya kan sakti ya? Siapa saya? Yak benar! Keturunan dukun tersohor dari abad ke-4 sebelum Masehi.
Ketika tiba di sana, saya disalami seorang laki-laki yang tidak begitu saya kenal,
“Mas, Kidungan ya?”
“Eh, iya? Oalah, gitarisnya Java Paragraph to? Jadi panitia? Sudah sering kesini?”
Ealah. Tanggal 30 September 2018 atau sehari sebelum pertunjukan Iksan Skuter, kami berbagi panggung di pentas Balada-Balada di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko kompleks Toko Buku Gramedia. Oalah. Ngene iki lho. Hal-hal kecil semacam ini yang membuat saya percaya kalau memang harus ketemu pasti ketemu kok.
Ternyata sebagian para penggiat Maiyah Suluk Surakartan juga sudah hadir. Terutama yang sedang mengelola bidang perekonomian melalui Kopi Parang. Apa dan bagaimana atau siapa Kopi Parang itu? Lain kali insyaallah saya tuliskan. Terutama soal peristiwa bagaimana ilat saya njempalik gegara minum sesloki es kopi! Keturunan dukun kok iso digarapi ya?
Tak lama pertunjukan segera dibuka. Terdapuk sebagai emsi malam itu adalah Arum, vokalis band The Mudub dan Wasis, moderator Majelis Maiyah Suluk Surakartan. Dua orang yang juga sudah saya kenal cukup lama. Terutama Arum. Kami sering bertukar banyak pengetahuan terkait skena musik, komik, buku, dan stand up comedy. Baik skala Solo maupun nasional.
Isya Soloensis dan Said dari Jungkat-Jungkit mengawali kesyahduan malam itu. Sudut Rumah Maiyah menjadi saksi bahwa menonton konser musik bisa dilakukan dengan nuansa kontemplatif. Ora ono senggol-senggolan. Ora ono sing mbukak kaos. Ora ono sing mengibarkan gendero. Opo maneh gendero sing diributke kae. Semua penonton yang berjumlah lebih kurang seratusan itu duduk khidmat. Sesekali ikut bernyanyi kalau memang tahu lagunya. Saya sih di barisan belakang. Agak nggak mudeng dengan lagunya. Apalagi pas mereka duet membawakan lagunya Led Zeppelin. Tambah ora ngerti. Tapi enak sih.
Disusul kemudian duet mas Prisa Sebastian dan mas Tunggul. Duet biola dan Kendhang. Ini juga pantas diapresiasi. Saya pikir malam itu tiket seharga Rp25.000,- sangat murah sekali. Karena melihat para penampil yang berkelas dunia akherat. Eh mas editor, tulisan Rp25.000,- itu jangan diedit yak. Penulisan baku terbaru untuk nominal uang memang kayak gitu (sombong ya saya).
Yang tak kalah menjengkelkan adalah aksi solo Kendhang dari Einstein (mbuh tulisan bener ora). Bagaimana nggak menjengkelkan. Skill permainan kendhang ciamik. Eh, mainnya hanya satu repertoar lagu. Kita yang nonton lagi asyik masyuk di puncak ekstase, eh selesai. “Nek pengen meneh ya ngomong menejere” seloroh Einstein yang disambut gelak tawa penonton.
Lalu….
Iksan Skuter menggendong gitar akustiknya.
“Ini gitar ini buatan Indonesia. Genta Gitar. Kelas kualitasnya internasional. Sound system Seruni Audio dari Jogja. Kelasnya juga internasional. Wes ojok cangkeman ae. Langsung tandang berkarya!” Iksan Skuter menyalurkan hidayah bagi penonton. Menegaskan bahwa memang saatnya para pemuda bergerak melakoni apa yang mereka bisa.
Dengan mengenakan kaos putih bertuliskan ‘Aku gak ngerti politik’ Iksan Skuter mengajak para penonton untuk tidak sekedar bernyanyi bersama. Tetapi lebih dalam dari itu. Menggugah kesadaran untuk tidak melulu mengeluhkan apa yang terjadi di Indonesia.
Seperti lirik dalam salah satu favorit saya berjudul ‘Shankara’ yang bercerita tentang Indonesia.
“Tak ada, di dunia, negeri yang seperti ini. Aku lahir hidup dan mati. Di negeri terindah di Bumi. Beruntunglah aku. Berada di sini…”
Merinding seketika.
“Gak ono alesan maneh kon gak berkarya. Aku gae video klip nganggo hape Cino, yo dadi!” kata mas Iksan di sela-sela obrolan kami selesai acara.
Iya. Sesuai prediksi saya, saya melingkar bersama beliau. Mendengarkan cerita proses kreatif beliau dengan seksama. Mencoba mencerna, menyerap, nyucup ilmu apa saja yang beliau sampaikan. Syukur bisa saya amalkan. Termasuk yang paling penting adalah bagaimana memahamkan keluarga, atas pilihan hidup yang kita pilih. Kalau menurut mas Iksan, kalau kita sudah yakin, sudah tahu apa yang digariskan Tuhan untuk kita disuruh jadi apa saja, kita jalani saja dengan sungguh-sungguh sing apik. Penak ora penak. Gelem ora gelem. Karena Tuhan sendiri yang menjamin.
Terima kasih mas Iksan Skuter, terima kasih Rumah Maiyah Solo, terima kasih Kopi Parang, terima kasih semuanya. Akhirnya saya bisa srawung dengan Iksan Skuter di Rumah Maiyah Solo.
Eh bukan akhir ding, akan ada sesuatu terjadi terhadap panjenengan semuanya. Yang pasti sing apik-apik. Percoyo? Kudu percoyo! Karena saya siapa?
Yak benar!
Keturunan salah satu dukun tersohor dari abad ke-4 sebelum Masehi!!!
Didik W. Kurniawan