Menu Close

Restrukturisasi Sekolah (Bagian 2)

 

Geliat presisi otentisitas bergerak menuju titik poin lebih tinggi bagaimana sekolah sebagai sarana pencerdasan anak bangsa dalam urgensi intinya kini digiring menuju kapitalisme. Sekolah tak ubahnya seperti pabrik-pabrik yang mencetak robot pekerja yang diatur sedemikian rupa, dikendalikan cara berpikir dan pola pemahaman hidupnya menjadi sekrup kencang guna mendukung keberlangsungan proses Kapitalisasi Sekolah.

“…. yang menerapkan sistem seleksi yang begitu ketat bagi calon pelamarnya, bagi yang tidak lulus dinyatakan masih belum layak….”

Kritik keras pak Toto Raharjo dalam Sekolah Biasa Saja tak berhenti di situ, kegelisahan demi kegelisahan tertuang dalam berbagai dinamika pertanyaan, seperti siapa Bapak Pendidikan kita? Kemana arah sekolah? Bagaimana fondasi serta harapan-harapan di masa mendatang?.

Anak-anak kita mungkin akan dengan mudah menjawab bahwa Bapak Pendidikan Kita adalah Ki Hadjar Dewantara, tapi sejauh mana ngrumat nama Suwardi Suryoningrat sebagai batu penjuru pendidikan? Dari rezim ke rezim nampak sama sekali tak menggubris Manusia Mutiara Ki Hajar Dewantara. Yang kelak di akhir-akhir ini masyarakat pasca-reformasi takjub dengan pola pendidikan di Finlandia padahal jika mau berkaca pada klausul sejarah Pendidikan di Finlandia berkiblat pada Taman Siswa.

Lebih lanjut pak Toto membeberkan fakta sejarah bahwa jika memang konsepsi pendidikan hanyalah sebatas sekolah-sekolah kenapa tidak lebih baik menganggap Bapak Pendidikan kita adalah Daendels, si bapak pembangunan Hindia Belanda itu, yang terinspirasi dari filsuf Rene Descartes bahwa ilmu pengetahuan harus disebarkan. Namun kemudian aplikasinya sekolah-sekolah hanyalah perpanjangan tangan dari kolonialisme, sekolah-sekolah hanya ekslusif pada keluarga ningrat, pada bangsawan-bangsawan kerajaan. Lalu hakikat dari membawa gaung pendidikan kesemua lini ternyata hanya isapan jempol semata. Di masa Thomas Stanford Raffles ilmu pengetahuan lebih memuncak lagi pencapaiannya di Hindia Belanda namun justru semakin privat karena data-data tentang nusantara banyak yang tidak dibagikan ke sekolah-sekolah, melainkan disimpan di perpustakaan pribadi sang Gubernur Jenderal.

Nampak klise bukan, akhirnya selain ekslusifitas dari sudut pandang lain pendidikan Kolonial ternyata perlahan membangun etos bahwa bangsa Kulit Putihlah yang bangsa besar, pintar, serta memiliki daya intelejensia tinggi, kita mengekor. Pendidikan akhirnya mencabut rasa bangga akan jati diri seorang nusantara, dan di titik inilah kita mulai tidak percaya diri sebagai bangsa yang juga memiliki banyak sekali bahan untuk dicatat sebagai ilmu maupun sebagai laboratorium eksperimen.

Kegelisahan-kegelisahan inilah yang kemudian menghasilkan diskusi-diskusi panjang selama berhari-hari antara begawan-begawan kebudayaan kita Ki Hajar Dewantara, Sang Filsuf Jawa Ki Ageng Suryomentaram, serta kakak kandung RA. Kartini, Raden Panji Sosrokartono. Dari situlah embrio pendidikan tandingan dalam  akhirnya melahirkan Paguron Taman Siswa.

Taman Siswa berjalan dengan esensi pendidikan perlawanan supaya mereka yang mengenyam pendidikan tak melupakan tanah airnya, sangkan paran, tak memisahkan sekolah dari realitas kehidupan sehari-hari para murid. Tak seperti pendidikan sekarang yang cenderung membangun rumah kaca bagi hidup nyatanya. Dan pendidikan berbasis nilai ini kemudian tak laku, kalah persebarannya dengan pendidikan ala Daendels yang penting ilmu pengetahuan tersebar, punya label, punya gelar dan otomatis punya standar nilai tertentu dimasyarakat. Bukankah demikian realitas pendidikan modern?

Maka dalam sebuah satir di sekolah biasa saja pak Toto menyebut:

“…maka janganlah sekali-kali menyatakan Bapak Pendidikan Nasional kalian adalah Ki Hadjar Dewantara..”

Sebuah kritik serius.

 

PENGALAMAN BUKAN DOGMA

Dalam beberapa kali maiyahan Mbah Nun mengutarakan bahwa cara efektif untuk merasakan rasa pedas bukanlah membaca literatur, menghafalkan doktrin dan dogma soal rasa, tapi cukup jejali mulut dengan cabai supaya tahu seperti apa rasa pedas. Atau jika ingin tahu seperti apa gajah memang harus datang sendiri ke kebun binatang, syukur-syukur bisa memegang langsung hewan tersebut dan kita mendapatkan pengalaman nyata dari memegang gajah bukan hanya lewat gambar atau video-video pendidikan yang kita seperti yang biasa kita tonton di sekolah-sekolah.

Adalah David A. Kolb seorang filsuf Amerika di tahun 1980-an menuliskan teorinya soal “Structural Experiences Learning Cycle”  yang membuat rentang pendidikan berawal dari Pengalaman Langung (concrete experience), kemudian Pengalaman Aktif yang simultan untuk kemudian melahirkan refleksi-refleksi dan menjadi awal observasi, lalu ke tahap Konseptualisasi dan berakhir dengan Tindakan Aplikasi Eksperimentation.

Teori serupa inilah yang dalam istilah pak Toto Rahardjo disebut Daur Belajar.

Aktulasisasinya ke Maiyah dari cara Mbah Nun dan Pak Toto utarakan bahwa memang maiyah di tahun-tahun mendatang harus tidak berhenti di pembicaraan soal konsep-konsep, atau jika stuck yang terjadi hanyalah pengulangan konsep-konsep (reproduksi-replikasi) hanya akan berakibat fatal pada kejenuhan jamaah karena bahasannya itu-itu saja, Industri nasehat atau malah pengkultusan pada Emha Ainun Najib (emha mania) seperti yang sudah terjadi pada berbagai forum jika seseorang mendominasi panggung tanpa kesadaran penuh untuk berpindah pada presisi lain selain sebagai pendengar, yang terjadi hanyalah pengkultusan atau jamaah akan berebut mic di panggung. Ini yang seharusnya dihindari.

Karena dari konsep Personalitas dan Identitas yang pernah diutarakan mas Sabrang, semua manusia lahir dengan kondisi berbeda dan membawa kecenderungan serta bakat, talenta yang berbeda-beda, tidak semuanya berakhir hanya dengan memegang mic di panggung. Jika itu terjadi maka maiyah akan mandeg dan berhenti pada pembahasan-pembahasan nilai (meski memang ada beberapa orang yang dikaruniai otak yang luas untuk menganalisis berbagai kemungkinan dan wacana-wacana peradaban).

Maka dari itu sudah saatnya aplikasi nilai maiyah pada bentuk. Dengan berbagai ragam manusia didukung dengan berbagai kearifan lokal yang ditinggalkan leluhur untuk diteruskan, keinginan untuk hidup baik, mengembangkan ilmu, menjaga paseduluran maka Maiyah akan menjadi sarana rahmatan lil alamin.

Dan akhirnya mari terus menumbuhkan benih-benih yang sudah disemai dan dirawat langsung oleh Sang Guru. Selamat menikmati maiyah sebagai Taman Siswa, dimana segala ilmu bisa tertampung dalam satu ruang.

Kleco Wetan, 13 Desember 2019

Indra Agusta

Tulisan terkait