Lembaran tahun 2018 ditutup sebait duka. Yakni terjadinya tsunami yang menghantam sebagian wilayah Lampung Selatan, dan pesisir Pandeglang, provinsi Banten, pada Sabtu malam (22/12/2018). Gelombang tsunami tersebut akibat dari letusan Anak Gunung Krakatau di Selat Sunda. Sedikitnya ada 426 orang meninggal dunia, 7.202 terluka serta 23 orang dinyatakan hilang. Yang paling mengejutkan diantara para korban tsunami Banten adalah meninggalnya 3 personil Grup Band asal Yogyakarta Seventeen. Ketika itu band Seventeen tengah mengisi acara gathering PLN yang berlokasi dibibir pantai Tanjung Lesung. Di tengah acara, ombak laut setinggi 3 meter menggulung daratan, memporak-porandakan panggung, hotel, dan bangunan apa saja yang ada. Indonesia berduka. Ibu pertiwi kembali menitikkan airmata.
Shock, dan hampir tak percaya rasanya ketika mendengar kabar kelabu tersebut. Dan diantara kita para Jamaah Maiyah, mungkin mas Doni (KiaiKanjeng) adalah orang yang paling terpukul. Kita semua tahu, bahwa mas Doni dulu adalah vokalis pertama band Seventeen. Meski sekarang sudah keluar (eh jane keluar, atau dikeluarkan tho mas?? Hehe), saya yakin tali persahabatan mereka tetap terjalin. Dan tentu mas Doni sangat merasa kehilangan.
**
Pasca gelombang tsunami, ‘gelombang’ simpati dan bala bantuan datang menghampiri para korban. Ungkapan bela sungkawa bertebaran di lini masa. Dari sahabat, rekan musisi, artis, tokoh, fans dan masyarakat luas turut menyampaikan duka sedalam-dalamnya, serta memanjatkan doa kebaikan teruntuk personil band Seventeen khususnya dan seluruh korban tsunami Selat Sunda pada umumnya. Al fatihah.
Namun seperti biasa. Selalu ada pro dan kontra dimata masyarakat kita setiap kali menyikapi suatu peristiwa. Ada yang empati, ada juga yang satir. Banyak yang peduli, banyak juga yang nyinyir.
“Bikin konser kok di pinggir pantai, mati deh kena tsunami. Rasain!!”
“Saudara muslim Uighur di Cina sedang menderita, eh kalean pada asik jingkrak-jingkrak. Senang-senang. Kena adzab Tuhan kalean. Haha.”
Itulah beberapa komen miring dari para netizen yang berseliweran di media sosial.
**
Heran, sangat mengherankan. Kenapa ya kok masih ada orang yang berpikiran sepicik itu. Naif. Kok ya tega-teganya bilang (nyinyir) seperti itu. Apakah mereka tidak bisa sedikit saja membayangkan, misalnya anggota keluarga mereka, atau salah satu sanak saudara mereka ada yang menjadi korban tsunami? Apakah mereka tidak sedih, tidak iba, tidak hancur hatinya??
Mbah Markesot sempat berujar begini. Manusia sekarang banyak yang terjangkit penyakit hati. Yakni selalu mengaku diri sebagai orang paling alim, sedangkan orang lain lalim. Merasa diri orang baik, lalu menuduh orang lain bukan orang baik. Melihat diri tak berdosa, kemudian melihat orang lain berdosa sehingga sangat pantas di adzab oleh Allah. Dan mereka bergembira melihat orang lain sengsara karena di adzab Allah. Diam-diam mereka merayakan adzab Allah atas orang lain. Naudzubillah min ‘dzalik.
Apakah kita tidak bisa sedikit berendah hati? Berfikir arif. Berbaik sangka kepada Allah dan sesama. Sesama manusia mestinya saling menyayangi bukan menyakiti. Saling menjaga bukan mendakwa. Saling mengasuh bukan menuduh. Yang datang dari Allah bisa berupa peringatan, ujian atau hukuman. Dan setiap kita manusia dikaruniai akal—nurani oleh Tuhan untuk nyandaki, menemukan sendiri makna dan hikmah atas terjadinya suatu peristiwa.
Mohon maaf, mereka yang mati ditimpa musibah belum tentu nasibnya lebih buruk dari kita yang masih hidup. Mereka mungkin sudah ‘lulus ujian’ dunia, maka dipanggil Allah untuk segera menemuiNya. Nah, kita yang masih bernafas justru harap-harap cemas, memikirkan bagaimana keadaan kita nanti saat ditimbali Sang Khalik. Selamat atau celaka-kah kita? Wallahu’alam. Kita hanya mampu mempersiapkan.
Maka cara terbaik untuk menyikapi suatu bencana/ musibah adalah menengadahkan tangan ke langit. Berbaik sangka kepada Allah. Memohon pada-Nya semoga meninggalnya Alm. mas Bani, mas Andi, Mas Herman Seventeen dan para korban tsunami yang lain menjadi ‘ongkos terbaik’ mereka untuk bertemu langsung dengan Tuhan.
Di satu sesi wawancara, mas Doni sempat berucap.
“Saya itu iri sama mereka (Alm. mas Bani, mas Andi, mas Herman Seventeen), ketika di panggil Allah mereka sedang berjihad. Mereka manggung kan mencari nafkah untuk anak-istrinya. Nah itu kan jihad. Jadi mereka mati syahid. InsyaAllah tenang dan bahagia disana.”
Sedangkan bagi korban yang masih diberi kesempatan hidup, semoga dapat memetik pelajaran baru untuk lebih mensyukuri nikmat umur. Semakin menambah ketebalan pundi iman mereka, meyakini betapa kerdilnya yang bernama manusia, serta percaya akan dahsyatnya kekuatan alam yang di’sutradarai’ oleh Tuhan.
Dan bagi Jamaah Maiyah, saudara-saudaraku semua, seibu pertiwi, sebapak bangsa Indonesia, selama denyut nadi belum terhenti, seyogianya dapat terus berbenah diri. Dimulai dari diri sendiri, untuk memperbaiki segala perkataan, komentar, perbuatan, cara berfikir yang lebih jernih dan rasional. Tidak melakukan tindakan yang memperkeruh suasana. Tidak menuduh, menyakiti, merendahkan atau merugikan siapapun.
Bencana, musibah, adzab atau jenis kesengsaraan apapun, dan menimpa siapapun, tidak pantas untuk dirayakan. Yang layak kita rayakan adalah kegembiraan mensyukuri nikmat Tuhan serta rasa kemanusiaan terhadap sesama.
Selamat menulis lembaran tahun baru dengan tinta kebaikan.
Gemolong, pengujung 2018
Muhammadona Setiawan