Menu Close

Restrukturisasi Sekolah

Membicarakan Sekolah Biasa Saja memang harus kembali ke masa lalu dimana sebuah kata berasal. Atau kita mengawalinya dengan pertanyaan-pertanyaan kenapa harus biasa saja? Apakah sekarang sekolah sudah tidak biasa, atau malah luar biasa.

Adalah Hendy George Liddle merekamnya  dalam karyanya, sebuah Leksikon Inggris-Yunani mencatat permulaan kata Sekolah berasal dari bahasa Yunani  σχολή dibaca scholē yang berarti leisure (waktu luang, ada versi lain menyebut rekreasi). Jadi awalnya sekolah adalah kegiatan mengisi waktu luang.

Sahabat pak Toto Raharjo, Roem Topatimasang pernah menulis esai “Sekolah dari Athena ke Cuarnavaca” disitu dijelaskan bahwa di Jaman Kekaisaran Yunani untuk mengisi jeda waktu dari tugas-tugas tertentu, Lelaki Dewasa di Yunani sering berkunjung ke seseorang yang dikira punya kemampuan atas pengetahuan-pengetahuan tertentu. Dan “peristiwa waktu luang” inilah yang dinamakan schole. Lalu tak hanya lelaki kegiatan ini kemudian dijadikan kegiatan wajib untuk putra-putri raja sebagai bekal mereka untuk duduk di polis-polis Yunani.

Permasalahannya mendasarnya seberapa jauh sekolah sudah berubah dari makna harafiahnya? Buku Sekolah Biasa Saja merekam berbagai perubahan-perubahan tersebut. Dan beberapa malam yang lalu pak Toto Raharjo medhar kawruhnya di Suluk Surakartan.

Idiom anak bagi bu Wahya, istri Pak Toto “Anak adalah Mahaguru bagi dirinya, dan sumber ilmu bagi teman-temannya” menggelitik pemikiran soal otentisitas yang sering disinggung Mbah Nun, atau perbedaan personalitas dan identitas yang tahun lalu sedang dibahas oleh Mas Sabrang. Jadi kembali menjadi diri sendiri adalah harapan yang harus lahir dari proses tumbuh kembang seorang anak. Seperti kita tahu tahun-tahun awal anak akan berpengaruh pada masa depan dan keputusan-keputusan si anak dimasa mendatang. Sekolah yang sekarang justru semakin menyeragamkan kini digugat oleh sekolah biasa saja.

Kemudian memaknai ilmu sebagai tarikan nafas adalah kelanjutan dari bagaimana si anak harus membagikan/sharing pengalaman yang dia dapat ke orang lain supaya pengalaman-pengalaman menjadi objektivitas major. Bagaimana melihat sebuah peristiwa, menganalisis dan menyimpulkannya sebagai kebenaran orang banyak. Di sinilah proses anak idealis dalam pengolahan data di otaknya, dan menentukan hasil dari pengamatannya adalah positioning ada sebagai mahaguru bagi dirinya, yang langkah selanjutnya adalah membagikannya. Kita menarik dan menikmati nafas, tidak beberapa lama kita harus mengeluarkannya berbagi pada daun-daun dan pohon.

 

MEREBUT RUANG BELAJAR

Seiring perkembanganya sekolah akhirnya tidak menjadi tempat yang menyenangkan, atau hanya sekedar mengisi waktu luang penyeragaman-penyeragaman yang dilakukan intuisi sekolah akhirnya harus jauh dari konsepsi Bapak Pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara, yang menyebut sekolah sebagai Taman Siswa , pemilihan kata “taman” ini menarik menurut pak Toto karena taman adalah tempat yang menyenangkan, bukankah sekolah seharusnya begitu?. Ternyata sekolah semakin kaku, metode pengajarannya semakin membosankan dan materi-materi yang diajarkan adalah doktrin dan replikasi-reproduksi ide yang sudah ada, fatalnya anak-anak yang ke sekolah untuk menikmati proses belajar akhirnya cuman diajari, disuruh, diharuskan ini itu yang justru merebut Sekolah sebagai ruang belajar.

Arus Globalisasi menjawab kebuntuan anak-anak itu, kekakuan dan kejemuan di sekolah akhirnya ditawari sesuatu yang lezat seperti game online, yang dengan murahnya teknologi akhirnya semakin menjauhkan anak dari sekolah. Sesuatu yang besar sedang berlangsung.

Pelembagaan sekolah akhirnya dicuri oleh kapitalisme yang masuk sekolah, labelisasi dan jargon-jargon internasional kemudian merayap menghampiri ruang kelas. Pembelajaran mulai belok serius dari relnya yang dahulunya adalah proses untuk mengajak anak mengasah akal akhirnya menjadi Komoditas mahal yang harus dibayar orang tua, selanjutnya perang gengsi membayar sekaligus berlomba-lomba bersekolah di tempat bonafit mewarnai dunia pendidikan. Bukankah ilmu yang baik adalah ilmu yang dibagikan dan dirasakan kemanfaatannya oleh orang lain? Lalu kalau harus membayar mahal, maka pasti akan ada ketimpangan-ketimpangan sosial.

Sekalipun universitas bergengsi terus memeras mahasiswanya, namun hukum alam paradoks terus berjalan, kalau ada sekolah mahal pasti ada sekolah yang gratis. Disini dalam pengaplikasiannya memang tak bisa disangkal maiyah adalah sekolah gratis tersebut. Dimana kembali ke awal konsep sekolah bagaimana jika luang, kita datang ke seseorang dalam ini mbah Nun dan sesepuh-sesepuh maiyah kita sinau bareng untuk menyerap banyak hal yang mungkin kita perlukan di masa mendatang. Pepatah simbah saya merguru ki milih guru.

Dalam pengaplikasian selanjutnya saya dan mas Harianto, yang hadir juga malam itu menjadi Moderator, juga bersama sedulur-sedulur Gerbang, mendirikan Sekolah Warga yang salah satu rujukannya adalah pak Toto Raharjo, bagaimana dan apa yang kita miliki, baik hobi, talenta atau bakat yang merupakan titipan dari Gusti seperti tarikan nafas tadi kita gunakan untuk diri kita, sebagian lainnya kita sedekahkan untuk liyan siapa tahu berguna untuk Tauhid Penghidupan sedulur-sedulur lain di jangka panjang, dan Sekolah Warga adalah bentuk dari bagaimana kita merebut ruang belajar, mensedekahkan ilmu, dan mengasah kemampuan kita secara tidak langsung. Sekolah Warga karena memang berasal dari sumber air yang sama yaitu Mbah Nun dan Maiyah terus istiqomah untuk sama sekali tak menarik biaya apapun ke peserta, karena kita juga menyadari bakat dan talenta juga Gratis kita terima dari sang khalik.

Akhirnya ulang-alik kesadaran terus bergerak, karena dari bedah buku malam itu pasti memberikan paradigma baru, apalagi membaca buku Sekolah Biasa Saja mau tidak mau gelombangnya sudah berjalan dan semoga sekolah kelak menjadi taman menarik untuk anak cucu. Restrukturisasi Sekolah terus bergaung.

INDRA AGUSTA

Tulisan terkait