“Yang namanya pendidikan itu tidak harus sekolah, tapi orang dibilang tidak berpendidikan kalau tidak sekolah. Ini dosa pertama sekolah!” tutur mantab Toto Rahardjo malam itu. Dalam acara Bedah Buku Sekolah Biasa Saja karyanya, Senin (26/11/18), inisiator Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta mengungkap sejarah bahwa sejatinya pada mulanya sekolah hanyalah kegiatan pengisi waktu luang.
“Sekolah itu asal katanya schola, artinya waktu luang. Dulu orang Yunani mengisi waktu luang dengan mengunjungi suatu tempat dan di sana diberi wejangan oleh seorang bijak.”
Bedah buku di Rumah Maiyah Surakarta malam itu dihadiri puluhan muda-mudi yang berdomisili di Solo dan sekitarnya, serta sejumlah kalangan sepuh.
Sebelum pembedah memaparkan isi buku, moderator Harianto memberi ruang ucap bagi hadirin. Dua pegiat Suluk Surakartan yang telah membaca Sekolah Biasa Saja menyampaikan kesan dan pandangan mereka di depan jama’ah. Indra mengaku mendapati bukti nyata bahwa terdapat perbedaan ‘gaya berjalan’ antara orang yang sekolah tinggi dengan yang tidak tinggi, dan hal itu memiliki keselarasan dengan isi buku ini. Dika, pegiat sekolah alam di Klaten, membagikan pengalamannya dalam mengelola sekolah alternatif yang terletak di bibir hulu sungai Bengawan Solo. Tak ketinggalan angkat bicara, pegiat senior Suluk Surakartan, Munir, membagikan pengalamannya dalam mendidik buah hati secara minim sekolah.
Ia mengungkap, “Tiga anak saya yang besar itu hanya sampai SMP semua. Dan adiknya, yang Enstein itu, kelas enam sudah mulai wegah sekolah.”
Selanjutnya pengusaha mebel ini membagikan kiat didik yang telah ia lakoni.
“Ya kalau saya bekerja, anak saya ya saya ajak kerja. Dan kita harus berani menjawab semua pertanyaan anak. Dan kalau tidak tahu ya harus berani bilang, ‘bapak tidak tahu, ayo kita belajar bareng!'”
Tak hanya mengambil kopi yang tersedia di tempat biasa, malam itu hadirin yang beranjak ke belakang juga mengambil buku bersampul hijau dengan desain minimalis dan membayarnya sesuai harga yang tertulis.
Masalahnya adalah sekolah yang menjamur sampai saat ini mengalami masalah, bahkan menjadi masalah. Sekolah yang oleh banyak orang diidentikkan dengan pendidikan rupa-rupanya tak selalu merupakan tempat pendidikan. Kata Toto, tak sedikit sekolah yang sejatinya lebih pas disebut perusahaan.
“Sekolah yang sekarang ada itu belum tentu jadi tempat belajar, tapi lebih sebagai lapangan pekerjaan bagi guru-gurunya!”
Pernyataan yang menempeleng. Tapi ini fakta! Inti Sekolah Biasa Saja memang kritik terhadap sekolah, dan perjuangannya adalah merebut ruang belajar.
“Inti buku ini adalah kritik terhadap sekolah, dan spiritnya adalah merebut ruang belajar. Tapi tentang merebut ruang belajar ini insya Allah akan saya perjelas di buku selanjutnya,” beber Toto.
Bukan teori. Kalau suami Sri Wahyaningsih berani mengkritik habis sekolah dan sistem pendidikan di negeri kita, ia memang punya dasar argumen yang kuat yang berupa fakta. Buku setebal 252 halaman terbitan Insist Press berisi pemikiran yang sudah menjelma tindakan konkret selama 17 tahun! Ya, buku ini mengupas isi kasat mata dan tak kasat masa Sanggar Anak Alam yang ia kelola bersama istri tercinta dan para fasilitator di desa Nitiprayan, Kasihan, Bantul, DIY.
Tak sekadar mendampingi sang suami sepanjang perjalanan dari Yogya, Sri Wahyaningsih juga turut bertutur kata.
“Di SALAM, guru mengajar itu haram, karena anak adalah mahaguru,” cetus wanita yang akrab disapa Bu Wahya.
Dirinya melihat ada kepentingan-kepentingan jangka panjang pihak luar yang patut diwaspadai dalam pendidikan yang berjalan di negeri ini. Gerakan mencuci tangan dengan sabun salah satunya. Menurutnya, mengajarkan hal ini secara propagandis kepada anak Indonesia, merupakan penjauhan anak bangsa dari jati diri dan negerinya. Anak akan tumbuh dengan anggapan bahwa tanah itu menjijikkan, maka menjadi petani bukanlah pilihan mulia. Padahal Allah sengaja merekacipta bumi Indonesia dengan kesuburan luar biasa.
“Kita ini bangsa agraris, tapi anak-anak kita diajari mencuci tangan dengan sabun dengan segitu masif. Anak akan tumbuh dengan pemikiran kalau pegang-pegang tanah berkotor-kotor itu tidak baik. Ini pendidikan yang menjauhkan dari dirinya sendiri,” cetus Wahya.
SALAM diinisiasi sebagai respon atas ketidakberesan-ketidakberesan paradigma dan sistem pendidikan yang ada. Yang menjadi perhatian awal Toto Rahardjo dalam mengonsep SALAM adalah faktor apa saja yang membuat siswa malas sekolah. Dari sanalah ia kemudian membangun SALAM.
“Yang pertama saya cari waktu mau mendirikan SALAM adalah apa saja yang bikin anak itu malas untuk sekolah,” kenangnya.
Toto kemudian membeberkan sejarah Ki Hadjar Dewantoro dengan Taman Siswa-nya.
“Sekolah itu taman atau penjara?” gelitiknya.
Ia melihat, sebenarnya kalau bangsa Indonesia mengatakan bahwa Ki Hadjar Dewantoro sebagai Bapak Pendidikan Nasional, tidaklah sesuai dengan fakta. Menurutnya, kalau mau jujur, sebenarnya bangsa Indonesia cenderung mengekor pada ajaran Daendels.
“Sebenarnya bapak pendidikan kita itu siapa, Ki Hadjar Dewantoro atau Daendels? Kalau mau jujur, sebenarnya bapak pendidikan kita itu Daendels!”
Ia menyayangkan sikap pemerintah yang dari rezim ke rezim tidak pernah memberi harga pantas terhadap prinsip Taman Siswa. Prinsip Taman Siswa sering digembar-gemborkan dalam pidato, namun tak pernah dijadikan indikator penting dalam rencana dan tata laksana pendidikan. Sekolah negeri kita lebih mengacu pada pendidikan Barat.
Sekolah kita saat ini menurut Toto melibas habis bakat dan potensi anak. Mereka disuruh mempelajari apa yang tidak mereka butuhkan. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi generasi follower, generasi yang bermental ikut-ikutan. Merebaknya hoax belakangan ini merupakan salah satu buah dari mentalitas generasi follower.
“Kalau sekarang banyak hoax itu ya karena mentalnya follower, ” ujar Toto.
Maka itu, dirinya melakukan perlawanan dengan SALAM. Di salam, tak ada guru yang mengajar, pun tak ada mata pelajaran. Yang ada di sana adalah warga belajar dan fasilitator. Mereka saling belajar dan bekerja sama. Pendidikan di SALAM berbasis riset. Warga belajar memperoleh banyak pelajaran setelah melakukan riset. Riset yang dilakukan merupakan pilihan masing-masing, sesuai minat masing-masing. Dari sebuah riset sederhana, mereka akan memperoleh berbagai bidang pelajaran. Matematika, sains, ilmu sosial, ekonomi, geografi, dan sebagainya.
Itulah Sanggar Anak Alam. Sebuah jalan sunyi menuju kemerdekaan negeri yang hakiki. Hadirin tak hanya menampakkan antusiasme sekejap saja dalam acara bedah buku malam itu. Tampak dari raut muka dan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, tanda bahwa mereka akan segera memulai tindakan. Sebagaimana saran Toto Rahardjo agar diri-diri dan komunitas-komunitas kecil yang sudah sadar, bersinergi dan memulai tindakan, tanpa menunggu sadarnya pemerintah. Malam itu, usai acara ditutup, terjadilah obrolan-obrolan menghangatkan. [Ibudh]