Mas Sabrang dalam salah satu diskusinya di Silatnas kemarin mengatakan tentang role modeling Simpul Maiyah, yaitu ketika kita mengelola Simpul (terutama yang baru lahir) meniru ke simpul yang sudah jalan. Bukan untuk meniru 100%, di simpul yang sudah berjalan ada ilmu tentang pengelolaan simpul yang bisa kita tiru, pengelolaan sumber daya manusianya, meskipun nanti pada prakteknya kita akan memodifikasi lagi, karena masing-masing simpul akan menyesuaikan karakter masing-masing daerahnya. Contoh paling gampang untuk role modelling adalah Kenduri Cinta dan BangbangWetan.
“Kalau KC (Kenduri Cinta) itu tulangnya, sedangkan BBW (BangbangWetan) adalah apinya.”
Kenduri Cinta itu dibangun dengan organisir timeline kegiatan yang tertata rapi, koordinasi penggiatnya yang lancar, serta disiplin tinggi seperti militer. Bahkan kata Fahmi (salah seorang penggiat KC) untuk grup WhatsApp khusus penggiat Kenduri Cinta hanya untuk posting tentang koordinasi saja, apabila ada yang memposting postingan sampah atau postingan di luar fungsi koordinasi, ada sangsi tertentu. Sedangkan di Bangbang Wetan adalah semangat guyubnya, bahu-membahunya, berkobar-kobar seperti api. Siapapun di sana ingin terlibat apapun, ora ketang njumputi sampah. Begitulah Surabaya, saya langsung membayangkan peristiwa heroik arek-arek Surabaya pada 10 November ’45.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana guyubnya teman-teman penggiat Bangbang Wetan ketika menjadi tuan rumah Silatnas 2018 kemarin. Tidak cuma arek-arek BBW, mereka disengkuyung oleh arek-arek dari Simpul Gresik (Damar Kedhaton) dan arek-arek Simpul Mojokerto (Paseban Mojopahit), untuk membantu melayani 120an orang yang mewaikili simpul-simpul Maiyah di Nusantara.
Dalam mengorganisir event, misal ada 120 tamu datang, minimal kita siap 10 orang volunteer (relawan) yang siap melayani. Dengan hitung-hitungan 1 orang volunteer menghandel 10 orang tamu. Nah, kemarin itu saya melihat arek-arek BBW turah-turah, bahkan kalaupun disuruh menghandel 1 volunteer untuk satu tamu rasa-rasanya sanggup. Luar biasa memang atas keguyuban mereka.
Ada istilah yang sangat saya suka dari Mas Sabrang kemarin tentang Penggiat, yaitu kata Militia. Militia dari bahasa Inggris, di bahasa Indonesiakan menjadi Milisi, artinya kira-kira kelompok sipil yang terorganisir dan disiplin tinggi, padahal mereka bukan militer reguler, dan kalau dibutuhkan kapan saja siap. Para penggiat simpul bisa saya sebut sebagai Maiyah Militia, paling tidak dilihat dari semangatnya. Mereka sudah tidak dibayar, tidak pernah muncul di depan layar, datang paling awal, pulang paling akhir, ikut urunan, beli rokok sendiri, terkadang ijik disengeni barang .. uhuk..
Kalau anda sebagai jamaah maiyah yang biasanya hanya datang, duduk, dengar, diskusi, lalu pulang. Kemudian sudah datang beberapa kali di sebuah majelis maiyah, lalu mulai kenal banyak teman di sana, menikmati manisnya rasa paseduluran. Ketika ingin mengkristalkan rasa cinta kepada Kanjeng Nabi, rasa syukur kepada Mbah Nun yang dipadatkan menjadi sebuah perbuatan yang bermanfaat, dan sebagai rasa ikut handarbeni terhadap majelis maiyahnya, supaya nanti setiap bulan tetap ada terus. Maka menurut saya, perlu dinaikkan lagi levelnya dari Jamaah Maiyah D3 (datang, duduk, diskusi) menjadi menjadi Maiyah Militia. Sak wayah-wayah ikut cancut taliwondho, minimal membersihkan sampah makanan di depannya sendiri dan membawa gelas kopi ke belakang. Itu sudah termasuk membantu meringankan tugas penggiat, dan kita akan sangat senang sekali akan hal itu.
Dan apabila anda suka menulis, atau mulai latian menulis, maka bisa ikut berkontribusi di rubrik Banyu Mili. Begitulah, saya tidak menjanjikan apa-apa lho ya, karena saya bukan siapa-siapa. Tapi mosok iyo sih, ketika anda sudah nyebur melakukan hal-hal untuk banyak orang, melayani jamaah maiyah, ora direken marang Gusti Allah? Wah…
Agung Pranawa