Mungkin, tak banyak yang tahu jika di bulan November ini ada salah satu legenda hidup musik tanah air yang sedang berulang tahun. Tepatnya pada tanggal 7 November kemarin. Seorang seniman besar asli Solo. Yang telah banyak melahirkan karya dan akan terkenang sepanjang masa. Adalah sang Ratu Keroncong, yang terkenal dengan julukan si Walang Kekek. Waldjinah, lahir di Solo (7/11/1945), 73 tahun silam.
Entah kekuatan apa yang menggerakkan kaki dan hati saya ketika itu. Tiga tahun yang lalu. Begini ceritanya. Tarik nafas dalam-dalam, dan keluarkan pelan-pelan. Pagi-pagi sekali, saya membaca koran harian Solopos, edisi 7 November 2015. Di halaman pertama Solopos terdapat secarik berita bahwa hari ini (7/11/2015) sang maestro keroncong genap berusia 70 tahun. Dan sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia umur yang dilimpahkan Tuhan, keluarga besar Eyang Waldjinah dan paguyuban keroncong Surakarta akan menggelar malam tribute to Waldjinah di aula Atria, sebelah barat Mangkunegaran pada malam harinya.
Ada hasrat melakukan sesuatu dan bertemu. Bertemu dengan Eyang, bersalaman, bertatap muka, bertanya, bermuwajahah langsung dengan sang legenda. Bismillah, saya berangkat tunaikan hasrat.
**
Dengan sedikit bertanya pada mbah Gugel dan mbah-mbah penarik becak yang mangkal di trotoar kota barat, alamat rumah Eyang berhasil saya dapatkan. Kuda besi langsung saya arahkan menuju Mangkuyudan.
Menurut seorang bocah yang saya todong pertanyaan di sebuah gang daerah Mangkuyudan, rumah tingkat yang banyak tanaman hias di ujung barat jalan itulah kediaman Eyang Waldjinah. Terima kasih nak, saya sodorkan selembar uang 5 ribu dan dia tidak mau. (Alhamdulillah).
Sampai di depan rumah tersebut, suasana sepi. Seperti tak berpenghuni. Setelah mengetok pintu tiga kali, ada seorang bibi keluar dan saya jelaskan maksud kedatangan saya. Bibi itu memberitahu kalau Eyang Waldjinah dan mas Ari Mulyono (salah seorang putra Eyang) sedang keluar.
“Kalau ndak salah pada pergi ke Atria mas, dekat Mangkunegaran itu.” – jelas bibi tersebut dan saya ucapkan maturnuwun sekaligus pamit.
Singkat cerita, tibalah saya di Atria. Bangunan yang terdiri 2 lantai. Lantai 1 berupa swalayan/ minimarket. Sedangkan lantai 2 terdapat semacam aula/ ruang pertemuan minimalis. Disitulah nantinya akan digelar acara tasyakuran ulang tahun Eyang Waldjinah ke-70 tahun.
Dengan perasaan gugup campur aduk, saya temui bapak sekuriti dan bertanya.
“Pak, mohon maaf, kalau misalkan saya ingin menonton acara ini nanti malam, beli tiketnya dimana yah?”
“Waduh, kayaknya ini acara private itu mas. Hanya diperuntukkan keluarga, dan sahabat terdekat.”
“Oo… (Garuk-garuk rambut, mosok garuk-garuk tembok)
“Anu coba jenengan tanya mas Ari itu saja, beliau penyelenggaranya.”
Akhirnya, saya pun tahu mas Ari itu yang mana. Dengan grogi, muka pasi, dan ngemut driji, saya hampiri mas Ari dan mengutarakan maksud hati. Gayung pun bersambut. Saya diperbolehkan hadir untuk menyaksikan penampilan sang Maestro keroncong, dan mas Ari mengajak saya kembali ke Mangkuyudan untuk sowan bertemu Eyang.
**
Dalam perjalanan ke Mangkuyudan saya mampir sebentar untuk membeli serabi Notosuman. Tiba di sana (rumah Eyang), saya disambut hangat oleh mas Ari dan keluarga lalu mempersilakan duduk di ruang tamu. Sejenak terdiam. Saya bertanya pada diri sendiri.
“Aku ki sopo, kok wani-wanimen teko rene. Dudu dulur, dudu kadang, tapi kok diperlakukan sebaik ini. Semoga saya ndak GR dan keluarga Eyang memang orang yang baik dan sugih ati.”
Tak berselang lama, Eyang Waldjinah keluar dari kamar, berjalan pelan dituntun oleh menantunya.
Tak terungkapkan kata-kata ketika itu. Haru, bungah, deg-degan jadi satu. Saya langsung mendekat ke beliau, menunduk, mencium tangan dan pipi beliau berkali-kali. Ini mimpi apa asli. Masih belum percaya bisa dipertemukan langsung dengan sang legenda.
Di usia 70 tahun, Eyang masih tampak sehat. Suaranya masih jelas, ingatannya masih bagus. Hanya satu yang tak dapat dipungkiri yakni kondisi fisiknya. Beliau mengaku kalau jalan sendiri udah nggak kuat, mesti dituntun atau ben praktisnya ya didorong pakai kursi roda saja. Ngglinding dewe. Canda Eyang dan kami tertawa.
Dan yang paling mengagumkan dari seorang Waldjinah adalah aura kegembiraan yang selalu terpancar dari wajahnya. Setengah menggoda saya bertanya.
“Eyang, meski sudah usia senja, tapi Eyang itu masih tetap terlihat segar dan bugar, apa resepnya?”
Sembari mencicipi serabi Notosuman beliau menjawab.
“Selalu bersyukur dan hepi menjalani hidup ini.”
Jawaban yang sangat masuk akal dan menyentuh hati.
Perbincangan kami terus mengalir. Riwayat masa kecil serta perjalanan panjang Eyang dalam menekuni dunia musik khususnya keroncong, diungkap, dibeberkan, dijlentrehkan, hingga membuat saya terkagum-kagum mentakziminya. Luar biasa.
Sebelum pamit, saya pun meminta satu wejangan dari beliau.
“Nak, dek, opo wae sing wis diparingke Gusti, kudu disyukuri. Koyo to kesehatan, umur, bakat, lan sak piturute. Pokoké kalau adek wis seneng sesuatu, misalé musik, ya kudu ditekuni. Terus lan terus dipelajari. Ojo bosen. Ojo mandeg. Disrateni, diugemi, sampai dadi ahli.”
Sebentar, bukankah pandai bersyukur, happy (bergembira), dan jadilah ahli adalah perkara yang juga diwanti-wanti oleh Simbah di Maiyah? Monggo diresapi sendiri-sendiri.
Diujung perjumpaan nan membahagiakan itu, saya mengajak Eyang duet menyanyikan tembang Walang Kekek.
Walang kekek, menclok nang tenggok
Mabur maneh, menclok nang pari
Ojo ngenyek yo mas, karo wong wedhok
Yen ditinggal lungo, setengah mati (Pesan untuk para suami)
Walang ireng, mabur brenggenggeng
Walang ireng, dowo suthange
Yen podo seneng yo mas, ojo mung mandeng
Golek ono ngendi omahe. (Nasihat untuk kaum jomblo dan jomblowati)
Walang kekek menclok neng tampah
Mabur mrene, menclok wit pete
Sumengkemo mring Gusti Allah
Nindakake dawuh-dawuhe (Wejangan untuk kita semua)
Eyang, sugeng ambal warsa kaping pitung puluh telu. Rahayu…rahayu…rahayu…
Gemolong, 15 November 2018
Muhammadona Setiawan