Malam mengapung di Suluk Surakartan, ada kudapan lezat dari tuan rumah seperti paduan mesra antara jarak Sukowati-Surakarta yang gerimis, belum makan pula setelah menyelesaikan beberapa kejutan-kejutan polemik anak-anak yang mengais nasi dari hidupnya sendiri. Maka bergegaslah jalma menuju Tugu Pos, tempat yang dulu menjadi ajang razia barang-barang sebelum masuk ke Kraton Surakarta Hadiningrat. Malam ini rinai-rinai bersemi seperti jingga yang lelah menunggu datangnya malam, ah malam yang romantis opo-opo dadi romantis. Halah mbel….
Tema forum juga mbel, begitu cair kalau ndak bisa dibilang liar, sangat luas. Demikian mari menuliskan apa yang perlu ditulisan, semoga pendaran Cahaya-Nya merasuki kalian saat membacanya dan semua puji untuk Sang Khalik dimana semua harus memberi akibat termasuk pembelajaran dan kebahagiaan bagi semua mahkluk, tak hanya manusia saja.
Adalah Nagasasra Sabukinten cerita silat lama yang pernah saya baca di masa-masa setelah SMA, menawarkan cerita pula soal palguna-palgunadi tentang Ekalaya bisa menang dengan Arjuno dalam tanding panahan. Cerita ini diadopsi pula dalam NSSI ketika Kebo Kanigara mempelajari ilmu tua dari gurunya didalam gua membayangkan batu digua gurunya sendiri, sebelum akhirnya ketemu dengan Mahesa Jenar dalam perjalanannya.
Demikianlah kritik keras terhadap pendidikan kita sebenarnya paradoks juga, tak melulu keilmuan hanyalah akibat dari sekolah, kampus atau guru-guru di gedung bimbingan belajar. Ternyata kita bisa mengambil ilmu dari obrolan warung kopi, dari rasan-rasan dengan beberapa sahabat, mengurainya dari mata yang menangkap peristiwa-peristiwa atau justru dalam diam ternyata sapuan angin, udara ber-embun dan oksigen yang menipis mampu menelurkan pemikiran-pemikiran mendalam soal apapun dialam berfikir dari semakin peka-nya roso kita.
Yang dalam ngobrol selepas Suluk Surakartan, Mbah Herman mengenang masa kecilnya di tahun-tahun Indonesia masih sangat muda, proses pendidikan itu justru lebih banyak di rumah, di sekeliling, di kunjungan-kunjungan keluarga (tentu sebelum modernisasi melanda karena kunjungan keluarga jaman now tak ayal hanya menjadi ajang pamer bondho bagi keluarganya yang lain).
Anak-anak ketika waktu liburan disuruh berkunjung dan menginap di rumah orang-orang sepuh, bisa jadi seharian tidak akan mendapatkan ilmu layaknya sekolah. Tapi jangan berhenti di situ, lihat dari ikut nyawah, mengisi gentong air dari nimba sumur, ikut mencabuti rumput, atau sekedar duduk-duduk di pendapa untuk mendengarkan orang tua berbicara. Dan tidak ada kata selain taat, wajib dan disiplin.
Mungkin efeknya tidak dirasakan oleh si anak langsung, tapi kedepannya nalarnya diasah, fisiknya apalagi ini penting karena anak kecil harus mengoptimalkan fisik, otot-otot, sekaligus struktur tulang dan cara mengasahnya adalah melakukan kegiatan fisik secara massif. Begitu luasnya pendidikan Jawa ditanam dalam benak orang tua oleh pada pendahulu, setelah fisik optimal baru ikut mempelajari bertanam, berladang, ilmu-ilmu pertanian, lalu malamnya sembari “menunggu” Gusti menumbuhkan benih, orangtua kita menyemai benih-benih dalam pendaran pikiran kita supaya siap menyongsong masa depan.
Perubahan Desa
Mas Wasis menyeret logika berikutnya menuju kompleksitas makna, ternyata Bambang Ekalaya kalah dengan televisi. Tahun 1970-an hal ini pernah disinggung Emha Ainun Najib dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya.
“TV atau Motor tidak berfungsi sebagai apa yang semula dimaksudkan teknologi barang ini. Seperti perombakan rumah agar bisa dilihat orang (esay Mbah Nun kali ini juga membahas transisi rumah tradisional ke ‘rumah kutho’ yang tembok dll). TV dan Motor adalah indikator gengsi dan tingkat tinggi martabat sosial mereka “ – Didesa hidup selayaknya, hal 10.
Sebenarnya proses transisi Mas Wasis kehilangan jam-jam intens bermain wayang, awalnya naiknya hegemoni kepemilikan teknologi TV, sepeda motor atau teknik bangunan -yang katanya modern membangun menggunakan semen dll yang kemudian menggantikan rumah tradisional- ini hanya sebagai ajang pamer kekayaan, karena raksasa menawarkan kemajuan, yang akhirnya meski akhirnya sepeda motor juga cuman jadi hiasan karena jarak sawah-ladang sangat dekat dengan rumah dan akses motor tak memadai untuk nyawah.
Demikian pula televisi adalah hiasan di tengah rumah, kalau perlu biar keliatan dari jalan, di era-90an saya mengalami ini ketika munculnya VCD-Player dimana orang-orang takjub, lalu berbondong-bondong membelinya sebagai sebuah acuan modern. Lambat laun efeknya terasa, proses pasar menawarkan teknologi berjalan pesat, selanjutnya adalah direbutnya prime-time dari anak-anak. Mas Wasis tadi adalah salah satu contohnya, dan jutaan anak-anak indonesia kala itu mengalaminya. Kita kecanduan cahaya doktrinasi-doktrinasi lewat media, otak kita ditumpulkan, dibiasakan untuk menerima daripada mengolah apalagi membuat, lalu menurutkan daya kritis, sekaligus mendangkalkan nalar, yang ledakan selanjutnya adalah begitu mudahnya kita marah hanya karena masalah-masalah tak penting, atau hati mencari saluran lain sebagai ajang ke-diriannya dalam bentuk yang lain. Persoalan lain yang mengakar dibenak orangtua kita akibat televisi adalah kesuksesan manusia dilihat dari ada-tidaknya dia mampu muncul di televisi. Kenali polanya!
Transisi
Lalu apa yang terjadi setelah internet merebak, kejadiannya mungkin sama ada kegiatan pasar yang berjalan begitu kencang dari operator seluler, ISP, vendor gawai, sampai aksesoris-aksesoris mengikutinya dari belakang. Di desa saya mungkin momentumnya berbeda karena tidak lagi memajang di depan rumah karena semenjak adanya pager. Si embrio gawai ini mulai dipamerkan ketika idulfitri tiba, selanjutnya berbagai teknologi mengikuti pamerannya di setiap lebaran.
Yang direbut kemudian tak hanya prime-time tapi hampir semua waktu kita akan tersita, hingga kita benar-benar kehilangan fokus akan semua hal. Distraksi. Penciptaan Media Sosial memang benar-benar sistemik dan kembali ke tujuan awalnya, kecanduan manusia.
Medio berikutnya adalah munculnya tombol like, love pada media sosial raksasa, sebagai sarana “pemanusiaan mesin” bagaimana symbol yang awalnya diciptakan sebagai ajang apresiasi atas karya manusia lain di media sosial akhirnya justru semakin meningkatkan candu kita pada medsos. Kita berkali-kali melihat postingan kita mendapat like, love beberapa kali sehari. Lambat laun psikologi kita dimainkan, (ini salah satu tanda dan usaha pendangkalan akal manusia) medsos kemudian menambah lagi tombol like/dislike menjadi beberapa “varian perasaan” ada tertawa, sedih, ngakak, marah. Perasaan kita dimainkan oleh mesin ketika postingan kita sebaik-baiknya hanya diketawakan oleh pengguna lain, yang belum tentu pengguna tersebut juga secara serius mengklik symbol, namun efek yang di akibatkan sangat besar, perasaan kita diacak-acak oleh medsos. Sekarang kita sudah tinggal nunggu panennya, kita sangat gampang dibentur-benturkan medsos, jarkom-jarkom whatsapp! Atau lewat gambar-gambar editan yang memicu kemarahan, saking dangkalnya otak kita tak jarang sampai bawa-bawa nama Tuhan. Ironis.
Tradisi pengulangan
Pola yang dibaca berikutnya adalah kecanduan medsos terus menaikkan jumlah bitrate kita dalam membayar ISP atau operator seluler, akhirnya mereka kini menang, kita sama sekali tak bisa menawar harga paket data, membandingkan oke cuman sama sekali tak punya otoritas menentang harga. Dari semakin naiknya ini maka dimulailah era “story” dimulai google dengan snapchat, lalu instagram story, whatsapp story sampai facebook story.
Simbol-simbol ini terus menggurita mencengkram psikis pengguna medsos. Lalu dipernalkanlah viewer kepada pengguna oleh Youtube, dimana apresiasi atau tolak ukur sukses tidaknya sebuah karya adalah dari jumlah viewer. Ide tersebut dicopy dan diaplikasikan lewat story singkat, yang sekaranng membludak dan beragam story. Yang dulunya story sebagai ajang sharing kegiatan kini justru menjadi ajang nyari viewer. Seseorang yang biasanya mendapat viewer banyak tiba-tiba tak mendapat respon atau menurun responnya psikisnya bisa gelisah, sedih bahkan marah. Menarik memang respon-respon media sosial.
Yang paling edan tentu adalah Distraksi yang dihasilkan, benar-benar candu, sedikit-sedikit melihat gawai untuk menonton berapa viewer kita, direspon tidak. Kekuatan simbol ini benar-benar nyata. Dan psikis sekaligus nalar kalian akan dipermainkan oleh alogaritma dan mesin-mesin yang seolah-olah humanis namun menghilangkan kemanusiaan itu sendiri.
Akhirnya mengawali tahun beberapa ecommerce giat melakukan iklan dan promo-promo cashless payment yang diujungnya beberapa uang akan membeku di saldo ecommerce, kita dimain-mainkan untuk mengikuti kuis-kuis yang berhadiah jutaan dengan modal saldo emoney di ecommerce yang paling cuman belasan ribu. Akumulasi kapital ini menarik, karena menggunakan psikis masyarakat yang senang “iseng-iseng berhadiah” digiring menuju kedangkalan, distraksi sekaligus penyaluran kapital dan mental senang membeli dari pada membuat, proyek penghancuran manusia jangka panjang ini berlangsung sukses, meski ada anomali.
Useless man yang ditulis di Homo Deus itu nyata adanya, dan kita tergerus semakin dalam diruang-ruang yang mereka buat padahal semuanya hanya tipuan. Sementara si cerdas sedang memimpin dunia menjadi Manusia Super.
Anomali
Beruntung karena kita di nusantara, sejarah kita memang tak lepas dari piawainya kita dalam menggubah sesuatu yang terkadang lepas dari tujuan sesuatu. Otak-atik gathuk.
Geliat medsosdian semakin merata, teknologi berkembang setiap hari namun lihatlah disetiap jaman menawarkan anomali-anomali yang tak jarang justru menjadi sumber rejeki. Adanya TV dan sepeda motor dimasa lampau karena service centre jauh dikota akhirnya memunculkan bengkel motor, reparasi TV yang secara geografis lebih dekat dengan biaya yang jauh lebih murah. Demikian pula soal bengkel smartphone dimana-mana merebak menawarkan anomali dan rejeki disisi lainnya.
Kecanduan akan like dan love ini di Indonesia akhirnya memunculkan Facebook sebagai ajang jualan, asli ini munculnya dari Indonesia teman-teman yang kuliah di luar negeri boleh mengkoreksi soal pasar online ini. Dari forum jual beli, kemudian peluang itu ditangkap pengguna medsos, sekaligus kapital juga berlomba-lomba membuat pasar online.
Story-story yang seharusnya menjadi ajang pamer kegiatan kini tak lepas dari ajang jualan, bahkan merasuk ke anak-anak SMP, anak SMA yang jualan pernak-pernik penambah uang jajan mereka. Ini menarik. Lalu peluang ini ditangkap instagram ketika memunculkan instagram ad. Mereka bisa mengiklankan produk kita disela-sela kita scrolling postingan. Bagi masyarakat kita sendiri, postingan story ini tak hanya untuk berjualan akhirnya juga untuk me-repost testimoni pembeli. Lihatlah ini kan menarik, sekelas story medsos bisa menarik pembeli, karena dari 30 detik itu penjual menunjukkan kredibilitas jualannya lewat video.
Sharing proverty kemudian digiring oleh google sebagai new “teori etis” mereka yang sudah sangat kaya raya karena lisensi android, maps, gmail, youtube, dst kini menyisihkan sedikit uangnya untuk pengguna lewat google adsence. Ini menarik, seperti memberi permen setelah orang membeli kulkas.
Dan kita juga tidak peduli-peduli amat, jumlah vlogger naik drastis, akhirnya bisa dijadikan profesi di Indonesia meraup dollar dari sharing video, Google dapat data mereka dapat uang sedikit. Its look fair but never. Tapi yo Indonesia wes biasa.
Dan teknologi terus bergerak, manusia menyesuaikan mencari peluang ditengah semakin sempitnya akses-akses.
Akhirnya mari kita tutup dengan Indonesia Dari Desa Saya.
“masalah kita bukanlah bagaimana kita mengelakkan teknologi, melainkan bagaimana menjinakkannya. Bagaimana mengajari rakyat berteknologi secara kreatif, selektif dan prospektif” hal 14.
Selamat memenangkan pertarungan dengan anomali-anomali.
Kleco Wetan, 30 Januari 2019
Indra Agusta