Menu Close

Belajar dari Petani Kolot

 

Kalau peribahasa mengungkapkan ’’Tak kenal maka tak sayang” saya lebih memilih ‘’Tak kenal maka kenalan’’. Sepotong paribasan di kala senja menyapa ketika berdialek dengan petani kolot. Paiman Hadi Supadmo, akrab dipanggil Mbah Paiman tesebut tinggal di Desa Pereng, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, lelaki berusia senja yang menginjak kepala delapan tersebut bisa dikatakan seorang petani tua nan kolot yang masih eksis di jaman ini, bagaimana tidak? Di usianya yang sudah memasuki masa senja dan dengan sisa umurnya, beliau masih berdinas di sawah dan lahan yang ia garap, tidak hanya itu, Mbah Paiman juga bergaul dengan beberapa kelompok tani yang anggotanya adalah revolusioner muda dari karang taruna setempat.

Tak puas dengan hasil informasi ‘jarene’ sore itu saya berniat sowan  ke gubuk kecil tempat Dia tinggal, manifesto ‘jarene’ yang berasal dari budaya dengar memang menurut saya tidak bisa kita jadikan sumber kajian yang valid, maka dari itu saya membulatkan tekat untuk sowan ke rumah Mbah Paiman. Ya, sekadar mendengar beberapa patah kata dari pengalaman hidupnya. Serta keingintahuan hati untuk belajar pertanian dari lelaki ahlul macul Kecamatan Mojogedang tersebut. Setelah tamat dari bangku SR (Sekolah Rakyat) beliau melanjutkan studinya hingga Strata-3 di Nusa Kambangan Gol A-B dan Pulau Buru. “Saya tamatan S3 mas, S1 di Nusa Kambangan Gol A, S2 Gol B dan S3 di Pulau Buru, tuturnya dengan terbahak“.

Silih berganti tamu yang sowan ke rumah Mbah Paiman biasa mengisi buku tamu, buku tebal yang khusus diperuntukkan bagi tamu yang hendak sowan karna ingin silaturahmi sekaligus tamu yang sowan karna kepentingan partai. Sekilas saya lihat buku tamu tersebut berisi nama-nama asing, tentu bukan nama orang Indonesia. Mbah Paiman mengakui, memang pernah beberapa kali rumahnya dikunjungi oleh orang luar negeri, hanya untuk menikmati sepotong kisah dari cerita lelaki tua tersebut penduduk Australia dll sowan ke rumah Mbah Paiman. Tidak jarang Mbah Paiman juga diundang dalam acara penting di Hotel, Universitas ataupun lembaga lain.

Mbah Paiman dibesarkan dalam pengalaman hidup yang keras. Paiman kecil memang dibesarkan  dari keluarga petani. Profesi yang masih dianggap sebelah mata ihwal keberlangsungannya di modern ini. Bahkan sesekali tak jarang ada pemuda provokator yang berkata profesi bidang pertanian tidak prospektif dan tidak keren. Karena saya melanjutkan studi di pertanian. Paling setelah lulus jadi petani. Entah kenapa, pandangan-pandangan tersebut mengusik jari saya untuk menciptakan sebuah artikel yang ingin membuka mata baik para orang tua maupun anak-anak SMA yang memiliki pandangan negatif terhadap jurusan pertanian ini, karena memang mungkin pandangan negatif tersebut muncul karena kurang mengenalnya mereka terhadap jurusan yang satu ini.

Berbicara masalah pengalaman perjalanan hidup Mbah Paiman memang menarik, dramatis dan penuh pelajaran. Sepaket dengan informasi ihwal pelanggaran HAM akibat kedunguan cara berfikir tokoh penguasa dimasa Orba yang berhasil membubarkan gerakan revoluisionernya bersama teman seperjuangan di Pemuda Rakyat, Lekra dan BTI yang dianggap sebagai gerakan PKI kala itu. Di desanya sangat jarang orang bisa sekolah hingga lulus SR (Sekolah Rakjat). karena mayoritas petani, orang tua mereka beranggapan bahwa menjadi petani tidak usah pintar-pintar, yang penting bisa mencangkul di sawah dan paham cara bajak, garu, dan menanam. Itu sudah cukup.

Usia yang sudah memasuki kepala 8, dalam kesehariannya beliau tak absen untuk sekadar mengepulkan asapnya dari seputung kretek yang dia linting sendiri. Beliau memang konsumen rokok tingwe (diracik sendiri), pola hidupnya sebagai petani kolot kini telah berlembaga menjadi laku hidupnya, tidak doyan makanan berbahan kimia dan tidak doyan dengan beras berpupuk kimia. Dari laku hidupnya tersebut memang beliau adalah seorang petani organik, petani yang menghindari urea serta pupuk kimia lainnya sebagai pembantunya bekerja dalam bertani. Ia lebih memilih pupuk organik sebagai rekan karib untuk menghasilkan bulir padi yang sehat.

“Mas kalau rokok itu membuat saya kanker dan impoten, seharusnya saya dan istri saya sudah ndak mempunyai keturunan lagi. Tuturnya dengan terbahak”

‘’Saya bahkan iri dengan undang-undang mas. Ungkap Mbah Paiman”

Hlo.. kenapa mbah? Tanya saya”

“Kenapa rokok dilarang? ikan dan burung itu tidak merokok. Lalu mengapa minuman keras dilarang juga? Ikan dan burung tidak minum-minuman keras juga. Yang saya iri mas, kenapa Racun Sintetis (Pupuk kimia pestisida tidak dilarang juga mas?. Berapa ton racun sintetis yang ditumpahkan di Negara kita setiap tahun ? Sehingga ikan dan burung tidak mampu hidup lagi di lingkungan kita. Ini kehidupan hlo mas. Bisakah racun itu dilarang, untuk kehidupan berjangka panjang’’ Tutur Mbah Paiman.

Secuplik dialog yang bergumul dan mengganggu lalu lintas pikiran saya ketika beliau berargumen masalah rokok dan pertanian organik. Memang dia sempat menjumpai beberapa program pertanian oleh Orba dan menjadi bahan pembicaraan yang hangat didalam penjara. Program “Revolusi Hijau” yaitu penggunaan pupuk serta obat kimia sintetis dalam pandangan ahli dampak jangka panjang penggunaannya akan merugikan bangsa Indonesia. Menurut prediksi dalam jangka waktu 10-15 tahun kedepan masyarakat Indonesia akan merasakan sendiri dampaknya. Diantaranya kesuburan tanah mulai berkurang, dampak langsung terhadap manusia yaitu banyak muncul penyakit baru, usia manusia relatif semakin pendek. Memang pada awal pelaksanaannya Revolusi Hijau mampu meningkatkan hasil produksi sektor pertanian, bahkan Indonesia mampu berswasembada pangan sekaligus mendapat penghargaan dari PBB. Jelas saja ini dapat terjadi, mengingat tanah di Indonesia yang sudah subur, masih dipacu dengan penggunaan pupuk kimia. Tetapi dampak yang sekarang ini kita rasakan langsung justru kebalikannya. Produksi pertanian semakin menurun, rusaknya struktur tanah karena penggunaan pupuk serta obat kimia sintetis yang berlebihan.

“Mas coba sampean lihat pupuk kimia itu kandungannya itu apa saja!” Tutur mbah paiman yang seolah menguji.

“Waduh, saya lupa Mbah, tapi pasti ureanya banyak, hehehe” ungkap saya dengan rasa malu

“Mas pupuk itu juga ada kandungan perekatnya, jadi sampean ndak usah bingung ketika sampean cangkul tanah yang keluar malah bongkahan” Tutur Mbah Paiman

Dialektika yang benar-benar membuat saya malu ketika dalam hitungan bulan saya bisa menyandang sebagai sarjana alumnus pertanian, namun ilmu masih sangat amat kurang. Pelajaran yang sangat amat berharga bagi saya pribadi, beliau adalah sosok maha guru yang bisa kita jadikan pelajaran hidup, walaupun baru mengenal beberapa jam senja itu.

Khoiri Habib Anwari

Mahasiswa Fakultas Pertanian UNS

Tulisan terkait